Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Bagi Kami, Inilah Proses Mendidik

25 Agustus 2012   10:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:20 187 2
Lampu penerang jalan di teras-teras rumah seperti rambu nelayan di tengah laut. Kegelapan yang menyelimuti desa pun tertikam gemerlap bintang yang bernyanyi di tengah sunyi. Kebanyakan orang telah berselimut diri menghindari menghindari dingin yang menggigilkan sendi-sendi. Namun, kami bertiga tetap bertahan di teras di temani kopi yang mendingin dan sebungkus rokok yang telah habis separuh.

Obrolan ringan telah berlangsung sejak usai shalat Isya tadi, hingga kami berhenti pada pembicaraan tentang pendidikan yang makin marak di negeri ini: RSBI, SBI, sampai full day school. Kami bicara pada pengalaman, karena tentunya kami buta tentang undang-undang, PP, image building, jaminan mutu.

Guru-guru kami mengajarkan tentang pengabdian, dan kami -yang dididik dg gaya/metode 'kolot' ini- tidak habis mengerti bagaimana pendidikan bisa digarap dengan cara yang demikian: menampak-nampakan diri dengan bangunan iinfrastruktur yang wah; mempoles diri dengan bergaya belajar kebarat-baratan; berdalih menggali potensi siswa dengan cara yang jor-joran; dan lain sebagainya.

Bayangkan, dengan belajar/pembelajaran ala "Kak Setorian" siswa "dilepas" mengeksplorasi diri, dan sedihnya sering kali tanpa rem. Siswa pun tampak terlalu superior, kurang tata krama, dan karakter/'inner beauty' yang rapuh. Dengan biaya yang tidak sedikit, guru pun seperti 'dibeli' waktu dan tenaganya untuk mengajarkan mereka materi-materi kurikulum. Karena kami adalah produk pendidikan klasik maka gaya mengingatkan dan membimbing peserta didik pun dengan cara klasik. Sedangkan metode ini yang terang-terangan sedang dihapus oleh gaya 'Kak Setorian'.

Titik Tolak dan Titik Temu
Semua guru tentunya ingin memiliki siswa dengan karakter yang kuat. Dan inilah titik temu pertama dari seabrek metode mengajar yang diterapkan saat ini. Hanya saja titik tolaknya bermacam-macam, dan akhirnya jalannya pun seperti saling berlawanan.

Gaya 'Kak Setorian' jelas hanya memberi sumbangsih sedikit ketika diterapkan di sini, di desa kami. Sosiokulturnya sangat tidak mendukung, sumberdaya manusianya harus mengikuti pembinaan yang inten terlebih dahulu, sehingga tidak salah paham ketika menerapkan gaya tersebut.

Saya sendiri khawatir, pelatihan yang sehari atau dua hari tidak mampu memahamkan kami tentang "Guru adalah Teman", "setiap anak punya potensi dan kecerdasan masing-masing", jangan beri hukuman fisik pada anak-anak, dan lainnya. Sehingga, dari pada kami salah paham maka kami lebih suka mengajar dengan gaya tradisional; menggebrak meja untuk menenangkan siswa yang keterlaluan, menghukum berdiri di depan kelas, membersihkan WC kalau tidak menyetor hafalan, dan lainnya.

Bagi kami itulah cara mendisiplinkan diri, membikin 'kapok' hawa nafsu, menghormati dan memperhatikan orang lain. Saya kira inilah titik temu yang kedua, tetapi ditempuh dengan jalan yang berbeda.

Dan dingin semakin menggigilkan tulang. Ketika kami akhirnya pulang obrolan itu tetap saja terkenang.
.
.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun