Sebelumnya mungkin sudah ada bahasan perihal acara yang di sensor berlebihan, lebay, alay dan membuat khalayak sebagai
audience hilang cita rasanya dalam menikmati film atau program acara lain yang beredar di dunia pertelevisian nasional. Berbeda dengan apa yang akan di bahas dalam tulisan ini adalah menyangkut aturan yang mendasari hal tersebut diatas. Beberapa waktu belakangan ini sering kali kita jumpai tayangan televisi yang memberikan blur pada belahan dada, rokok, senjata api, senjata api, orang yang cidera atau berdarah juga pemotongan adegan tertentu seperti berciuman, adegan kekerasan dan hal lain juga sensor dengan cara
mute volume pada kata-kata yang dianggap kasar dan kurang pantas. Pemaknaan masyarakat selaku
audience terhadap usaha penyensoran tentu berbeda beda sesuai dengan ideologi dan latar belakang masing-masing. Namun kebanyakan dari
audience tersebut memberikan tanggapan bahwa penyensoran yang dilakukan terbilang di lebih-lebihkan. Kita berjalan sejenak ke masa lalu sebelum penyensoran menyerang. Tidak usah terlalu jauh, bisa kita ingat diawal tahun 2000an atau sesudah deppen runtuh dimana kerah yang mencekik kebebasan penyiaran terasa loggar atau paling tidak kebijakan yang ada tidak membuat khalayak dan lembaga peyiaran gerah.
KEMBALI KE ARTIKEL