Malam minggu yang tak kunjung temu denganmu di sebuah kedai kopi, sekitar 10m letaknya tidak jauh dari jalan raya. Bangunan 2 lantai sederhana di hiasi bunga -- bunga, suasana yang cukup sunyi, jarum jam menunjukan pukul 23:00 malam hari. Kumasuki kedai itu dengan langkah gontai terarah, sedikit cemas dan banyak rindunya. Di depan pintu, kebingunganku datang untuk mengisi meja yang tak terisi; meja -- meja tersusun rapih yang hampir terisi penuh, namun keputusanku tepat untuk memilih meja yang jauh dari keramaian --tepatnya di sudut ruangan. Duduk tenang dengan rokok yang baru kunyalakan sambil menunggu kekasihku datang, kuhisap asapnya perlahan bayanganmu terbang bersama kabut asap kerinduan. Terdengar alunan nada yang menggetarkan jiwa -- menggugah kenangan indah, mengungkit kenangan pahit, imajinasi pun mulai bangkit. Indah bola matanya bak bulan purnama di malam hari, pipinya merah merona, dagunya yang lancip membuat mata tak berkedip, bibirnya tipis menumbuhkan berahi hati, senyumnya yang tak sirna di telan senja, manis dan imut wajahnya yang tak habis di kerumuni semut.
Ah Tuhan, rasanya ingin kupeluk erat liak-liuk tubuhnya dan menggenggam tangannya yang halus seperti sutra. Seketika imajinasiku buyar; terpesona melihat indah wajahnya. Lantas kubenturkan pandanganku pada tubuhnya, pada pinggulnya yang aduhai seperti gitar sepanyol. Seorang waiters sekaligus barista yang amat cantik menghampiriku dan bertanya;
'' kang mau pesen kopi apa?''
Dengan sigap aku menjawab;
'' kopi rasa rindu ada?" ; sedikit heran, menggaruk kepala kebingungan. Dia balik bertanya;
''emang ada kang kopi rasa rindu? Setahu saya sih, gak ada. Bahkan baru kali ini saya mendengarnya''.
''ada loh teh''; jawabku
''Emang belum pernah tau kopi itu bisa mengobati rasa rindu, bahkan menjadi remedi tatkala sepi menghampiri''; tanyaku dengan sedikit humor,
'' belum tau sih, emang kopinya seperti apa?''
''spesies kopi nya sama seperti yang lainnya, cuman..." jawabku membuatnya penasaran,
''apa?" jawabnya dengan sigap
''kalo kamu yang bikinnya, kopi pahit pun akan terasa manis dan aku pun rindu untuk meminumnya'',jawabku sedikit gombal,
Senyum mesranya muncul, gelak manis -- tawa ekspresif yang tidak bersuara menunjukkan rasa gembira, tangannya yang lembut; sedikit menahan tawanya,
''ah akang mah bisa aja, jadi akang mau pesen kopi apa nih?; Tanyanya, menyudahi senyumnya yang begitu mempesona
''kopi arabika v60 natural wash ciwidey''
''Di tunggu sebentar ya'' barista itu bergegas pergi menyiapkan kopinya.
Percakapan singkat itu mejadikanku laksana perang halusinasi. Derap suara sepatunya perlahan mengayun mengiringi kepergiannya, pandangan pun tak dapat kulepaskan dari pinggulnya yang aduhai. Masih tersimpan baik dalam benakku bayang senyumnya yang indah -- sederhana namun mempesona. Hasrat birahiku yang semula redup kini bangkit meronta -- ronta. Seketika teringat seorang aktor film Drakor. Ditemani nyamuk nakal dengan sebuah harapan, berbatang - batang rokok telah kuhabiskan, kuresapi tiap hisapan tanpa sedikitpun asap yang tercecer. Ketika bara mendekati busa filter, dan pikiran terbang bersama asap yang mengepul; kau datang tiba -- tiba mengagetkan, menggebrak meja sambil berkata;
''woy jangan melamun! Nanti kesurupan'' ;gelak tawanya, menertawai ekspresiku
''entah apa yang merasukiku'' ;jawabku sambil menghela nafas sedikit terkagetkan,
Dasar kekasihku, kamu memang suka mengagetkan! Bahkan aku kaget melihat wajahmu yang menenangkan jiwa secepat kilat; mungkin tuhan bermaksud memamerkan ciptaan-Nya -- tak ada sedikitpun kekeliruan dan kekurangan pada ciptaan-Nya, Dia berfirman: "tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih, maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat? ".
Canda tawa tercipta diatas meja dengan suasana yang romantis, kedipan lampu kilau -- mengilau seperti bintang yang indah, diversitas lukisan dinding menghiasi semua ruangan, iringan alunan musik indie -- lagu payung teduh berjudul ''diatas meja'' seakan - akan merencanakan pertemuan kita, menuntaskan rindu yang tak kunjung reda, berdua diantara kata, bercerita penuh makna, dan bersua tanpa ria. Malam itu serasa milik kita berdua, romantisme sejarah dalam hidupku bermesraan denganmu duhai kekasihku, jangan sampai angin malam menghanyutkan kenangan kita. Tiba -- tiba nestapa menghampiri , mengakhiri pertemuan kita. Kopi pesananku tiba, diantar sang barista cantik, belum sempat mencicipi kopi, spontan kekasihku menegurku;
''jangan lirik - lirik cewe cantik, nanti aku marah!"
Dengan nada tinggi, kesal, karena pandanganku tak lepas dari barista cantik itu. Kekasihku orangnya memang sangat cemburuan,
''ya gak akan gitu lagi, aku ga senakal yang kamu pikirin''
Jawabku mencoba membuatnya agar tidak marah
''buktinya kamu malah lirik cewe itu, dasar mata jelalatan!''
Amarahnya pun mulai memuncak, yang semula kukira akan reda kini bangkit meronta -- ronta
''Hal yang wajar ketika aku melirik cewe cantik, kan aku juga punya mata, buat apa diciptakan mata kalau saja tidak dipakai untuk melhat?'' ; jawabku, membenarkan pebuatanku, dengan sedikit emosi
''hah... kamu bilang wajar? Sungguh keterlaluan! Dengan entengnya kamu bilang hal itu wajar, dimanakah hati nuranimu ? ''kau perhatikan saja wanita lain, sedangkan wanita yang jelas -- jelas di sampingmu malah kau acuhkan!''
Berlinang air matanya sedikit demi sedikit mulai menetes, teriris hatinya oleh perkataaanku, dengan cerobohnya aku bertutur kata yang semestinya tak kuucapkan, seharusnya aku tak menyakitinya. Kucoba untuk meminta maaf kepadanya, meski memaafkan itu sulit,
''maaf beribu -- ribu maaf . Jangan marah -- marah terus sayang nanti cantiknya hilang,'' ; jawabku sambil merayu,
''maaf maaf seenaknya aja kamu minta maaf, buktikan dengan tindakan jangan hanya omong kosong belaka, mikir dong kamu punya otak gak?'' sambil menamparku dengan keras
Suasana pun mulai hening, sedih dan memilukan. Gelap, sunyi, sepi, di penghujung malam, sama persis halnya keaadaan hati kita. Tamparannya membekas di pipi dan hatiku, sungguh menyakitkan rasanya tapi memang begini keaadaannya. Kucoba untuk menerima kenyataan pahit ini sambil menahan air mataku yang mulai berkaca -- kaca. ''Seharusnya ku suguhkan kopi bukan hati! Nyatanya hidup itu tak seperti kopi creamy latte, yang manisnya bisa diatur sendiri" mungkin itulah gumamku dalam hati.
Oh Tuhan, kenapa semua ini terjadi? Gundah -- gelisah penyesalan mulai kurasakan, mungkin ini sebuah teguran, ya, semua ini salahku. Seketika itu kucoba nikmati kopi pahit yang mulai dingin --tepatnya sedingin perasaan ini. Kunikmati perlahan -- lahan setiap tetesan airnya, rasa pahit maung meraung -- raung berseteru dalam seduhan. Sudahlah! Jangan belarut -- larut dalam kesedihan. Kuusahakan tetap tersenyum, agar aku tak malu di hadapan kopi yang terlihat tetap tenang, meski dicibir karena rasa pahitnya.
Kupegang kedua tangannya sambil berkata;
''Sayang maafkan aku, tidak akan kuulangi lagi kejadian ini''
Kuusap air matanya lalu kupeluk erat tubuhnya, ku elus -- elus rambutnya, kuhirup aroma tubuhnya yang begitu wangi, hati pun mulai tenang dan amarah pun mulai reda.
''aku sangat menyayangimu, maafkan aku sayang''
Dia menganggukkan kepala tandanya sudah memaafkanku. Suasana mulai cerah kembali yang sebelumnya dramatis kini menjadi romantis, senyumnya mulai melebar, canda tawa mewarnai kita;
''sayang jangan bersedih lagi ya'', sambil menyubit pipinya kemudian kukecup keningnya,
Kusodorkan kopi kepadanya, kuperkenalkan kopi, agar kekasihku dapat merasakan sensasi kehangatan, kenikmatan dan kebahagian dalam secangkir kopi, setidaknya kopi menjadi saksi dimalam ini.
''sayang kopi kok pahit rasanya?, Tanya kekasihku yang baru mencoba kopi arabika
''Seruput dulu minumnya, nikmati perlahan - perlahan jangan tergesa -- gesa, hirup dalam -- dalam aromanya yang khas dan sangat wangi''
Dia mulai mencoba menikmati kopi berkali -- kali sampai menemukan kenikmatan yang klimaks. Begitulah kopi yang khas, unik rasanya dan membuat siapa pun rindu serta candu untuk meminumnya. Kekasihku mulai meranyadari ternyata ''yang pahit itu bisa di nikmati''.