Oleh: Fariz Alniezar
Pesantren–meminjam pisau anlisisnya Ivan Illich tentang desscholing society– merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang ada di indonesia, betapa tidak karena hanya pesantrenlah yang sampai saat ini dan mungkin sampai ke depan nanti tetap berpegang teguh dan sangat memahami makna pendidkan secara etiko-filosofis.
Kongklusi tersebut merupakan hal yang lumrah yang bagi siapapun pengamat dunia pendidikan pasti akan menyimpulkan bahwa hanya pesantrenlah yang benar-benar mendidik anak didik dalam arti sesungguhnya. Sementara itu di lain pihak jika kita bandingkan dengan lembaga-lembaga “semi” pendidikan-pengajaran seperti peguruan tinggi misalnya, maka di situ kita akan segera dapat menarik kesimpulan bahwasannya hanya pesantrenlah yang memenuhi kriteria change of behavior-nya pemikir radika berkebangsaan Brazil Paolo Freire.
Maka dari itu jika kita tarik lebih jauh ke dalam terminologi pesantren makan konsep ta’lim, tarbiyah dan ta’dib semuanya terintegasi dalam pesantren. Bahkan Naguib al-Attas secara radikal mengatakan bahwa titik kulminasi dari sebuah pendidkan adalah keberhasilan seorang pendidik dalam merubah perangai anak didiknya, maka ia pun menyimpulkan bahwa ta’dib (pengakhlakan) adalah puncak segala kegiatan pendidikan. Asumsi itu bukan tanpa alasan yang ahistoris karena Nabipun kabarnya telah di utus untuk menyempurnakan akhlak dan benar-benar hanya untuk menyempurnakan akhlak. Maka sekali lagi hal tersebut tidak kita temui di berbagai lembaga pendidkan lain di indonesia selain di pesantren.
Yang menarik untuk kita cermati adalah dengan predikat yang sedemikian mumtaz-karena merupakan satu-satunya lembaga yang berorientasi mendidik- pesantren mempunyai kurikulum yang unik dan menarik untuk kita perbincangkan di sini, mungkin garis genologi kurikulum pesantren selam ini mengadopsi dari apa yang telah dirumuskan oleh Jalaluddin As-Suyuthi dalam Itmamu Diroyahnya, Ia membagi subjek kajian kitab kuning menjadi empat belas cabang keilmuan namun mungkin dikarenakan suatu alasan yang mungkin tidak bisa dihindari maka keempat belas kajian cabang keilmuan itupun di”bonsai” menjadi: fiqh (jurisprudence), aqidah (teology), al-Qawaid al-Arabiyyah –yang meliputi nahwu , sharf dan balaghah—hadits, taswwuf, shirah nabawiyyah, tafsir al-qur’an, ushul fiqh dan juga manthiq (logika). Pembonsaian tersebut diringkas lagi secara garis besar menjadi trio kajian keilmuan yaitu fiqh, teologi dan kaidah bahasa arab.
Sementra itu, di hadapan perubahan-perubahan sosial yang semakin marak dewasa ini, pesantren yang menjadikan kitab kuning sebagi ”buku wajib” terlanjur memandang literatur tersebut sebagai khazanah intelektual yang paling absah dan sakral. Oleh karena itu tak pelak “gugatan-gugatan” atas khazanah tersebut baik secara subtansial ataupun metodologis, cenderung dianggap amoral. Akan tetapi di lain pihak gempuran-gempuran modernisme secara tidak langsung sesungguhnya mengubah cara pandang masyarakat untuk terus bergerak menuju profanisasi.
Maka, ketika kitab kuning diyakini sebagai otoritas sumber yang paling absah misalnya, ia harus siap ditantang oleh arus perubahan sosial baru yang berwatak pluralistik dan selalu berubah. Trend baru ini secara sporadis juga bisa disimpulakan merupakan anti kemapanan, rasional dan ulititarian. Maka tidaklah mengherankan jika ada pemikiran-pemikiran yang lebih “in” menjawab tantangan zaman maka kitab kuning “seakan-akan” kehilangan substansi ruhaniahnya dan pada gilirannya nanti tak mustahil jika banyak “pemeluk” kitab kuning akan mendebet saldo kepercayaan mereka . Selain itu adalah sikap yang sangat apologia mengangap bahwa semua persoalan sudah termaktub jawabannya dalam kitab kuning. Sebab realitas kepercayaan dan keyakinan tersebut harus berhadapan langsung dengan sejumlah persoalan yang ternyata sampai sekarang belum ditemukan jawabannya. Mauquf bahasa pesantrennya.
Hal itu sangat dimungkinkan akibat dari pemisahan teks dengan konteks yang memang sering terjadi selama ini. Anggapan bahwa teks adalah suatu yang mandiri, entitas yang terrsediri memang sudah menjamur, lebih ekstrim bisa dikatakan teks adalah tanpa disadari menurut asumsi kita selama ini ia lahir dari ruang kosong yang tersendiri dan lepas dari konteks sosialnya. selama ini kita kita kurang memperhatikan bahwasannya teks pada hakikatnya sarat deengan muatan-muatan spasial-temporal.
Kesenjangan-kesenjangan interpretatif antara teks dengan konteks tersebut pada saatnya nanti akan tak jarang akan mengundang pemahaman serta penafsiran keagamaan yang bersifat rigid. Penganan atas masalah baru biasanya dilakukan dengan penyelasaian “formalistik” tanpa meninjau lebih dalam akar-akar kontekstual masalah tersebut. Maka tak jarang kadang juga dalam menjawab sebuah masalah muncul penafsiran-penafsiran yang bercorak arifisial, contoh kecil misalnya tentang konsep fi shulbil aqdi dalam kontrak riba.
Selain itu menarik untuk dicermati bahwa tradisi pengajaran kitab kuning selama ini cenderung berputar dan berulang. Hal itu mungkin bisa ditelisik dari lamanya kurun waktu pengajaran, dalam proses tersebut mungkin pesantren sudah menjadi bagian yang sangat intim dengan pemikiran dan laku para santri. Sehingga sikap-sikap afektif secara tidak langsung terbangun dengan sendirinya, ambil contoh tak dapat dipungkiri bahwa angggapan orang pesantren kitab kuning adalah formulasi final dari ajaran al-Qur’an dan Hadist, ia di tulis oleh ulama’ dengan double degree (kulifikasi ganda) yakni keilmuan tinggi dan moralitas yang par-excellent. bahkan ada anggapan bahwa ia ditulis dengan jari-jari yang bercahaya hampir tidak mempunyai cacat dan tiada celah kritikan baginya.
Tradisi perputaran dan pengulangan pengajaran kitab kuning mungkin dapat digambambarkan dengan misalnya melalui disiplin ilmu fiqh, dalam fiqh ternyata kitab yang diajarkan adalah berasal dari satu “gen”. Matan yang saya sebut sebagai “gen” tersebut dikembangkan menjadi komentar (syarh) atau juga hasyiyyah dan bahkan kadangkala tidak jarang muncul dalam betuk mukhtashar atau bahkan syair (nadham). At-taqrib, fathul qarib juga qurratul ain, fathul mu’in, ianah tholibin dan juga nihayah zein. Sementara pada disiplin ilmu tata bahasa arab kita jumpai: al-jurumiyyah, mukhtashar jiddan, kafrawi, mutammimah, imrithi hingga alfiyyah dan juga ibnu aqil. Demikanlah paradigma pengajaran kitab kuning di pesantren yang tetap pada jalur yang bersiklus mengembang, menyempit, berputar dan berulang, di sini maka bisa dikatakan bahwa sebuah cabang keilmuan dikupas dan dikaji serta diringkas dalam berpuluh-puluh kitab kuning. Dan semuanya diajarkan berulang-ulang dan bertahun-tahun selam menempuh pendidkan di pesantren.
Selain itu mungkin yang perlu diperhatikan adalah tradisi pengajaran di pesantren lebih menitik beratkan pada aspek pendalaman materi, dan sangat sedikit sekali yang diarahkan pada pengembangan teori, metodologi dan wawasan. Padahal jika kita cermati unsur-unsur keilmuan akan kokoh jika dibangun dan ditopang oleh ketiga unsur terakhir tersebut. Sampai di Sini mungkin kita bisa mengatakan bahwasannya pesantren memang kaya dan melimpah ruah akan materi akan tetapi ia miskin akan teori terlebih metodologi.
Catatan lain yang harus kita renungkan adalah bahwa tradisi epistemologi-keilmuan kitab kuning yang dimiliki oleh pesantren selama ini adalah berpusat pada pola pemikiran ahlul hadist, bukan pola ahlul ra’yu. Tradisi pemikiran pertama adalah tradisi pemikiran yang menjadikan aspek lahiriah dan transmisi (riwayat) sebagi kecenderungan dalam mengkaji dan memecahkan (solving) suatu masalah. Sementara itu aspek rasionalitas kurang mempunyai bergaining position di sini. Oleh karena itu mungkin kritik atas teks sangat berpeluang untuk ditabukan di sini.
Lebih dari itu pertimbangan-pertimbangan lain yang bersifat “what arround the teks” seperti kondisi sosio-kultur ketika suatu teks itu tercipta hampir sulit ditemukan dalam pola pikir yang menganut ahlul hadist. Padahal pertimbangan-pertimbangan yang bersifat “arround” atau bahkan “beyond the teks” tersebut menemui signifikansinya ketika kita bermaksud untuk mengembangkan atau minimal membandingkan (compare) pemikiran suatu teks untuk konteks yang berbeda.
Sebagai ilustrasi adalah bahwasannya dalam disiplin ilmu fiqh sebagi master mindnya pesantren misalnya sumber utamanya adalah madzhab syafi’iy. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam bingkai madzhab Imam Syafi’iy terdapat dua kubu yang bisa dikatakan bersifat paradoksal. Yang pertama adalah aliran Iraq (iraqiyyun) dan yang kedua adalah aliran Khurosan (khurosaniyyun) pada aliran pertama kecenderungan memegangi prinsip ahlul hadist cenderung lebih kuat dari pada aspek rasionalitas, tidak demikian halnya aliran kedua yang yang corak pemikirannya lebih didominasi aspek rasionalitas. Ahlul hadist dimotori oleh Abu Hamid al-Ishfirany (406 H) dan front man dari ahlu ra’yi adalah al-Qaffal al-Marwazi (417 H).
Bila kita melihat keberadaan kitab kuning di pesantren selama ini pemikiran dan genealoginya lebih menjurus pada Imam Nawawi dari pada Imam Rafi’i, muncul sebuah pertanyaan kenapa perbandingannya harus kedua imam tersebut? Karena sebagimana kita ketahuhui bahwa dua sarjana muslim itulah yang “punya rekomendasi” dari para sarjana muslim mutakkhirin sebagi orang-orang yang memiliki otoritas dalam menyeleksi pemikiran Imam Syafi’i. Dan hal itu sudah dirumuskan oleh Zaynuddin al-Malyabary dalam Fathul Muin-nya bahwasannya pendapat yang bisa dipedomani (mu’tamad) adalah pendapat yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Imam Rafi’i, dan jika kedua sarjana tersebut berseberangan jalan maka yang didahulukan adalah Imam Nawawi kemudian Imam Rafi’i, Jumhur Ulama’, pendapat paling pandai dan akhirnya yang paling wara’. Pertanyaan filosofisnya mengapa Imam Nawawi lebih diunggulkan dari Imam Rafi’i? Jawaban dari pertanyaan tersebut mungkin bisa diperoleh dari pendekatan studi identitas, maksud saya adalah jawaban atas pertanyaan di atas dapat terlacak dengan mengkaji kehidupan masing-masing sarjana tersebut dengan menitik beratkan pada pendekatan geo-sosio-kultur masing-msing. Imam Nawawi sebagaimana kita ketahui lahir di Nawa sebuah desa kecil di wilayah Hauran dan pad usia 19 tahun ia pindah ke Damaskus, sementra itu imam rafi’i lahir dan dibesarkan di Qazwayn sebuah kota di wilayah utara iran. Ada asumsi kuat bahwasannya dinamika corak pemikiran Iran lebih rasional dibandingkan dengan yang berekembang di Damaskus. Sedangkan di Damaskus sendiri yang lebih dominan adalah kajian hadisnya.
Tak pelak, imbas dari pola pemikiran di atas maka secara tidak langsung membangun sistem keilmuan yang bersifat “hadist oriented” yakni corak pemikiran yang bersifat penukilan atau transmisi sebagaiman saya sebutkan di atas. Bagi penganut sistem ini, keilmuan hanya dapat dipandang sah dan kukuh jika diberlakukan secara transmitif. Hal itu juga mungkin bisa deperkokoh lagi dengan metode hafalan yang selama ini tak pernah absen barang sejenak dari pesantren manapun. Karena sebagimana dikatakan Burhanul Islam Al-Zarnuji bahwa ilmu adalah sesuatu yang diperoleh dari mulut seorang guru, karena mereka menghafal apa yang terbaik dari yag mereka dengar dan peroleh serta menyapaikan yang terbaik dari yang mereka hafal.
Di sini dapat diakui bahwa secara normatif mendidik dengan cara seperti itu sangat baik sebagai pijakan dan basis dalam rangka penguasaan materi secara akurat nan otentik. Tapi pada tataran praksisinya sangat disayangkan bahwa praktik hafalan tersebut hampir menafikan aspek-aspek pemahaman kognitif. Oleh kerena itu, di sini jelas diperlukannya balancing antara aspek afektif yang berupa hafalan dan kognitif yang berarti peemahaman rasional dalam pembelajarn kitab kuning juga terlebih lagi jika hal itu mampu dikembangan menuju aspek psikomotorik santri.
Hal itulah yang menjadi catatan-catatan kegelisahan intelektual dan juga –kalau tidak keberatan—otokritik yang saya rasakan selama ini, dan hal itu tidak lebih hanya merupakan bagian wajar dan terkecil dari kegelisahan akademik yang selalu menimpa perjalanan intelektual-keilmuan seseorang. Dan hal itu juga terjadi pada dinamika cakrawala pemikiran saya selama ini. Oleh karena itu mungkin sangat tidak berlebihan jika saya memberanikan diri mengutip apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahidnya: Ra’yuna Shahih Wa Lakin Yahtamilul Khatta’ Wara’yukum Khatta’ Walakin Yahtamilus Shahih sebuah jargon yang menggabarkan akan betapa indahnya perbedaan pendapat, serta meminjam epilognya mendiang Gus Dur bahwa apa yang saya ungkapkan tidaklah lebih dari proses membuang dan melestarikan yang lumrah dalam setiap sejarah, bukan?. Wallahu a’lam.
Fariz Alniezar (Alumnus PP. Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang
Esais dan Peneliti di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta)
Artikel Ini Pernah dimuat di http://jombang.nu.or.id, 15/06/12