Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Artikel Utama

Kisah Istana Kolong Meja, Mie Rebus, dan Kopi Instan

23 Maret 2010   17:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:14 403 0

Apa sih yang istimewa dari sebungkus mie instan rebus? Begitu pula dengan kopi instan yang diseduh dan dinikmati ketika panas? Bagi kebanyakan orang keduanya adalah sesuatu yang biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Mie instan mentah dengan dua lembaran ribuan bisa didapatkan begitu pula dengan kopi instan. Namun punya pengalaman berkesan tentang keduanya. Saya pernah merasakan mie dan kopi instan terlezat bahkan lebih nikmat dari berbagai hidangan yang pernah saya rasakan.

Suatu waktu, bulan Maret tahun 2008, bersama seorang rekan saya mengisi waktu libur akhir pekan dengan menjelajahi Bandung Selatan. Perjalanan yang sebenarnya sudah kami rancang sedemikian rupa sebelumnya. Kami ingin berkunjung ke situ Cisanti, Bandung Selatan. Berbekal informasi dari internet kami menuju kesana.

Meskipun sudah direncanakan ternyata informasi yang kami miliki sangat minim. Kami sempat bertanya pada sopir angkutan bagaimana rute menuju kesana. Dari Bandung kami diberi arahan. Dari angkutan kecil kami oper ke bus ukuran tanggung. Di dalam bus rekan saya bertanya lokasi yang akan kami tuju pada salah seorang penumpang, Ibu muda berkerudung. Rupanya kami benar-benar kurang menguasai medan. Ada banyak hal yang tidak saya ketahui termasuk masalah cuaca, angkutan terakhir kesana dan yang cukup penting masalah penginapan. Ibu itu menyarankan kami mencari lokasi lain saja karena waktunya sudah jelang sore dan perjalanan kesana masih harus berganti beberapa angkutan. Itupun jika masih ada. Jika tujuan kami ingin berwisata atau kemping ia menyarankan ke Ciwedey saja. (Meskipun Ciwedey cukup terkenal saat itu kami belum pernah kesana dan tahu informasi banyak). Besok paginya bisa melanjutkan lagi kalau mencari Situ ada yang menarik juga tak jauh dari Ciwedey. Percakapan yang membuat penumpang lain memperhatikan kami.

Akhirnya kami berdua memutuskan menuju Ciwedey saja. Berbekal arahan dari ibu tersebut kami menuju kawah putih. Kami masih harus dua kali ganti angkutan hingga tiba di gerbang kawah putih sekitar pukul 5 sore. Ternyata suhu cukup dingin ditambah gerimis yang tak kunjung berhenti. Kami tak langsung naik keatas namun istirahat sejenak sambil menjalankan sholat Ashar di Mushola dekat gerbang masuk. Waktu itu masih cukup ramai. Bayangan kami diatas ada banyak pengunjung dan malam hari mudah mencari tempat istirahat. Kami berasumsi tak begitu jauh antara gerbang dengan kawah sehingga kesana cukup dengan berjalan kaki saja.

Kamipun berjalan kaki menuju keatas. Rupanya semua asumsi kami salah. Menahan dingin, nafas tersengal dan jalan yang nampaknya tidak kunjung habis kami terus melangkah. Antara putus asa dan meneruskan perjalanan. Beberapa kali kami beristirahat namun karena hari mulai berganti malam kami mempercepat langkah menuju atas. Rencananya sesampainya di atas kami akan mencari tempat makan dan jika tak mendapat tempat istirahat bakal menginap di mushola.

Dengan susah payah karena tak memperhitungkan medan kami berhasil juga tiba di lokasi. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 7 malam. Lalu seperti apa suasana di atas? Suasanannya gelap. Benar-benar gelap. Untung saja ada beberapa warung yang menyalakan lampu dan masih melayani pembeli. Kami memesan mie rebus dan kopi panas. Beberapa orang yang kebetulan ada di warung menanyakan keberadaan kami? Bagaimana bisa sampai di atas? Entah kenapa mereka terheran-heran mendengar kami jalan kaki dari bawah.

Dari pertanyaan itu akhirnya berkembang menjadi satu perbincangan panjang. Mereka mulai bercerita tentang banyak hal terutama mengenai hal-hal yang berbau mistis dan tahayul. Selain itu mengenai keberadaan harimau yang katanya masih sering muncul.

Mereka meminta kami tinggal di atas saja. Kalau memaksa turun berbahaya. Kecuali jika benar-benar ingin turun supaya menunggu mobil patroli dari kehutanan biasanya mereka patroli pukul 11 malam. Kami sempat keluar menanyakan letak mushola dan diantar seorang dari mereka, namanya pak Acit, yang membawa lampu petromaks. Ternyata di luar benar-benar gelap diselimuti kabut termat tebal. Jarak pandang hanya sekian meter saja.

Mempertimbangkan kondisi yang tidak memungkinkan untuk turun kami memutuskan menginap. Pak Acit menawari kami tinggal di gubuknya. Katanya gubuknya nyaman dan tidak dingin. Kami percaya saja. Lalu seperti apakah gubuk pak Acit yang dibilang nyaman itu? Ternyata itu juga mirip dengan warung-warung yang lain. Tempat yang dibilang nyaman itu adalah kolong meja warung yang sisi depannya tertutup dengan tripleks sehingga tidak terkena hembusan angin. Sedangkan lantainya tanah. Sebagai alas adalah kardus bekas bungkus mie dan tikar plastik. Di kolong meja yang sempit itulah saya bersama 3 orang lain (seorang teman, pak Acit dan pak Abun) tidur malam ini. Yah lumayanlah. Kami ada tempat menginap meskipun harus menahan dingin apalagi kami tidak berbekal peralatan memadai. Kami hanya memakai jaket tipis. Bayangkan saja.

Ketika kami mulai bersandar pak Acit nampak sibuk. Ia menyalakan kompor dan membuat sesuatu. Ah dia membuat mie dan kopi. Kami kira ia tengah membuat makan malamnya. Ternyata itu dihidangkan bagi kami. Kami menolak namun pak Acit memaksa. Dan ini gratis. Kekuatiran kami ini jatah pak Acit. Pak Acit bukanlah pemilik warung. Ia hanyalah penjaga kebun teh yang ditugasi menjaga warung. Ia juga bukanlah orang mampu. Anak-anaknya saja banyak yang hanya bisa ia sekolahkan Cuma tamat SD. Kami menikmati hidangan itu. Sambil bercerita tentang banyak hal.

Waktu terus berjalan. Kami berusaha memejamkan mata. Diserang hawa dingin membuat saya seringkali terbangun. Entah jam berapa ketika saya terbangun saya pura-pura terpejam. Saya melihat pak Acit datang membawa bungkusan ternyata mie instan. Ia merebusnya dan menikmatinya bersama pak Abun ternyata benar dugaan kami. Mie yang diberikan kami adalah jatah lelaki paruh baya untuk jaga malam. Ah pada orang-orang yang tidak dikenal, belum tentu bermaksud baik, dia begitu baiknya. Bahkan begitu lugunya dia bercerita pernah menemukan dompet disitu ada STNK. Kebetulan dia butuh duit isi dompet itu dia pakai. Dia terus terang memang kepepet namun tetap mencari siapa pemilik STNK itu. Fikiran lugunya menganggap setiap orang jakarta satu sama lain saling kenal sehingga jika saya ketemu pemilik STNK itu suruh menyampaikan dan mengambil sendiri di sana.

Perjalanan tak disengaja yang teramat berkesan. Masih banyak orang-orang diluar sana yang memiliki kepedulian dan kemurahan hati dibanding orang-orang yang katanya memiliki banyak harta dan berpendidikan tinggi.

What A Wonderful World

Jakarta, 24 Maret 2010

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun