Besok merupakan suatu tanggal yang sangat mengiris hati, mengusap jiwa dan air mata di kala itu. Angin bak sapu yang terus melayang, bumi seakan - akan ingin menunjukan siapa dirinya serta awan yang memberikan kabar hitam ini kepada kami.
Tepat pukul 17.16 WIB tanggal 30 September 2009 bencana ini datang kepada kami. Gempa dengan kekuatan 7,9 SR menghentak di bumi nan indah nan elok ini. Ribuan nyawa melayang, baik itu dari usia belia sampai tua renta tidak menjadi halangan bagi tuhan untuk mencabut nyawa makhluknya. Yah, memang setiap yang bernyawa pasti akan menemui ajalnya dikemudian hari dan merupakan suatu titian yang akan kita tunggu, bias saja dalam detik ini, jam ini, hari ini ataupun esok hari.
Teringat, dikala itu saya sedang dalam perjalanan pulang melihat kobaran api dimana - mana, darah berceceran bak sampan berisi air yang dilobangi. Bangunan hampir rata dengan tanah, ketika itu saya sedang berada di tugu Padang Area, yang merupakan monumen keberhasilan orang awak dalam mengusir sekutu di zaman dulu. Ketika itu saya tidak pernah membayangkan akan terjadi bencana yang sebesar ini, bumiku semakin menjadi - jadi. Gemuruh yang keras terselip ditelingaku sambil melihat burung burung terbang dari arah pantai. Ketika itu yang terlintas di benakku, apakah ini yang disebut kiamat, hampir 1 menit gempa itu terjadi dan aku hanya dapat termenung terpaku dengan kejadian kejadian yang luar biasa ini. Kulihat di kiri kananku semua bangunan rubuh tidak ada yang tersisa, hanya suara jeritan yag tersisa untuk meminta pertolongan. Pertolongan itu datang dan mereka yang terjebak sungguh sangat memprihatinkan untuk melihatnya. Saya yang saat itu berada di tengah zona yang merupakan salah satu titik terparah di Kota Padang sangat merasakan apa yang disebut great disaster of the 2009 ini. Setelah gempa reda saya pulang dengan rasa cemas, bagaimana keadaan orang orang yang saya cintai. Pulang dengan kebut berlandaskan mobil yang sudah memikul badan jalan terbirit birit didepan orang yang termakan isu akan datangnya tsunami besar, sebab saat itu ciri - ciri akan terjadinya tsunami itu sudah lengkap, tapi syukur tuhan masih bersama kami semua sehingga tsunami itu tidak terjadi. Disepanjang jalan saya hanya bisa terdiam membisu melihat efek dari gempa ini.
Di buai oleh kemacetan saya turun dari mobil dan berjalan kaki kerumah kira - kira tinggal berjarak 2 km lagi. Tangisan demi tangisan selalu saya dengar selama berjalan kaki, pada suatu saat saya menolong mengangkat puing reruntuhan untuk menyelamatkan orang yang terjebak, naas memang orang itu telah tiada. Histeris dari keluarganya sungguh membuat saya sangat sedih. Saya melanjutkan perjalanan pulang dan ketika tiba didekat rumah melihat puing reruntuhan telah melobangi atap rumah dan dinding serta tembok menunjukan ukiran dari tuhan, tak terkira rumah yang dibangun dengan cinta oleh kedua orang tua saya dalam 1 menit sudah tinggal kenangan, begitu juga rumah tetangga saya. Ternyata komplek yang saya diami itu juga salah satu titik terparah di Kota Padang. Puji syukur semua anggota keluarga saya dalam keadaan sehat dan tidak lecet, untungnya kami sudah terbiasa dalam simulasi untuk menghadapi bencana ini, sehingga tuhan masih sayang kepada kami semua.
Hidup dalam keaadan susah, tanpa listrik, baju, tak mandi dan kesulitan makanan itulah yang kami alami ketika itu, relawan sungguh banyak yang datang memberikan bantuan berupa makanan. Ketika saya hendak masuk kerumah lagi, rasanya hanya dengan sentilan jari akan rubuh semuanya. Itulah yang saya alami ketika itu dan masih banyak lagi cerita yang sungguh luar biasa dari warga lainnya di Sumatera Barat. Mudah mudahan ini terakhir kalinya saya melihat bencana sebesar ini, tidak sanggup rasanya merasakan untuk yang kedua atau ketiga kalinya. Semoga seluruh nyawa yang lebih dahulu pergi oleh gempa ini diberikan tempat disisi-Mu dan diberi kemudahan di akhirat kelaknya, Amin.