Setelah lulus SMA, saya melanjutkan pendidikan di jurusan Statistika di salah satu institut favorit di Surabaya. Di sinilah saya pertama kali mengenal matematika keuangan, yang membuka wawasan baru bagi saya. Saya selalu penasaran, jika selama ini saya mempelajari matematika, bagaimana penerapannya di bidang ekonomi. Dulu, saya membayangkan ekonomi terlihat sangat rumit. Saya melihat guru ekonomi yang berkali-kali mencoba membangun bisnis, namun selalu gagal, yang membuat saya bertanya-tanya bagaimana bisa beliau gagal berulang kali, padahal beliau adalah guru ekonomi. Hingga saat mulai mempelajari matematika keuangan, saya benar-benar terkejut karena yang dibahas adalah perhitungan bunga. Saya bertanya-tanya, bagaimana bisa uang itu identik dengan bunga? Hal ini mengejutkan saya karena sebelumnya, di pondok pesantren, saya pernah mempelajari tentang riba yang dijelaskan sebagai dosa besar.
Saya mulai menyadari bahwa ada bisnis yang tidak memerlukan banyak aktivitas namun dapat menghasilkan keuntungan besar, yaitu bisnis pinjaman. Dalam bisnis ini, waktu dianggap sebagai uang, karena keuntungan besar dapat diperoleh hanya dengan menunggu dan mengambil bunga dari pinjaman yang diberikan. Sistem pinjaman ini sudah berjalan sangat stabil di era sekarang.
Dosen saya dalam mata kuliah matematika keuangan, Pak Imam Syafawi, semoga beliau senantiasa diberikan kesehatan, juga sering mengkritik sistem bunga yang ada di bank konvensional. Pada umumnya, bank menggunakan bunga majemuk (compound interest), bukan bunga tunggal (simple interest), yang memungkinkan mereka menghasilkan keuntungan secara eksponensial. Namun, hal ini sangat merugikan nasabah, terbukti dengan tingginya angka gagal bayar yang ada.