Cinta entah bagaimana membahasakannya, tiada hal selain bagaimana ketika mengekspresinya, layaknya sebuah kehidupan, bicara cinta tiada lain dan tiada bukan hanya pengalamanlah yang bisa menggerti dan mengungkapkannya.
Pernahkah para pembaca merasakan adanya cinta sejati, seorang pasangan, seseorang yang selalu membuat diri kita berkata “she’s the one”. Setidaknya itulah sedikit rasa yang perna h kucicipi.
Sebuah masa lalu masa SMA, Sebagaimana sebuah lagu mendeksripsikanya, “Tiada masa paling indah, kisah kasih di sekolah”, salah satu kutipan lagu favoritku. Kisah cinta begitu menggetarkan saat itu, sebagai sebuah tindakan psikologis, masa SMA memang laksana singasana dengan cinta sebagai mutiaranya.
Di kelas satu, dia datang begitu tiba-tiba, Seorang cewek mungil, murid pindahan. Sebagaimana sebuah sejarah, takdir tertulis tanpa sebuah keraguan memainkan perannya. Sejuta kemungkinan yang bisa terjadi, Dia kenyataannya harus marasuki ke sebuah kelas, kelas yang mempertemukan kita berdua.
Cinta pada pandangan pertama begitulah banyak orang mengungkapkannnya, setidaknya tanpa pendapat mereka saya akan berkata demikian, saya terjatuh sejak pertama kali melihatnya. Seorang cewek manis layaknya bulan purnama. Begitu mungil dengan rambut pendeknya, apa yang dapat saya elakkan kalau dia memang terlihat begitu sempurna di mataku.
Dia memperkenalkan dirinya di depan kami semua. Rasa takjubku membuatku tak bergeming darinya. Suaranya kecil dan pelan tapi bagiku suara begitu indah merasuki pikiran, pikiran yang membuat ingin mengenalnya, ingin dekat dengannya.
Biar kuberi tahu sedikit tentangku, Sebuah kata sederhana yang dengan harapan tinggi ingin membuat kalian mengerti, memihak, dan iba kepada diriku, walaupun kata-kata tersebut bermakna negatif. Tetapi pengertian adalah hal yang tepat dalam cerita ini. Dan Hal itu hanyalah bahwa diriku adalah orang yang sangat...sangat...sangat pemalu.
Sedikit menanggapi rasa cinta sebelumnya, harus bagaimanakah bersikap kalau saya memang tidak terlalu sungguh-sungguh menginginkannya, sebuah pengalaman yang memang tidak membantu untuk saat itu dan tidak akan cukup untuk disesali. Sesungguhnya saya tidak akan mengharapkan cinta jika tidak perempuan yang pdkt terlbih dahulu sebagaimana kedekatan yang kualami sebelum bertemu dengannya.
Tapi satu hal yang kutahu bahwa saya menyukainya dan berharap menjadi miliknya, sebuah harapan yang sederhana dalam sebuah kompleksitas cinta, apalah daya pemuda polos dan lugu membuat sebuah mimpi. Tak ada yang mesti disalahkan dan dipersalahkan. Setidaknya Tuhan memberikan sedikit pengalaman cinta kepadanya.
Malu adalah hal yang cukup mengerikan, membatasimu, membebelenggu sedemikian kuatnya, dan membuat tak berdaya. Sebuah diktator hebat yang rezimnya tak tergoyangkan dan tak pernah tersalahkan. Medapati diriku di depan orang yang kusukai tanpa berbuat apa-apa, pasrah. Sudah tiga hari sejak dia masuk ke kelas ini dan bahkan kami belum berucap sua. Kemajuan untukku adalah saya mengganti duduk dan bisa berada di belakangnya.
Seorang pemuja rahasia, yang cintanya tidak pernah diketahui, tak teranggap, dan tak terbalas. Tetapi mengkasihani mereka bukanlah hal yang tepat karena bagi mereka itu kebahagiaannnya jua. Saya pun tak dapat berbuat apa-apa selain menatapnya dari belakang tak bersuara, sebuah kebisuan yang kadang begitu menjengkelkan tetapi menyenangkan di waktu yang sama. Sampai begitu lama, sampai dia berbalik melihatku.
Bertatapan mata dengannya sesaat, terasa seperti embun yang menetes pelan tapi pasti, begitu menyejukkan.Begitu menyejukkan terlebih saat dia ingin berkenalan denganku, senyumnya saat itu masih terasa sampai sekarang, senyum hangat nan tulus. Walaupun perkenalan cukup singkat tetapi terasa sebuah kemajuan yang luar biasa, tolong jangan menghina dan menghakimi perasaanku saat itu yang mungkin sedikit kekanakan atau berlebihan, tetapisebagian kalian pasti memahaminya.
Waktu berjalan sangat cepat tapi bagiku terasa lebih lama, saat berada di dekatnya adalah sebuah kenangan tersendiri. Terlebih fakta bahwa kami cukup dekat saat itu, tetapi percayalah hal ini tidak sedemikian indahnya sebagaimana mestinya, tolong jangan salahkan diriku yang pemalu ini. Seperti saya katakan harapanku tentang cinta takkan ada kecuali ceweklah yang pdkt duluan, dan sebuah kesyukuran bahwa dia yang mungkin supel begitu perhatian, baik dan akrab kepadaku.Harapan akan cinta yang tak mungkin untuk terelakkan, akhirnya kisah indah sedikit-sedikit menampakkan sinarnya.
Kepolosan bukanlah sebuah dosa, ditambah sikap pemalu yang luar biasa, semua cewek pasti akan beranggapan bahwa saya tidak sedemikian menariknya. Memang itulah yang kurasakan bahwa saya cukup malu untuk jalan berdua dengannya, untuk bicara berdua dengannya, atau sekedar membuat orang lain tahu bahwa saya menyukainya. Sayangnya pemalu adalah hal yang cukup enak untuk dikerjain dan diganggui tentang masalah perasaan, setidaknya itu yang kuhindari. Mungkin dia lelah saat mengajakku makan berdua dan aku selalu menolaknya atau mengkin sedikit berbincang dan saya menghindarinya, tetapi satu hal yang kuberitahu dengan pasti bahwa saya membiarkan dia mengetahui saya menyukainya, tatapan mata adalah sebuah bahasa bisu dengan seribu makna, dan itulah jurus mutakhirku, My last arsenal, kartu Asku..
Perasaan saat itu bahwa kami sudah mengetahui perasaan masing-masing, perasaan yang kutujukkan dengan jelas, dan perasaan yang semoga bukan sebuah prasangka kutangkap darinya. Hal yang terindah juga saat itu saat teman sebangkuku sakit, dan dia datang duduk menemani kesendirianku yang saat itu tak pernah terpikirkan menjadi sebuah kenangan manis dan lucu untuk dikenang. Sayangnya seluruh teman di kelas melihat kami sebagai sebuah fakta yang mumpuni dan akhirnya sesuai prinsip sebab akibat, kenyataan saat kami duduk bersama membuat situasi kelas riuh bagaikan sebuah stadion. Kelihatannya hal itu membuat kami cukup malu, sehingga momen emas ini kami habiskan tanpa seucap kata apapun.
Situasi kelas yang menyadari kedekatan kami, membuatku sedikit menghindarinya. Tolong..tolong jangan salahkan, kalian mungkin berpikir kenapa harus meghindar ? atau kalau sudah ketahuan yah lanjut saja . tetapi itulah masa lalu, saya juga tidak cukup untuk mengerti, dan fakta bahwa kami sedikit renggang memang terjadi tetapi tiada lain oleh diriku sendiri.
Saat kelas dua, Takdir menorehkan bahwa kami harus pisah kelas. Kalau takdir berbicara pemaknaannya bahwa saya memang tidak ditakdirkan bersamanya. Tetapi kedewasaan harus berbicara bahwa saya ingin menjadi pacarnya, saya ingin menjadi tempat berbagi cerita baginya, sebuah kisah cinta yang indah layaknya sebuah drama romantis dengan happy ending yang membuat para penonton bertepuk tangan atau meneteskan air mata bahagia. Akhirnya keputusan telah dibuat bahwa pernyataan perasaan dalam hal ini sempurna untuk memulai suaut hubungan.
Hal-hal yang kutakutkan adalah bahwa dia telah bersama cowok lain tetapi sebuah kesyukuran bahwa dia tidak pernah begitu dekat dengan cowok lain, geerlah diriku bahwa dia mungkin menyukaiku dan mengharapkanku. Setiap Hari layaknya sebuah kebutuhan, saya selalu ke kelasnya untuk mengintipnya dibalik ruas-ruas jendela. Kadang dia menyadari keberadaanku dan menegurku, lalu saya hanya membalas seadanya sambil berpura-pura mengatakan kepentinngan lain, kadang dia tidak menyadariku. Wajahnya walau dari kejauhan cukup menenangkan hati,ritual ini kuanggap sebagai penghimpun kepercayaan diri untuk pengungkapan sebuah perasaan.
Tetapi apalah daya sampai kelas tiga, tidak dapat kulakukan jua, bahkan kesempatan itu tidak pernah tercipta, salahkan lah diriku yang memang tidak pernah menciptakannya tetapi walaupun ada kesempatan saya cukup ragu untuk bisa berucap seadanya. Sebuah kalimat sederhana “saya menyukaimu”
Akhirnya kelas tiga kami harus pisah kelas tiga, tetapi sedikit keuntungan kelas kami bersebelahan. Jadi alasan untuk mencari kepentingan lain bisa terelakkan padahal sesungguhnya alasan yang terkesan dibuat-buat itu menguntungkan diriku untuk membuatku terkesan masih menyukainya. Tetapi hal itu tak penting lagi karena saya merasa itu saatnya mengungkapkan perasaanku adalah proyek terbesarku.
Kesempatan-kesempatan itu tetap ada dengan kemungkinan terkecil. Sayangnya kemungkinan terkecil itu tak memuaskanku, yang saya butuhkan hanyalah momen berdua, momen sederhana dalam mimpi yang sederhana pula. Sebenarnya ini akan begitu mudah tanpa adanya malu di hatiku, tetapi apalah daya dia, juga bagian dari diriku.
Sampai kesempatan emas itu datang, suatu sore yang tenang saat menunaikan les yang diwajibkan saat itu. Saya masih mengingat pakaiannya saat itu, baju kemeja hijau dan rok putih bermotif bunga . Dia berdiri tepat di depan kelasnya, berdiri sendiri,tenang dan tak beranjak saat kehadiranku tampak dari kejauhan. This is fate, this is the moment, saya menatapnya dari kejauhan sambil menetapkan hati. dia pun menatapku dalam, sedalam hati yang telah lama menunggu. Kami bertatapan cukup lama serayah langkah kakiku memelan,semakin pelan saat mendekati dirinya.
Akhirnya jarak kami cukup dekat, deg...deg..deg...suara degup jantung memacu, adrenalin memainkan perannya sedemikian hebatnya bak aktor kawakan. Hal ini tidak membantu dan tak terhindarkan. Dan...dan....kami cukup dekat..dan...mulutmu mulai bergetar...dan...dan...akhirnya....
“Sebenarnya saya ingin mengatakan ini dari dulu, saya menyukaimu”
Sebuah kata sederhana dalam mimpi sederhana, yah sebuah mimpi..kata yang tenggelam dalam konsep yang tak terucapkan. Saya melewatinya begitu saja tanpa sepakata apapun, dan saya pun cukup malu untuk memalingkan wajah menengoknya di belakangku. Entah apa yang terjadi saat itu. Entah bagaimana ekpresiku dan ekspresinya, yang pasti itu membuatku putus asa, sedemikan putus asanya sehingga membuatku menyerah akan cinta.
Saya tidak pernah mencuri pandang lagi ke kelasnya, semuanya berjalan begitu saja, sebuah kisah yang menyedihkan dan membosankan yang bahkan membuat langit menguap, bosan, lari dari takdirnya menaungi bumi. Sampai pada kelulusan SMA, saat semua orang sedang dalam eforia, saat orang sibuk mencoreti baju yang seharusnya berharga dan masih bisa lebih bermanfaat itu. Saya sekali lagi dalam posisi berdiri tepat di depannya. Dia berdiri tenang, bersandar di salah satu pilar dinding depan kelasnya. Dia menatapku begitu lekat dan dalam, tak ada yang berubah kecuali dia tidak kelihatan bersemangat dan tak ikut dalam eforia kelulusan. Atau mungkin dia sudah tahu akhir cerita ini, menonton film kedua kalinya tak akan semenarik menonton pertama kali. Dan sekali lagi saya berhasil mengecewakannya, sebagai sutradara saya mungkin akan menerima oscar dalam kategori film paling mengecewakan. Dan sejak itu saya tidak pernah melihatnya lagi.
Hidup adalah sebuah perjalanan yang harus dijalani walau kita ingin menolaknya, orang mungkin mengatakan hidup bagaikan mengarungi samudra, tetapi sebagaimana samudra itu berombak, tenang, atau badai yang menerjang kitalah yang tetap mengatur kapal kita, kita lah yang memegang tongkat kemudi. Sayangnya harapan itu tak terwujud, hidupku bagaikan sebuah siksaan, wajahnya yang selalu dalam kenangan, serta keinginan atas pengungkapan perasaan tak berhenti-henti menyerang dan akhirnya yang ada hanyalah sebuah penyesalan.
