Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Fatwa BBM dan Sekularisme

30 Juni 2011   10:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:03 183 0
Bola salju wacana MUI yang sedang mengkaji untuk mengeluarkan fatwa BBM semakin mendapatkan respon yang luar biasa di masyarakat. Ada yang setuju namun sebagian besar menolak dan menjadikannya lelucon. Di media sudah banyak kita melihat, mendengar, dan membaca komentar-komentar dari para intelektual, anggota DPR, pengusaha, dan juga masyarakat awam.

Ichsanudin noorsy, seorang pengamat kebijakan publik menolak gagasan tersebut dan berkomentar bahwa fatwa BBM yang akan dikeluarkan MUI tersebut sangat parsial dan tidak melihat permasalahan di bidang energi secara menyeluruh. Memang benar di satu sisi apa yang sedang diusahakan oleh MUI hanyalah untuk membantu pemerintah mengatur pendistribusian BBM secara tepat. Orang kaya menggunakan BBM non subsidi dan orang miskin menggunakan BBM bersubsidi. Menurut saya pribadi apa yang dilakukan oleh MUI patut mendapatkan apresiasi positif walaupun masih parsial.

Fuad Bawazier, eks menteri keuangan pada era orde baru dan juga seorang politisi berkomentar bahwa rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menggandeng MUI untuk mengeluarkan fatwa BBM tentang masyarakat Indonesia yang mampu atau kaya tidak boleh mengkonsumsi BBM bersubsidi adalah sebuah langkah yang salah dalam membuat kebijakan publik. Langkah yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah menaikkan harga BBM supaya jumlah subsidi yang dikeluarkan pemerintah tidak membengkak karena kenaikan harga minyak bumi dunia. Fuad menilai telah terjadi politisasi terhadap harga BBM. Mereka yang enggan menaikkan harga BBM takut popularitasnya menurun pada pemilu 2014 karena menaikkan harga BBM adalah kebijakan yang tidak populis. Dalam hal ini saya setuju dengan Bapak Fuad bahwa jangan sampai MUI dijadikan sebagai alat oleh penguasa. Namun MUI juga tidak boleh menutup mata dan berdiam diri apabila terjadi kebathilan di tengah masyarakat dalam hal ini masyakat yang kaya atau mampu merampas BBM bersubsidi milik masyarakat miskin.

Ada juga warga masyarakat yang mengatakan bahwa BBM tidak haram, yang haram adalah hal-hal yang telah disebutkan di Quran seperti babi, bangkai, dan minuman keras. Menurut saya hal ini adalah sebuah kesesatan berpikir karena dalam Islam sumber dari sumber hukum adalah Quran dan apabila tidak terdapat di Quran maka harus merujuk ke hadits, dan apabila di hadits tidak ada juga maka harus merujuk pada ijtihad para ulama. Bagi saya MUI adalah sebuah institusi ulama di Indonesia yang kredibel dan legitimate. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, mau tidak mau, suka tidak suka, MUI adalah lembaga ulama yang diakui oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Mengingkari para ulama adalah sama dengan mendustakan agama.

Ada warga masyarakat  yang berkomentar bahwa MUI seharusnya  mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan religi dan tidak perlu mengurusi BBM. Warga masyarakat lain berkomentar sebaiknya MUI mengurusi hal-hal yang lebih penting daripada BBM. Juga ada seorang intelektual yang menyarankan supaya MUI lebih baik mengeluarkan fatwa haram bagi penerima BLBI atau fatwa haram bagi koruptor daripada mengeluarkan  fatwa BBM.

Ada juga seorang guru besar dari universitas terkemuka di Indonesia yang mengatakan bahwa jika dilihat dari arti kata fatwa adalah rekomendasi dan rekomendasi bisa kita ikuti dan bisa tidak karena itu hanyalah sebuah rekomendasi. Dia akan lebih cenderung mengikuti mekanisme pasar yang ada dimana dia akan memilih produk BBM dengan harga yang lebih murah tentunya. Seorang politisi DPR bahkan mengatakan bahwa rencana fatwa BBM MUI adalah over dosis.

Dari berbagai komentar terhadap rencana MUI mengeluarkan fatwa BBM tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa telah terjadi resistensi dan penolakan ketika sebuah otoritas agama dalam hal ini MUI untuk turut campur mengatur permasalahan publik.

Saya tidak akan berkomentar tentang benar tidaknya langkah MUI yang akan mengeluarkan fatwa orang  kaya yang menggunakan BBM bersubsidi adalah dosa karena mengambil atau merampas hak orang tidak mampu melainkan lebih kepada mengapa ketika sebuah institusi agama hendak masuk ke ranah publik kemudian muncul penolakan yang bergelombang dari masyarakat ? Apakah negara ini telah berubah menjadi sedemikian sekular ?

Mereka yang menolak masuknya MUI untuk mengeluarkan fatwa BBM tersebut lupa bahwa pada dasar negara kita adalah Pancasila dengan sila pertamanya yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Mereka yang hidup di bumi Indonesia ini harus mempercayai adanya Tuhan, menganut agama atau kepercayaan, dan menerima segala entitas yang terdapat dalam agama dan kepercayaan tersebut. Mereka lupa bahwa Indonesia adalah negara yang berlandaskan kepada Ketuhanan, bukan negara sekular yang menjauhkan agama dari segala urusan berbangsa dan bernegara.

Berbagai komentar masyarakat tersebut menunjukkan wajah masyarakat kita sebenarnya yang masih menganggap agama adalah urusan ibadah saja dan tidak boleh masuk ke ranah publik. Mau tidak mau dan suka tidak suka wajah masyarakat kita telah berubah sedemikian rupa menjadi wajah masyarakat yang sekular, bukan agamais, dan juga bukan pancasilais. Hal ini harus menjadikan sebuah introspeksi bagi kita semua terutama kepada para intelektual dan politisi yang dapat membawa pengaruh besar kepada negeri ini bahwa inilah realitas masyarakat kita sebenarnya dan juga mau dibawa kemana wajah masyarakat Indonesia ke depan ? Agamais, Sosialis, Pancasilais, Sekularis, atau bahkan Atheis ?

----

----

----

----

Kelapa Dua, Depok, 30 Juni 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun