Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Belajar dari Imam Malik dan Imam Syafi'i: Interaksi Guru-Murid.

23 Agustus 2011   01:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:33 727 1
Ia menghafal Alqur’an ketika masih berumur tujuh tahun. Dan ia pernah kehilangan setengah hafalannya karena melihat betis seorang perempuan.Ia menghafal ratusan ribu hadits lengkap dengan sanad dan rawinya, dari yang mutawattir sampai yang dhoif. Ia juga menghafal seluruh isi kitab karya gurunya, Muwatta’.

Dengan kekayaan ilmu itu ia berkelana ke Iraq dan berfatwa tentang berbagai hukum-hukum Islam (furu’). Lalu pergi ke Mesir dan di sana ia menyampaikan beberapa fatwa baru yang berbeda dengan fatwa sebelumnya karena berbagai faktor, salah satunya adalah faktor geografis. Melalui telaah-telaahnya ia kemudian membuat sebuah pegangan dasar hukum yang dikenal dengan ushul fiqh.

Imam Malik –para pengikutnya menamakan diri sebagai Malikiyyah- adalah guru yang memiliki kelapangan jiwa dan kebijaksanaan seluas angkasa. Ia tidak menghujat, menyalahkan, apalagi membangun citra buruk tentang muridnya itu. Ia memahami keluasan pengetahuan Imam Syafi’i dan kehati-hatiannya dalam mengambil kebijakan hukum. Sedangkan Imam Syafi’i sendiri sama sekali tidak menganggap apa yang telah diajarkan oleh Imam Malik adalah salah. Justru dalam wasiatnya ia berkata kalaulah ada kebenaran dari orang lain yang tidak ada dalam dirinya maka janganlah ragu untuk mengambil kebenaran itu.

Hubungan guru dan murid yang harmonis itu terjadi berabad-abad silam, justru ketika fikih dan ideologi menjadi sangat rawan karena digunakan sebagai alat perluasan kekuasaan dinasti.

Tentu saja kita harus belajar banyak dari kearifan Imam Malik. Menjadi guru berarti menjadi alat atau penghantar ilmu pengetahuan. Sudah menjadi kewajiban kitalah untuk menyampaikan apa yang seharusnya, mengajarkan seperlunya, dan mengingatkan sewajarnya. Sebagai “alat tranformasi” tentu kita tidak harus mentransformasikan semua yang ada di dalam diri kita karena tidak semuanya siap untuk menerimanya. Maka sampaikanlah seperlunya dan sisanya biarkan mereka yang mencari dan kita yang mengawasi.

Tidak mudah mengambil sikap seperti ini karena sejak lama kita sudah diajarkan bahwa guru adalah sumber pengetahuan, bukan sebagai tranformator pengetahuan. Sehingga ketika seorang murid memiliki perbedaan yang berbeda dengan guru, murid lebih sering ditempatkan di tempat yang “tidak berada di jalur yang benar”.

Memang mudah mengarahkan murid untuk berada di jalur yang sama dengan pikiran kita. Itu karena superioritas dan status quo yang disandang sebagai seorang guru, yang justru terkadang nasehat guru lebih digugu daripada orang tuanya sendiri. Dan tindakan ini lebih mudah daripada mengajak murid untuk berdiskusi dan menggali perihal dasar dan latar belakang perbedaan keduanya.

Kita adalah imam Malik-imam Malik kecil dengan imam Syafi’i-imam Syafi’i kecil (mengandaikan diri sendiri sebagai imam malik kecil dan imam syafi'i kecil tentu sangat berlebihan). Membangun inklusifitas kebenaran sangatlah penting untuk mengajarkan kebesaran jiwa menerima perbedaan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun