Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

Tempo “Tampar” MUI, untuk Siapa?

9 Maret 2014   14:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:07 2200 0

“Indonesia masih menjadi pasar yang penting dan kami akan benar-benar menginginkan sebuah penyelesaian atas persoalan (setifikasi halal) ini”

(Keluh kesah Steven Kelly pebisnis ekspor daging di Australia)

Prinsip “l doubt therefore l am” adalah cara yang pas untuk mendekati perdebatan tiga pihak yang terlibat dalam isu sertifikasi halal akhir-akhir ini. Pertama, mari kita “ragukan” MUI sebab lembaga ini sudah terkontaminasi najis politik berkaitan dengan mantan bendara MUI, Chairun Nisa, serta fatwanya yang sering memicu kontroversi. Selanjutnya kita ragukan TEMPO sebab aroma busuk berita komersialisasi label “halal” menyeruak liar jelang kontestasi kekuasaan dan jabatan, pemilu, yang kian memanas plus pada saat ketegangan RI-Australia belum usai. Yang terakhir yaitu Australia sebab 80% ekspor daging Negeri Kanguru itu dikonsumsi Muslim Indonesia via sertifikasi halal MUI.

Memosisikan diri sebagai “subject” yang murni di tengah berbagai isu-isu hangat di ruang publik yang kian pengap sangatlah tidak mudah. Kadang kita perlu berdiam diri di ruang pengap “ragu” sebagai triger menuju ruang cahaya “pikir”, sebab yang otentik dari subjek dapat muncul dalam suasana yang demikian. Ragu berarti tidak mau menelan mentah-mentah dominasi wacana yang di koran-koran. Ragu adalah titik awal menuju tabayyun, mengarah pada verifikasi dan klarifikasi untuk sampai pada persepsi sendiri yang independen menuju therefore l am, yaitu “aku” yang menemukan sudut pandangku yang mandiri.

MUI dan Konsekuensi Pasar Global

Halal adalah kata kunci yang suci bagi setiap muslim. Setiap makanan yang ingin dikunyah harus legal secara hukum Islam. Hal ini didorong oleh semangat kuat untuk menjadi pribadi yang berkualitas dan berintegritas. Semangat untuk mengonsumsi makanan “halal” tersebut begitu luar biasa, bahkan jika ada isu daging sapi berbaur dengan daging babi di pasaran, maka dijamin pasti mereka, umat Islam, menahan diri ataupun mengerem daya belinya. Sayangnya semangat untuk “hidup halal” yang menggebu-gebu Muslim Indonesia, bahkan terbesar di dunia, tersebut gagal dicerna oleh pemangku kebijakan publik yang juga mayoritas Muslim untuk bersama-sama berperilaku halal. Biarlah Majelis (KPK) yang berkantor di kuningan yang menyegel mana penajabat yang haram dan yang halal.

Adapun “tamparan” TEMPO atas MUI sebagai lembaga yang didiami oleh mereka yang tafaqoh fiddin, mereka mengusai ajaran-ajaran Islam, harus diterima umat Islam Indonesia dengan lapang dada dalam rangka watawa soubil haq saling mengingatkan atas nilai kebenaran, sehingga betul-betul steril dan minim fitnah. Mungkin juga TEMPO ingin memastikan bahwa sertifikasi halal MUI harus benar-benar berada pada level dua prinsip halalan dan toyyiban yaitu halal (tidak haram) dan baik (bergizi) sebab banyak makanan halal yang dikonsumsi rakyat tapi tidak toyyiban (bergizi) seperti nasi aking dan makanan mengandung pewarna, formalin maupun zat-zat pewarna lainnya. Jadi, dalam upaya mempertegas batas-batas antara yang halal dan haram.

Dalam konteks “pasar global” label halal sudah menjadi sebuah industri, menurut studi (lihat Global Halal: Meat, Money, and Religion, S. Romi Mukherjee) tahun 2011, “global halal market” diperkirakan mendulang untung sekitar 150 dollar milyar per tahun dan semakin meningkat sampai pada angka 2.9 pada tiap tahunnya. Bahkan KFC, McDonald’s, Taco Bell dan perusahaan besar negara-negara sekuler lainnya memperoleh keuntungan yang melipat ganda setelah melabeli produknya dengan kata “halal”. Jadi ada hubungan yang “gurih” dan nyaris tak terpisah antara halal dan dollar.

MUI akan tetap mengalami kesulitan dan bahkan terpojok jika hanya mengklaim bahwa sertifikasi halal bagian dari dakwah alias non-profit tanpa diikuti proses transparansi dan akutasbilitas, apalagi majelis ini pernah terkontaminasi najis politik, yaitu keterlibatan Chairun Nisa dalam kasus korupsi bersama Akil Mukhtar yang jika kita baca komunikasi keduanya via SMS sangat menjijikkan. Mantan bendahara MUI tersebut sangat fee oriented dalam setiap proyek yang di-handle-nya.

Proses sertifikasi halal tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas justru akan terus menggerogoti kredibilitas dan reputasi MUI. Bahkan putusan-putusan MUI mengenai prosedur, proses hingga metode sehingga akhir menjadi fatwa harus dibuka di ruang publik, apalagi saat ini estimasi “pasar halal global” berhasil mencongkel keuntungan sebesar 2.3 triliun US Dollar.

TEMPO dan Ekspor Daging Australia

Masih dalam rangka “l doubt” tersebut, namun kali ini atas TEMPO dan para Pelaku bisnis daging Australia. Petikankalimat “pemanas” di awal tulisan di atas adalah keluh kesah Steven Kelly, pebisnis daging, sebab tempat pemotongan ternak di Queensland (Australia) via AHFS (Australian Halal Food Service), yang saat ini dihentikan MUI, tidak dapat menjual daging halalnya ke Indonesia. Diungkap juga oleh media Australia bahwa suatu perusahaan bernama JBS di kawasan Queensland, sebagai eksportir dan pengepak (packer) daging sapi dengan 8.500 karyawan terpaksa gigit jari sebab tidak dapat mengekspor dagingnya ke Indonesia.

Tidak ada media yang paling populer di Australia saat ini kecuali TEMPO. Ulasan media nasional ini menjadi rujukan utama media-media di sana termasuk kalimat yang mengarah pada komersialisasi sertifikat halal seperti “must pay large donation to MUI” dan terutama curhat Mohammed El-Mouelhy (Head of Certification Authority) di Sydney, mengatakan bahwa meskipun dia menyetujui syarat dan ketentuan dia tidak pernah mendapatkan label halal, tanpa kejelasan. Ya, lagi-lagi ini masalah uang dan bisnis agar mendapat pasar di Indonesia.

Jadi, kata “halal” akan menjadi “jorok”, remang-remang dan bahkan diragukan jika ia mulai berselingkuh dengan politik (dalam negeri maupun luar negeri), dan pasar (kapital). Dalam hal ini, Semua perusahaan di Australia yang mempunyai kepentingan pasar di RI, terutama daging, sedang menjerit di tengah ketatnya persaingan ekonomi global yang semakin sengit dan sulit. Ketergantungan Bisnis Australia atas kata “halal “ ini sangat penting. Ada sekitar satu miliar muslim di kawasan Asia-Pasifik dan Australia mengekspor ternak ke semua lini di kawasan itu, dan yang perlu digarisbawahi adalah 80% total ekspor daging Australia dikonsumsi muslim Indonesia, ladang uang ini akan semakin efektif jika mendapat legitimasi halal oleh MUI, ini adalah bukti bahwa Australia juga menopang hidup di kawasan ASEAN yang didiami oleh lebih dari 400 juta jiwa umat Islam.

Hal ini sulit membendung pertanyaan-pertanyaan seperti; Ada apa dengan TEMPO? Mengapa mesti menunggu hadirnya perang urat saraf SBY vs Abbott? Mengapa tidak diangkat pada saat ribut-ribut daging impor asal Australia yang dibintangi Fathanah dan petinggi PKS waktu itu? supaya lebih gurih dan hot. Mengapa mesti diangkat jelang Pemilu? Siapa yang ingin digoreng? Adakah “backroom negotiations” antara kedua belah pihak? Adakah hal ini berkaitan dengan dunia per-intelejenan. Semua pertanyaan dan keraguan ini akan menguap ke udara begitu saja jika kita berdiri di atas teori “Kebetulan”.

Pemberitaan komersialisasi sertifikasi halal ramai diperbincangkan di Australia, dan semakin mempertegas image buruk bangsa indonesia termasuk partai Islam, setelah sebelumnya diramaikan kasus impor daging Australia yang menyeret PKS. Partai Islam saat ini memang sedang lesu darah. PPP disandung Angle Elga seolah meruntuhkan gedung pusat PPP yang dianggap tidak profesional dalam merekrut para calegnya. Belum lagi isu bunga tabungan haji jemaah yang beranak pinak tanpa kejelasan yang juga disorot publik via ICW. Kasus sertifikasi halal, hadir secara bersamaan dengan ditangkap mantan bendahara MUI, Chairun Nisa mantan bendahara MUI, yang juga aktivis Golkar.

Akhirnya semakin menjalar, membesar dan sampailah kepada image pemerintahan SBY yang sarat korupsi termasuk partainya. Komitmen SBY dalam upaya memerangi korupsi kembali dipertanyakan hingga kemudian berdampak pada wajah Indonesia di mata dunia. Abbott yang tadinya bersitegang dengan beberapa media (yang dinilai tidak nasionalistik), atau bahkan publik Australia atas kebijakannya terhadap pencari suaka termasuk sikapnya atas RI, kembali menemukan pembenarannya.

Mempertegas tembok Uang, Halal, dan Pasar (daging) memang tidak mudah. Semoga kisruh sertifikasi halal ini jatuh pada institusi yang beritegritas, dan jauh dari berbagai kepentingan jahat pribadi, kelompok apalagi asing. Sudah saatnya dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah apalagi institusi ini mendapat suntikan dana dari APBN 3 milIar per tahun termasuk biaya sertifikasi yang mencapai 5 juta itu.

Oleh: Fathor Rasi (Forum Intelligentsia Bebas)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun