Sikap saya dalam Pilkada Serentak 9 Desember 2015 hari ini juga seharusnya tak berbeda. Di kota tempat saya tinggal sekarang diadakan pemilihan walikota dan saya sudah mendapatkan surat panggilan memilih, karena saya sudah menjadi warga kota ini yang ditandai dengan kepemilikan KTP.
Namun, saya menghadapi dilema yang sulit dalam menentukan pilihan. Hanya ada dua pasang calon walikota dan wakilnya yang diusung oleh partai-partai yang ada di DPRD. Pasangan pertama digotong oleh PDIP dan lain-lain (banyak partai, saya tidak tahu apa saja, tapi di baliho-baliho yang ramai terlihat adalah dukungan PDIP) adalah pasangan walikota petahana dengan calon walikota yang baru. Pasangan kedua adalah penantang yang dibawa oleh Partai Gerindra (ini juga saya tahu dari alat peraga yang dipasang di jalanan) dan kemungkinan oleh Demokrat karena salah satu dari pasangan tersebut setahu saya adalah kader Partai Demokrat.
Selama petahana menjadi walikota, saya tidak melihat prestasinya. Kubangan di jalan menjadi pemandangan yang reguler (termasuk di depan rumah saya yang merupakan jalan kota), kemacetan akut akibat parkir sembarangan di depan mata petugas Dishub di depan sekolah-sekolah swasta kaya sudah menjadi norma, dan banjir setinggi lutut di depan tempat saya bekerja akibat hujan kurang dariĀ 10 menit saja sudah bertahun-tahun tak bisa diselesaikan. Tak ada yang bisa diharapkan dari petahana, entahlah kalau dari wakilnya yang entah siapa. Ketidakcocokan hati memilih petahana ini semakin kuat karena diusung oleh PDIP, partai yang tak berguna dalam mendukung pemerintah - sebagaimana dibuktikan dalam perilaku mereka terhadap Presiden Jokowi di Pemerintah Pusat.
Pasangan kandidat kedua yang diusung oleh Partai Gerindra tidak begitu masalah dilihat dari sisi calon yang diusung. Saya tahu bahwa sang calon walikota adalah mantan anggota DPR 2009-2014 yang gagal di Pemilu tahun 2014 dan tak punya prestasi yang impresif. Sementara itu, calon wakil walikota yang kabarnya selama ini tinggal di Jakarta tak saya tahu kiprahnya selama saya tinggal di kota ini; saya tak tahu juga apa prestasinya di tingkat nasional. Dengan menganggap bahwa saya yang kurang update mengenai informasi tentang para 'tokoh' yang merasa pantas menjadi walikota dan wakil walikota ini, saya tak akan menolak pasangan kedua ini - tidak ada cacat yang mencolok pada mereka. Masalah terbesarnya : mereka diajukan oleh Partai Gerindra ! Saya tidak alergi denga Partai Gerindra, tetapi perilaku anggota Partai Gerindra di MKD DPR dalam kasus Setya Novanto membuat saya sangat marah dan kecewa. Saya merasa bahwa jika jari saya memilih calon yang diusung Partai Gerindra, maka saya ikut berpartisipasi mendukung partai yang berperilaku tak sesuai dengan kehendak rakyat di sidang MKD DPR.
Jadi, kemanakah jari ini akan diarahkan ketika masuk bilik suara nanti ? Istri saya juga sudah bertanya : siapa kita pilih ? (Seperti biasanya, dia yang cuek soal politik cuma minta pendapat dan ikut anjuran saya).
Saya belum tahu. Ada kemungkinan saya akan memilih pasangan penatang dengan alasan pasangan kandidat petahana sudah nyata tak berprestasi sedangkan yang baru mungkin masih ada harapan membawa perubahan. Ada kemungkinan saya akan memilih pasangan petahana dengan alasan "no way" to Partai Gerindra.
Bingung, oh, bingung! Saya tidak mengharamkan golput, tapi juga sama sekali tak bangga menjadi golput. Indecisiveness adalah suatu kelemahan dan saya tak mau menyia-nyiakan hak saya. Tapi, jika diberikan pilihan buah simalakama, bagaimana dong ?
Saya pasti akan hadir di TPS, tapi mungkin saya akan membiarkan kertas suara saya tanpa coblolsan. Atau ... tergantung bagaimana wangsit dari langit saja ketika saya nanti berada di bilik suara.