(Apakah akan merubah spritualitas?)
Atau mungkin secara lebih jauh, di era ini, kita banyak disodorkan kemajuan2 tentang Artficial Intellegence, dimana kita bisa merekayasa kecerdasaan seseorang, dengan asumsi bahwa kapasitas celebral kita hanya 10% utilisasinya, dan itu bisa ditingkatkan baik secara biologis maupun secara artifisial.
(Apakah kita harus memberdayakan hal2 demikian untuk mengakselerasi kecerdasan?)
Hari ini dan yang akan datang, pemberdayaan teknologi dipandang tidak terlalu deterministik; teknologi selalu dipandang sakral dan akan bagus.
Manusia sudah hadir sebagai makhluk yang separuh biotech, kalau kita ketinggalan handphone, seolah-olah kita ketinggalan separuh dari aktivitas kita. Kita menjadi gugup, karena kita kumpulkan dan titipkan sisi emosional kita di hp. Hp hari ini menjadi bagian inheren dan menjadi ekstensi dari psikologis manusia. Dan itu berarti perkembangan teknologi dengan sendirinya akan menguji ulang apa yang disebut sbg eksistensialisme dlm diri manusia. "apakah manusia masih memiliki self-core setelah adanya teknologi?"
Kehadiran microprocessor menjadikan manusia memiliki kapasitas ganda, teknologi bergerak lebih cepat, seolah-olah menuntut manusia untuk berpikir eksponensial tidak lagi linear, tanpa keterkaitan waktu & tempat.
Diantara abad 7 hingga 10 (dalam kurun waktu 300 tahun) perubahan akan perilaku dan delta manusia tidak terlalu banyak, karena pemberdayaan teknologi tidak terlalu pesat. Tapi hari ini (dalam periode 30 tahun) dibandingkan antara abad 7 dan ke 10, dengan kemajuan Artificial Intellegence, dimana kita bisa merekayasa neuron, kecerdasan biologis untuk merekayasa sel & kode genetika. Mungkin dalam kurun waktu 20-30 tahun, manusia bisa menjadi spesies yang jauh lebih banyak deltanya.
Dalam sejarah sains, perpindahan paradigma dari Kopernikan ke Newton: skala perubahannya begitu kecil, mungkin hanya 2 hipotesis yang berubah. Perpindahan dari Newton ke Einstein: perubahannya cukup besar. Akan tetapi perpindahan dari Einstein ke Fisika Stephen Hawking: perubahannya amat besar (disebabkan kemajuan teknologi), di dalamnya ada asumsi tentang multiple universe.
Jika teknologi semakin pesat perubahan & akselerasi perubahannya, maka margin of error-nya semakin besar. Ini menolak klaim bahwa teknologi tidak terlalu deterministik. Beberapa ratus tahun terakhir, pemberdayaan teknologi melewati masa trial and error-nya: Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan masa kolonialisme. Teknologi ini derivatif 1 & 2 akan semakin meningkat, margin of error-nya akan semakin besar, dan room of error-nya bisa lebih kolosal daripada apapun yg bisa kita lihat sebelumnya (misal: stem cells, projek Hitler Eugenics).
Banyak pandangan yang mengatakan margin of error dari teknologi harus mampu dikendalikan oleh semacam ethics. Seperti di Amerika Serikat, stem cells perubahannya sangat eksponensial, akan tetapi ada suatu lembaga yang mampu mengendalikan stem cells secara ethics. Akan tetapi lembaga itu kemudian dianggap tidak berhasil, disebabkan oleh dorongan ekstrapolasi penelitian itu memungkinkan orang untuk mencari tempat yang secara etis tidak terkontrol.
Fenomena itu memberi pesan bahwa ada permasalahan baru di dalam ilmu pengetahuan. Bagaimana metodologi memasukkan asumsi etis, supaya ketakutan kita untuk membayangkan project Hitler eugenics bisa dihalangi. Pada akhirnya teknologi memang ada percepatan, tapi error-nya tidak menyebabkan katastrofi. Seperti pada percobaan eugenics dari Hitler.
Pada Perang Dunia II, terjadi polarisasi antara dua kubu: Jerman dan sekutu. Keduanya ingin menunggangi kapasitas inovasi teknologi. Akan tetapi keduanya memiliki ide atau ideologi yang berlawanan dengan teknologi yang sama, sehingga terjadi pertikaian dalam skala besar.
Jika kita melirik teori-teori fisika yang ditulis oleh Thomas Kuhn, mengatakan bahwa paradigma itu berubah karena ada revolusi di dalam metodologi penelitian. Demikian juga Karl Popper mengajukan apa yang disebut dengan tentative solution. Masa sebelumnya kita tidak pernah menduga bahwa persaingan ilmu pengetahuan didorong oleh ideologi. Pasca atau dalam Perang Dunia II, kita mengerti bahwa teknologi itu seolah-olah dipermainkan oleh teknologi. Dan hal itu yang mempercepat riset ruang angkasa dari NASA. PD II mengajarkan kita bahwa kompetisi teknologi yang disponsori oleh teknologi akan terjadi katastrofik.
Menurut Michio Kaku menarasikan bahwa dalam 50-100 tahun kedepan, "manusia bisa mereplikasi neuron, yg bisa di download ke komputer dan diproyeksikan ke Mars dalam 3 menit melalui semacam laser beam, disana sampai di receving station, di download lagi neuron-nya, lalu di diproyeksikan ke wujud Avatar---bisa mengelilingi Mars, dikirim lagi neuron-nya dan di upload ke otak, dan kita bisa berbicara kita sudah pernah ke Mars."
Dalam konteks itu, para pemuka agama ingin mendapatkan atau mengklaim pengalaman spritual dengan membandingkan bahwa para Nabi-Nabi pernah mengalami hal seperti itu, melalui fenomena2 seperti mungkin isra mikraj atau mukjizat yg dimilikinya. Maka kita menghitung energi apa yang ada di dalam energi spritualitas manusia, sehingga bisa mengikuti dengan yang metafisik. Hal yang pernah didalilkan oleh fisikawan Inggris, Fritjof Capra yang mengatakan bahwa "Fisika dan metafisika adalah satu hal yang tidak bisa dipisahkan (koheren) dan singkron. Akan tetapi pada saat itu, Capra belum bisa membayangkan bahwa teknologi kita bisa "beam" ke atas dengan kemampuan "laser", lalu diamplifikasi berkali-kali dan akhirnya manusia memiliki pengalaman eksistensial.