Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Ajang untuk Motivasi Memperbaiki Diri

3 Juni 2013   16:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:35 113 0

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali menerima penghargaan dari dunia internasional. Kali ini penghargaan World Statesman Award 2013 dari Appeal of Conscience Foundation (ACF) atas jasa-jasa dalam meningkatkan perdamaian, toleransi beragama, dan penyelesaian konflik antar etnik. Alasan utama lembaga ini memberikan penghargaan untuk SBY, karena ACF melihat kontribusi besar Presiden dalam resolusi konflik di Indonesia, termasuk membangun kerukunan antarumat beragama. Namun, tak semua orang setuju dengan award ini. Banyak pihak memuji tetapi ada pula yang mengritisi. Inilah realitas demokrasi: semua elemen bangsa memiliki ruang untuk menyatakan pendapatnya tanpa ada tekanan pihak lain.

Penganugerahan telah diberikan 30 Mei kemarin di New York, Amerika Serikat. Setiap tahun ACF memberikan penghargaan kepada para tokoh yang dinilai berjasa di bidang kebebasan beragama, hak asasi manusia, meningkatkan perdamaian, toleransi, dan penyelesaian konflik antaretnik.

ACF didirikan oleh Rabbi Arthur Scheier tahun 1965 dan telah memberikan penghargaan tahunan kepada para tokoh yang dinilai berjasa dalam bidang kebebasan beragama, HAM, peningkatan perdamaian, toleransi dan penyelesaian konflik antaretnis. Tokoh-tokoh dunia yang pernah menerima penghargaan ini berurutan dari 2008 – 2012 adalah mantan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy, mantan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, Perdana Menteri India Manmohan Singh, mantan Presiden Korea Selatan Lee Myung-Bak, dan Perdana Menteri Kanada Stephen Harper.

Seiring dengan pemberiaan penghargaan World Statesman Award 2013 kepada Presiden SBY kini mengemuka polemik di muka publik. Sejumlah kelompok masyarakat sipil meinilai Presiden SBY tidak pantas menerima penghargaan itu karena aksi-aksi intoleransi bernuansa sentimen agama dan etnis di Indonesia marak terjadi selama era pemerintahan Presiden SBY. Kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di sejumlah daerah merupakan salah satu contoh dari hal tersebut.

Memang, harus diakui sejumlah persoalan intoleransi masih terjadi di Indonesia. Dua kasus menonjol yang seringkali menjadi perhatian adalah kasus kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin.

Meskipun demikian, harus diakui pula bahwa secara umum kerukunan sosial dan antar agama dari 240 jumlah penduduk Indonesia dengan beragam agama, etnis, suku, dan daerah masih terjaga baik. Aksi-aksi intoleransi dapat terjadi di mana saja, termasuk di Amerika Serikat sebagai negara penganut demokrasi tertua. Tidak ada negara sempurna yang tidak terjadi intoleransi di dalamnya.

Di samping itu, Indonesia kini memiliki catatan hak asasi manusia yang jauh lebih baik dari era terdahulu. Dewasa ini tidak ada lagi terdengar pelanggaran hak asasi manusia berat, seperti penembakan masal Santa Cruz tahun 1991, peristiwa Tanjung Priok tahun 1984, peristiwa Talang Sari Lampung 1989, dan lain-lain. Singkat kata, tidak ada lagi pelanggaran hak asasi manusia yang secara sistematis dilakukan negara kini sebagaimana terjadi di masa lalu.

Tidak boleh dilupakan pula jika Indonesia dalam beberapa kesempatan menjadi bagian terpenting dari penyelesaian sejumlah konflik kekerasan bernuansa agama dan etnis. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia dikenal sebagai negara yang paling aktif mendorong Myanmar untuk menghormati prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Selain itu, Indonesia juga memiliki andil dalam mendamaikan Thailand dan Kamboja terkait sengketa perbatasan.

Di dalam negeri, tercapainya perdamaian permanen di bumi Nangroe Aceh Darussalam menjadi prestasi besar bangsa Indonesia di bidang perdamaian. Konflik berdarah di Poso dan Maluku pun juga dapat diselesaikan. Semoga dalam waktu tidak lama lagi konflik di Papua juga akan mendapatkan hasil serupa dengan daerah-daerah tersebut.

Pemberian penghargaan itu merupakan wujud apresiasi dunia internasional terhadap kemajuan-kemajuan yang dialami bangsa Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Sejumlah transformasi penting yang dilakukan Indonesia pada abad 21, terutama di bidang politik dan ekonomi, tidak luput dari perhatian dunia internasional.

Jika di masa lalu Indonesia dikategorikan sebagai negara otoriter, maka kini Indonesia telah mengalami perkembangan demokrasi sangat pesat sehingga menjelma sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia sekaligus negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Selain itu, sederet apresiasi dari dunia internasional itu sekaligus untuk membungkam penilaian miring sejumlah pihak selama ini bahwa kepemimpinan Presiden SBY selama 10 tahun terakhir ini tidak meninggalkan warisan berharga serta tidak memberikan prestasi dan apa-apa.

Dalam keterangannya kepada pewarta usai menerima penghargaan, SBY mengatakan bahwa dirinya memaknai penghargaan itu sebagai sebuah motivasi dan cambuk untuk berbuat lebih baik lagi. Hemat saya inilah jawaban secara tidak langsung kepada para pengkritiknya atas pro kontra patut tidaknya dia menerima penghargaan itu. Seolah ingin mengatakan bahwa Indonesia pun belum sesempurna yang dibayangkan orang. Kitahormati dan hargai pandangan-pandangan itu. Itulah demokrasi, itulah kebebasan berpendapat dan berbicara. Sementara itu, ucapan selamat dan dukungan serta ikut bersyukur atas penghargaan tersebut ternyata banyak juga diterima oleh SBY.

Kekurangan yang dimiliki dirinya dalam memimpin republik ini diakuinya. Namun demikian diri ini salut atas keterusterangan SBY yang mengakui masih ada kekurangan. Oleh karena itu ajakan SBY untuk memperbaiki diri segala kekurangan di negeri ini patut diacungi jempol. Pemimpin bijak adalah pemimpin yang mengerti mana yang menjadi kekurangnnya dan senantiasa berusaha untuk memperbaiki diri. Maka dari itu mudah-mudahan penghargaan akhir Mei lalu yang diterima SBY harus disyukuri sebagai sebuah penghargaan untuk bangsa dan negara Indonesia. Kita harus termotivasi dengan penghargaan untuk melakukan perbaikan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun