Oh sebentar, aku belum cek berapa uang simpanan yang kupunya. Bergegas pulang, lho kok pintu kost terbuka. Aku mendapati kamar yang berantakan, simpananku raib diangkat maling. Aku mulai mengumpat, maling terkutuklah kau.
Aku mulai merenung, uang didompet hanya tersisa limpul, lima puluh ribu hanya cukup makan hari ini saja. Kepanikan mulai merambat. Tidur tak lelap, aku memutuskan keluar malam-malam.
Pikiran kosong, berjalan entah kemana tujuan. Tiba-tiba suara cekikikan terdengar riuh. Suara perempuan. Aku mengintip, dalam satu ruangan ada satu, dua, tiga, lima...lima belas perawan ternyata. Mereka sedang menghitung uang yang penuh di meja.
Glek, aku menelan air liur. Banyak sekali uang mereka. Oh tunggu, mereka semua perempuan, bagaimana kalau si lelaki ini mencuri uang mereka. Tiba-tiba pikiran jahat muncul. Otak mulai memikirkan bagaimana caranya masuk ke rumah.
Aku mengendap berkeliling, rumah ini benar-benar terpencil. Hanya ada satu mobil parkir di garasi. Tidak tampak satu lelakipun. Perempuan-perempuan itu selesai menghitung uang, menyimpannya rapi di lemari. Wow, tanpa kunci.
Rumah itu mulai gelap, sepertinya mereka sudah tidur. Aku mulai berusaha memecahkan jendela dengan pelan, lalu menjulurkan tangan membuka kuncinya. Dan berhasil. Mulai memanjat lewat jendela mengendap menuju lemari. Dan tanganku dengan lincah mengambil semua uang. Jaketku sudah penuh.
Manusia memang tak ada puasnya. Aku melirik lemari yang satu lagi. Mungkinkah penuh uang juga. Aku mulai bergerak mendekat dan prank. Aku menginjak gelas dan melukai kaki. Darah mengucur deras. "Tolong aku," teriakku. Waduh, beginilah penyamun pemula, kok teriak sih.
Lampu kamar segera terang. Perempuan-perempuan ini bergerak cepat melumpuhkan si penyamun yang bernama aku. Semua benda mendarat di sekujur tubuh. "Ampun," kataku berkali-kali. "Tolong kakiku berdarah," mohonku.
Dan begitulah, mereka mengobati kakiku. Dan mengurung dalam sebuah kamar. Aku mendengar mereka berbincang.
"Kita serahkan saja ke kantor polisi," seru seseorang.
"Jangan, dia ganteng," tawa seseorang.
"Ya sudah, diberdayakan saja dia," putus seseorang.
Diberdayakan? Jadi apa? Aku mulai bertanya-tanya dan aku terlelap. Jam tiga dini hari, mereka membangunkanku. "Ayo bangun, tidak boleh malas-malasan," teriak mereka. Mereka memerintahkan mengangkut barang- barang ke mobil, dan jam lima pagi kami bergerak.
"Kita mau kemana ya neng," tanyaku. "Keliling bang, kita jualan baju ke kampung-kampung," jawabnya jutek. Dan aku menyaksikan mereka berjualan daster, sprei dan lain-lain di pasar setiap kampung. Mereka menyebar, dan tiba-tiba aku menjadi malu. Lelaki macam apa aku. Berjuang untuk hidup sendiri saja tak bisa.
Seminggu aku bersama perawan-perawan hebat ini, aku meminta izin pulang. Aku akan mengikuti jejak mereka, jadi pedagang keliling. Mereka berbaik hati memberi pinjaman. Eh tunggu dulu, dari perawan-perawan ini, apa ada yang aku taksir?
Ada lima belas perawan, dan sulit sekali memilih. Ada beberapa dari mereka yang sedih kala aku pergi. "Aku akan sering-sering kesini," janjiku. Penyamun malang akhirnya pulang. Aku berjanji akan sering-sering menjenguk para perawan ini. Mungkin aku bisa menjadi Jaka Tarub, menjadi penyamun hati seseorang dari lima belas bidadari.
FS, 10 Februari 2021