Hidupku harus tertuliskan untuk lanjut kuliah di kota lain, sedikit menyukapi perasaan, bahwa keinginan orang tua merupakan nilai luhur, Sesuai keinginan orang tua saya melanjutkan cerita ke kota lain saya hanya berdoa agar diberikan kesempatan untuk bisa bertemu dengannya lagi.
Kuliah adalah sebuah peralanan yang menarik, bertemu dengan orang menarik dan dewasa, segala hal tentang kuliah begitu baru, bagaikan sebuah ladang hijau dengan pemandangan yang kita inginkan dengan segala kemungkinan tentangnya. Dan akhirnya sedikit cerita cinta mulai terukir tetapi percayalah walaupun niat tulus tetapi pikirannya tentangnya tidak bisa terelakkan dan harus kudapati diriku tak punya pena lagi untuk menulis cerita cinta, yang murni dan tak berdaya bahwa hatiku saat ini hanya milikknya.
Suatu kesyukuran dalam bergaul dan berguru, sikap pemaluku telah demikian terkikis, sehingga membuatku bermetamorfosa menjadi sedikit cakap dalam pergaulan walaupun dalam cinta. Sedikit menghibur diri sendiri bahwa menyatakan perasaan bukanlah sebuah hambatan lagi, dan saya cukup percaya diri untuk mengambil sumpah bahwa ketika saya menemukan dia lagi saya akan langsung menyatakan perasaanku bagaimanapun keadaannya.
Berjuta doa telah tersampaikan, mimpi-mimpi telah menusuk dalam jantung harapanku. Keyakinan untuk bertemu dengannya entak kenapa begitu jelas tak tergoyangkan walapun setiap pulang kekotaku saya selalu berikhtiar untuk mengikuti benang merah keberadaannya, tetapi no clue Setidaknya kalian bisa menebak bahwa Hp belum trend saat itu, terlepas dari fakta bahwa kami mungkin cukup miskin untuk memilikinya.
Harapan kosong sedikit demi sedikit memudar, apa yang bisa saya lakukan bahwa harapanku yang tinggi akannya. Sampai sebuah jalan yang memungkinkan hadir tiba-tiba, walaupun kemungkinannya cukup kecil. Mark Zuckerberg, saya selalu menghargainya dan menyanjungnya, sebuah situs jejaring sosial yang menyingkap segala harapan. Facebook.
Percayalah, Niatku membuat facebook tiada lain dan tiada bukan hanya untuk bertemu dengannya, dengarlah suaralah keputusasaan ini. Semoga kalian adalah sekutu yang baik. Mimpi kembali dikemundangkan, layaknya bendera perang yang tegak meninju langit, segala harapan dan kepercayaan diri kupertaruhkan.
Cukup lama menunggu tetapi sekali lagi tidak ada jejak, sampaiada group tentang sekolah kenangan kami dulu. Kalian pasti mengerti bahwa jalan untukku sedemikian terbukanya dan Hanya Tuhan yang bisa menakdirkan bahwa kami untuk tidak mungkin bertemu. Dengan segala penantian dan harapan saya mendapatkannya mendaftar di group ini.
Tiada kesenangan yang tak bisa terbantahkan, sebuah kata syukur tak henti-hentinya terucap. sedemikian senangnya, layaknya sebuah pengadilan yang begitu tulus dan ikhlas memberi sekecup sinar dalam kehausan yang tak berantah. Orang-orang menatapku heran, di sebuah warnet kecil menjadi saksi sebuah mimpi indah seorang pemuda lugu.
Yah wajah ini, senyum ini yang selalu mengkhiasi pikiranku, yang selalu datang dalam mimpi lelapku, yang membuat lubang di hati, penyesalan yang terkubur kelam dan malu untuk mengintip di dasar hati. Tanpa menunggu waktu saya langsung menambah dia sebagai teman, sebiah prosedur yang cukup menganggu sedikit menunggu akan membuatku tersiksa sedemikian rupa, tentunya dengan akal sehat pertemanan maya ini tak akan terjadi secepat ini.
Besoknya dengan perasaan tak menentu, bagaikan kilat saya menuju warnet , ruangan kecil, sedikit pengap, tetapi harapanlah yang membuat kita hidup. Sebuah konfirmasi bahwa pertemanan telah diterima, tak bisa mulut ini membentuk selain senyuman. Sayangnya saat it dia sedang dalam keadaan offline, sebenarnya saya bisa saja mengirimkan pesan atau menulis di dindingnya untuk mengikrarkan janjiku tapi apalah arti kata tanpa adanya kehadiran. Saya menetapkan hati untuk mengunggunya online, dengan membeli paket 5 jam, setidaknya kalian bisa menghargai usahaku.
Detik-detik demi berjalan sedemikian lambatnya, sebuah relativitas waktu, menunggu bagaimanapun keadaannya membuat waktu menjadi objek yang malas untuk bergerak. Sampai 3 jam telah berlalu, sebah tanda hijau muncul di sebelah namanya, sebuah tanda dalam banyak arti yang terbahasakan tetapi apapun itu kalian tidak akan mengerti perasaanku, penantian lama yang tertuang dalam semu akhirnya bisa terungkapkan, bagaikan bendungan yang siap menumpahkan segala keresaan, Setelah pertemuan terakhir saat kelulusan 2,5 tahun yang lalu.
Walaupun wajah tak bertemu, entah kenapa penampakan sedemikian jelasnya dipikiranku. Dan akhirnya percakapan ini dimulai. Biar kubahasakan sebaimana adanya. Dengan kalimat pembuka menanyakan apakah ini benar dia dan sedikit basa-basi tentang kabar dan keberadaannya.dan akhirnya setelah mengambil nafas panjang tanpa menunggu waktu lama.
“saya mau bicara penting nih ?” tanyaku membuka jalanku.
“apa tuh ?” jawabnya singkat.
“tentang sesuatu yang harus kukatakan sejak dulu” perkataan yang seharusnya membuat kami berdua tahu akan maknanya, tentang perasaan terpendam dulu. Tentang kisah yang tak layak untuk dikenang tetapi masih menyimpan harapan.
Dan dia membalas “hmm........” jawaban singkat yang membuatku gundah. Jawaban diluar ekspektasi yang seharusnya. Seharusnya tidak seperti ini, jawabannya harusnya sebuah pernyataan penasaran dan kesenangan yang membuncah.
“kalau begitu tidak jadi” Jikalau kalian mengerti, ini adalah sebuah umpan, seyogyanya pertanyaan penasaran akan muncul dipikirannya, keinginan untuk megengetahui kebenaran yang telah disinggung.
“kalau begitu saya off dulu yah, mau belajar” katanya singkat, segala harapanku pupus, sirna, menguap terbawa angin kelam yang kosong.
Apakah cinta itu ? apakah arti sebuah harapan ?
“Iya” kataku tak berdaya, entah kenapa emosi itu masih terasa saat menulis ini. Tapi sesungguhnya cerita ini belum berakhir. Karena kisahnya akan berakhir saat sebuah tulisan dengan gagahnya tampak di wall itu.
Sebuah status baru darinya "sudah lama, perasaan ini sudah kadaluarsa"
Ha..ha..ha...tertawalah jika ingin tertawa karena untuk sesaat saya juga begitu. Tanpa banyak kata dan sandiwara, saya pulang dengan tertunduk malu dan lesu. Jalan-jalan itu tak semeriah biasannya dan akhirnya kembali menjadi diriku,sebuah refleksi , cinta takkan salah, waktu hanya berjalan sebagaimana adanya. Dan saya pun berusaha berjalan sebagaimana adanya pula.
Hal apa yang paling yang menyedihkan di dunia ini ? apakah sebuah harapan yang tak pernah terwujud, kematian orang yang dicintai, perasaan yang tak terbalaskan, atau pengkhianatan orang yang kita cintai, apapun itu rasa sedih tidaklah lebih dari sebuah makna . makna yang kalau kita telaah begitu sederhana untuk menutup mata dan perasaan, Kudapati diriku menjadi bagian skenario panjang melelahkan bagaikan sebuah lukisan dengan warna sedih kekelaman.
Sebuah kisah masa lalu yang terbahasakan kembali, layaknya sebuah pintu yang memjembatani dua ruang yang berbeda. Masa lalu ini hadir sebagai ungkapan sebuah realita, sebuah nahkoda besar atas sebuah kehidupan cinta, guru terbesar yang tak terhormat dan dianggap, dan tak pernah tersalahkan untuk dikenang. Sebagaimana cerita ini ditulis sebagaimana adanya, tanpa nilai, tanpa harapan, tanpa kutukan, hanyalah sebuah cerita...cerita sederhana atas mimpi yang sederhana.
FIN.