Mendesak Tuhan segera memberitahu rencana terhebatnya, sebenarnya aku ini teruntuk siapa?
Indolensi mengejawantah jadi dogma yang tak bisa diganggu gugat. Angan-angan yang katanya wajib menjadi agunan di masa depan. Tentu saja, hati tak sudi sekadar tetirah dalam kuasi. Ingin abid di dalamnya. Kau dan aku yang selamanya bukan lagi sebuah wacana.
Begitu seharusnya kita saling memperjuangkan ikatan lewat akad yang tak berkesudahan. Hidup berkelanjutan dalam pendopo sampai lanjut usia; sampai habis masa jabatan. Lalu mengisahkan fragmen cerita cinta pada anak cucu kita. Sebagai patrinomium yang tak ternilai harganya.
Aku bukan hanya sekadar berimaji. Melantur kesana-kemari. Membicarakan jemari yang saling berpautan saling mengisi. Padahal nyatanya aku masih juga sendiri. Siapa bilang aku menutup hati? Aku hanya sedang mawas diri. Berjaga-jaga jangan sampai melanggar inhibisi.
Hanya tak ada yang sanggup mendengar lirihnya doaku yang berharap kau memang terlahir untukku. Pun aku tercipta untuk melengkapi rusukmu.
Tak peduli dibilang primordial, aku keukeuh enggan bergandeng tangan. Sudah malu dibuat masa lalu. Terus terang saja, hubungan tanpa penghulu bagiku sudah obsolet. Bualan yang hanya interim; sementara saja. Lebih terpuji bagiku tak punya kekasih, tapi dinanti calon suami.
Jangan pikir aku wanita yang hanya bisa menunggu tanpa berusaha. Bahkan setiap malam menjelang pagi, kurapal sampai meralip. Meminta izin pada Tuhan untuk meranum di hatinya; mencintainya secara gamblang.
Tak peduli hipokondria sering singgah sebab begitu takut kehilangan apa yang telanjur merangsuk makin dalam. Katamu, aku hanya perlu berharap pada Tuhan. Meminta Tuhan menguatkan hibat yang tersemat. Seperti kataku tempo hari, sampai Tuhan benar-benar merestui, begitu bukan?
Source : http://fasihradiana.blogspot.com/