Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy

Memerdekakan Egosentrisme melalui Jalur Pendidikan, Bisakah?

31 Maret 2013   16:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:56 171 0



Seekor lebah terbang kesana kemari mengandalkan kemampuan nafigasinya.



Ia membangun sarangnya yang



berbentuk sempurna, segi enam.



Ia membuatnya tidak dengan mengukur, tidak menggunakan alat, tapi tidak ada satu pun cacat dan

yang membedakan.



Pemimpinnya satu, dan



perintah ratunya ditaati.



Untuk itu ratu mengatasi segala sesuatu yang menyangkut hajat rakyatnya.



Berjumlah banyak, tapi lebah diharamkan masuk sarang berdesakan.



Rakyatnya menjadi kesatuan yang utuh, solid.



Madu yang mereka hasilkan bermanfaat bagi mahluk lain.



Sengatnya bisa mengobati, sekalipun untuk itu mereka harus kehilangan nyawa.



Tidak menyerang, kecuali apabila diganggu.



(Ratna Sulistami D. dan Rlinda Manaf Mahdi, dalam Universal Intelligence: Tonggak Kecerdasan untuk Menciptakan Tradisi dan Solusi menghadapi Perbedaan; hal 21)

Begitulah lebah yang dijadikan salah satu inspirasi dari Allah swt. dalam al-Qur’an lewat surat yang dilampirkan pada urutan ke 16, Q.S. an-Nahl. Apabila kita perhatikan ayatnya, maka ayat ke 68 dan 69 sangat menyentuh selaput pikiran kita untuk dicermati, yakni yang artinya:

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia" (ayat 68)



kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.” (ayat 69)



Sudahkah kita sebagai manusia mengampil pelajaran dari-Nya lewat lebah? Bagi yang sudah, mari me-recharge ingatan kita yang mungkin saja tertutupi oleh carut-marut keduniaan sejenak. Bagi yang belum, mari bertukar pikiran siapa tau ada contoh lain yang bisa saya dapatkan. Pada saat ini saya mengajak kepada pembaca yang budiman untuk belajar bersama mengenai egosentrisme lebah, yang bisa dijadikan acuan bagi kita semua dalam melangkah. Dari rakyat, hingga sang ratu lebah memiliki kepekaan tersendiri dalam berhubungan satu sama lain. Cara mereka bersosialisasi bagaimana sih? Sudut heksanogalnya nyaris tidak cacat hingga baru-baru ini dijadikan contoh bagi peneliti bangun ruang untuk mencermatinya. Koordinasi yang baik diciptakan dari lebah, dengan komando ratu yang mengetahui para rakyat lebahnya, hingga untuk masuk satu persatu tidak berdesakan, saling bunuh-membunuh, serta tidak atas kepentingan pribadi melainkan pada akhirnya semua bisa masuk kedalam sarang. Sangat hebat perumpamaan dari Allah swt. untuk menyingkap hiruk-pikuk alam sekitar kita bagaimana kita memberlakukannya. Ada yang memberlakukan dengan cara pembatas aku (I) dan kamu (U) secara tegas maupun tidak. Ada yang seolah-olah menyatu aku (I) dan kamu (U) untuk titik aman, mengamankan posisi supaya diterima dalam ruang lingkup kehidupan yang berbeda sehingga atribut topeng berbentuk label diperankan tanpa menjadi diri sendiri, diri yang fitri, yaitu kesejatian. Disisi lain ada yang memahami perbedaan antara aku (I) dan kamu (U) dalam pemahaman perbedaan, namun bisa disatukan dengan toleransi, saling menyayangi dalam persamaan hak, kesetaraan, dan kebersamaan yang harmonis dengan berusaha untuk tetap mengenali kesejatian, “Gnothi seauthon (siapakah kamu?)” kata Socrates, atau “… suatu kerinduan untuk kembali kealam jiwa…”, kata Plato.

Mari kita tanyakan kepada diri kita masing-masing, siapakah sih yang tidak suka kepada kesejatian (authentic)? Bagaimana jika ada orang yang kita kenal, baik itu kawan maupun lawan berpura-pura baik di depan kita, padahal mereka menjilat kita dengan menyebarkan fitnah tentang kita, karena pada dasarnya ia membenci kita? Tentu kita tidak ingin orang lain melakukan itu terhadap kita. Dari situ, konsep kecerdasan emosional Daniel Goleman tentang bagaimana seseorang belajar memahami dirinya sendiri lewat orang lain, mesti dilakukan. Jika ingin orang lain bertindak secara kesejatian di hadapan kita, maka selayaknyalah tampil menjadi diri yang fitri di hadapan orang lain, apabila kita ingin kecerdasan emosi kita baik. Sebab dikala kita menganggap orang lain adalah bagian dari diri kita, maka disanalah ada penyatuan “AKU” yang lebih besar. Perbedaan yang tidak dapat dipungkiri, bukan menjadi suatu penghambat melainkan pengayaan dialektis atas pengayaan pengetahuan. Ibarat sebuah kabel, pasti untuk menghubungkan ke saklar perlu dua arus kutub positif negatif supaya arus listrik didapatkan. Penyatuan antar perbedaan tersebut, tidak serta merta dicapai keharmonisan tanpa adanya upaya. Mediasi sebagai jalan, dilakukan oleh orang yang dipilih jika berbicara sebagai manusia, yaitu pemimpin. Dari pengertian ini, pimpinan yang dianalogikan sebagai ratu lebah secara ideal sudah selayaknya menjadi orang yang bijak menyatukan beragam perspektif demi tercapainya keharmonisan, untuk kepentingan yang lebih besar – semua rakyatnya, bagaikan samudra yang dialiri oleh beragam muara aliran sungai. Mari kita mulai dari diri sendiri dulu, kemudian kita refelksikan di dunia pendidikan!

Mengapa Harus Dunia Pendidikan?



Apabila diukur menggunakan renggang waktu dalam penelitian yang diungkapkan oleh Stephanie Garelli (dalam Menjadi No. 1 di Abad 21 – Kiat Bangsa, Perusahaan, dan Individu Memenangi Persaingan di Era Baru; hal 6) terhadap konsekuensi perubahan yang progresif, pendidikan dan riset memiliki renggang waktu terlama dalam aspek pertahanan dan impact-nya yaitu 10–30 tahun. Orientasi yang bergerak kearah non-fisik ini memiliki muatan penting daripada orientasi kemajuan yang semakin bergerak kearah fisik semisal pemerintahan dan ekonomi yang masing-masing mampu membawa perubahan sekitar 1–5 tahun dan 5–10 tahun. Oleh sebab itu baik bangsa, perusahaan, dan individu mestilah berorientasi pada pendidikan dan riset apabila memiliki tujuan jangka panjang. Stephanie Garelli berkata :

“Semakin erat keterkaitan sebuah isu dengan aset non-fisik, semakin lama waktu yang dibutuhkan pemerintah dan perusahaan untuk mengubahnya. Tantangan dalam hal pengenalan merek, kesetiaan konsumen, inovasi, atau keahlian sumber daya manusia memerlukan penanganan yang lebuh lama dibandingkan masalah biaya. Pelajaran yang bisa dipetik: perhatikan secara cermat faktor-faktor daya saing yang tidak terlalu fisik. Biasanya ketika masalahnya mulai jelas, sudah terlambat untuk memperbaikinya segera.”

Pada kesempatan kali ini, mari kita pertanyakan secara transparan, sudahkah komitmen sungguh-sungguh diperlihatkan di dunia pendidikan Indonesia untuk mengantisipasi adanya stagnasi? Seberapa besar kita mampu berbuat, pendidikan sebagai “pencetak” kualitas SDM handal yang tidak terdistorsi oleh kepentingan-kepentingan egosentris, seseorang atau kelompok, bukan serta merta pemerataan? Pendidikan sebagai miniatur para regenerasi bangsa dalam bereksplorasi, sudahkah menjadi keberpihakan menimbang dana APBN/D mencapai 20% di tata pengolaannya? Pada kenyataannya dunia pendidikan masih gigit jari ketika memperhatikan survei ketika pada ahir tahun 2006, belum beranjak dari peringkat terahir dari 11 negara Asia. Bisa dipandingkan dengan negara tetangga, Malaysia yang pernah belajar di Indonesia pada era 1970-an, secara konsisten menerapkan dana APBN 29-30 persen. Dari sini kita masih berkutat bahwa kita asih berkutat pada pendidikan yang kurang mengutamakan kemandirian, karakter, dan nilai-nilai jargon yang dimuat oleh setiap instansi pendidikan, terdapat kesenjangan yang terlampau jauh.

Disposisi semacam ini mestinya turut  menjadi renungan, jangan-jangan dunia pendidikan hanya dijadikan sebagai lahan bisnis saja. Apalagi ketika mengambil permisalan dikampus saya sendiri, saya pernah mendengar dari seorang teman bahwa seorang dosen di kelasnya pernah berkata, “kata pak … (inisial tidak disebutkan) silahkan beri banyak tugas pada mahasiswa supaya mahasiswa tidak berdemonstrasi karena yang berdemonstrasi itu kebanyakan dari jurusan psikologi”. Sungguh naïf apabila benar demikian, pasalnya potret pendidikan yang pada dasarnya sebagai ‘kawah candradimuka’ insan akademis yang kritis pembangunan menjadi terpenggal oleh mata kuliah yang sengaja dipadatkan untuk menutup mata, merabunkan wawasan seputar dunia sekitar dengan disibukkan oleh refrensi-refrensi teoritik yang mencerdaskan di domain pengetahuan (kognitif) saja, tidak diiringi dengan perilaku. Nuansa kesejajaran antara teori dan sikap patut dipertemukan secara integratif, bukan mengeruk keuntungan terutama oleh stakeholder pendidikan sebagai pengemban ibu pertiwi di masa depan. Karakteristik peserta didik yang ‘melempem’ dunia sekitar diinginkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk pemuasan fetisisme komoditas, harta dan kekuasaan. Dari sini kesadarkan akan kesejatian tentang fungsi pendidikan mesti disejatikan, dengan pembebasan tujuan-tujuan semu merugikan tanpa menanggalkan norma-norma tradisi seperti negara Jepang, Cina, Iran, dan India yang sampai saat ini disegani (semoga seterusnya) di percaturan dunia.

Lantas, bagaimana solusinya?



Apabila pemaparan diatas kita cermati secara bersama, tentu kita dapat mengambil benang merah menjadi problem solving permasalahan yang telah digambarkan. Dengan masing-masing diri mengambil pelajaran (ibrah) dari lebah, baik dari pengajar (guru) maupun yang diajar (murid) mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan maka tak pelak terjadi turbulensi carut marut pendidikan. Prinsip yang dikedepankan ialah dialektis, persamaan untuk kebaikan bersama yang lebih tinggi, yaitu kesejatian tanpa peran label yang seolah olah, apabila diusik kita marah. Guru memerankan perannya sebagai sejatinya guru, murid juga memerankan kesejatian atas perannya sebagai murid. Peran pimpinan selayaknya bijak dalam rangkamenyingkapi perbedaan baik dari antar sesama murid hingga guru untuk mengambil ‘sari pati madu’ yang dihasilkan dari mereka guna rekontruksi besar-besaran, 10–30 tahunan mendatang (penelitian Garelli). Institusi pendidikan selayaknya menerapkan pendidikan yang berkarakter, setiap pribadi adalah pemimpin seperti yang diucapkan oleh Ki Hadjar Dewantara, seorang pemimpin harus mampu berada di depan menjadi tauladan (Ing ngarso sung tulodo), berada di tengah-tengah pengikutnya menghimpun kekuatan bersama (Ing madya mangun karsa), dan berada di belakang unuk selalu bergerak, memotivasi pengikutnya dan mengarahkan ke tujuan yang tepat (tut wuri handayani). Guru sebagai pihak yang lebih berpengalaman menjadi modeling atas perilaku siswanya. Apabila tidak, peribahasa “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” bisa berubah menjadi peribahasa anekdot “Guru kencing berlari, siswa dikencingi”. Peribahasa anekdot tersebut bisa menjadi fakta ketika siswa yang diharapkan oleh bumi pertiwi belum mampu membawa kearah keberhasilan pendidikan yang bukan hanya berprospek pada pembangunan fisik infrastruktur gedung saja melainkan pemikiran cemerlang demi peradaban gemilang di masa depan, menuju kesejatian, bersumber dari kekuatan Rabb Semesta Alam. Mari ciptakan kesejatian yang berkarakter dengan menanggalkan egosentrisme pribadi maupun kelompok!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun