Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humor

XFI Final: It's Time to Taste The Food

23 Mei 2013   22:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:07 607 4
Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa rumah kami akan bertetangga - cuma jarak lima langkah - dengan sebuah mall besar.  Tepatnya, rumah kami sekarang ada di belakang tembok Mall Arsitiai yang berlantai enam yang baru beberapa bulan beroperasi.  Tapi, tentu tak boleh asal main lompat tembok kalau mau ke mall. Harus berjalan dulu mengelilingi jalan di belakang, sisi kiri dan depan mall sebelum masuk lewat pintu utama.

Bukan tentang mallnya aku hendak bercerita. Juga bukan tentang supermarketnya di mana kami sekarang melakukan belanja bulanan. Tapi, tentang food courtnya yang berhadap-hadapan dengan supermarket tersebut. Food court itu dikelola oleh suatu jaringan bernama "Kali-kali Foodcourt International" yang punya identitas berupa simbol kali "X" tebal berwarna merah. Tanda "X" mendominasi meja makan, punggung kursi-kursi dan dinding. Tanda yang sama juga bertebaran di daftar menu dan bon makanan bersama tulisan XFI. (XFI itu jadi brand dari food court mereka).

Food court itu tidak begitu luas karena berbagi lantai dengan supermarket, tapi ada hal yang tak biasa di sana. Di pintu masuk food court pengunjung disambut senyuman oleh beberapa SPG cantik dan dihadiahi satu sachet shampo. Gak tahu apa hubungannya. Emangnya shampo bisa dipakai untuk cuci tangan sebelum makan ? Dan ketika pengunjung sedang makan atau minum, akan berseliweran gadis-gadis berseragam kuning menawarkan kartu perdana dan pulsa telepon genggam.

Konon - menurut informasi yang disebarkan di beberapa tempat di dalam mall - food court akan ditata dengan konsep khusus : akan ada satu main tenant yang menempati lokasi di tengah ruangan yang posisinya ditinggikan seperti panggung, sedangkan yang lain akan ditempatkan di bagian tepi. Sekarang di tengah-tengah ruangan itu  hanya ada konter minuman yang dioperasikan sendiri oleh jaringan food court tersebut, sedangkan semua food stall disebarkan di keempat sudut ruangan.

Mall Arsitiai dan XFI Food Court  itu memang ramai dikunjungi dan dagangan apa pun di sana tampaknya pasti akan laris. Namun, harus diakui juga bahwa XFI memang sangat selektif memilih pedagang makanan yang boleh berjualan di food courtnya. Boleh dibilang, semua makanan yang ada di sana lezat luar biasa.

Untuk menentukan counter makanan yang akan menempati pusat ruangan dan mendapat lantai terluas, tidak dilakukan berdasarkan kesediaan membayar sewa yang lebih tinggi dalam $/sqft, tapi ditentukan melalui proses mirip sebuah sayembara. Sang pengelola XFI yang bekerjasana dengan Mall Arsitiai, namanya Babah Cowel, mengadakan kompetisi bagi para tenant : siapa yang paling banyak mendatangkan pengunjung ke foodcourt boleh menggunakan center stage tersebut secara eksklusif tanpa menaikkan biaya sewa ataupun service charge. Setiap Jumat malam (sekali seminggu) si Babah akan memeriksa jumlah kunjungan pelanggan setiap lapak; pedagang yang jumlah pengunjungnya selama seminggu terrendah akan diputus kontraknya, untuk sementara tak diperbolehkan berjualan lagi.

Babah Cowel orang bisnis tulen. Dia tak menghitung kunjungan ke lapak berdasarkan omzet penjualan makanan masing-masing lapak atau mencacah jumlah orang yang memesan di sebuah counter, tapi berdasarkan pesanan minuman dari masing-masing lapak. Karena pedagang tidak dibolehkan menjual minuman sendiri, jelaslah XFI mendapatkan keuntungan berlimpah dari bisnis minumannya selain pemasukan dari sewa lantai.

Metoda perhitungan jumlah pelanggan ini memang aneh, tapi para pedagang tak bisa protes. Nah, agar pemilik kedai makanan boleh terus berdagang di XFI Food Court, para pedagang mendorong para pelanggannya untuk banyak minum. Memang jadi aneh, ada pengunjung yang menghabiskan enam atau tujuh gelas minuman karena dibujuk oleh pedagang tempatnya memesan makanan.

Pada awalnya ada 13 lapak di sana. Dilihat dari susunan lapak, sebenarnya ada 4 klaster pedagang makanan yang berjualan di sana. Masing-masing klaster menempati salah satu pojok food court. Belakangan aku tahu bahwa sebenarnya lapak-lapak dalam satu klaster masih terbilang satu grup usaha. Setiap lapak adalah entitas bisnis yang berdiri sendiri. Meskipun bersaing untuk merebut pelanggan dan merebut tempat di tengah ruangan, mereka terlihat bekerja sama untuk beberapa hal. Masing-masing klaster punya seorang pemimpin, ada kemungkinan dia investor yang punya saham di setiap lapak di klasternya.

Di pojok arah kiri dari pintu masuk ada tiga lapak, entah kebetulan atau tidak, yang jadi bos grup usaha dan yang jadi pedagang semuanya  perempuan. Bos perempuan yang kelihatan ayu adalah mantan juragan tahu di Sumedang dan ekspansi ke ibukota. Para wanita itu mengusahakan makanan yang berbeda-beda : seorang gadis muda yang wajahnya masih kelihatan unyu-unyu dan berhijab menjual makanan yang relatif ringan seperti colenak, cilok dan cireng. Satunya lagi, bertubuh gempal sexy berkacamata, menjajakan pempek komplit : lenjer, kapal selam, apa saja ada. Yang seorang lagi jualan pecel lele dan burung dara goreng.

Di pojok arah kanan dari pintu masuk ada tiga lapak yang dikomandoi oleh seorang lelaki berrambut punk dan suka berbaju jaket hitam, bersepatu boot. Lapak di klaster ini terlihat ramai bahkan ketika tidak ada pengunjung, maklum setiap lapak penjaganya juga ramai. Ada lapak yang dijagai enam cewek bening yang berjualan kupat tahu, batagor dan siomay. Lapak yang lain dijagai empat gadis yang  berjualan nasi timbel komplit. Lapak terakhir di sudut ini dikelola empat anak muda yang badannya  rata-rata tinggi besar, jualannya aneka soto : mulai dari soto Gubeng khas Surabaya hingga coto Makasar.

Sudut di ujung ruangan sebelah kiri diisi oleh lapak-lapak yang eksteriornya terlihat eksotis. Bosnya seorang tante berrambut panjang yang suaranya sering melengking kalau memanggil pelayan. Di sana ada lapak pedagang steak yang dijagai oleh pedagang yang sering dikunjungi pacar bulenya. Lapak kedua pedagang yang menyediakan makanan Eropah, khususnya Perancis. Yang ketiga adalah lapak yang berjualan mangut ikan dan ayam asap; pedagangnya suka memejamkan mata ketika berbicara, mungkin karena sering kena asap ketika menyiapkan masakannya.

Sudut di ujung ruangan sebelah kanan terlihat agak seram. Dinding di empat lapak yang ada di sana digantungi dengan asesori yang tak lazim, mulai dari rantai-rantai besar, gari dan rangkasepeda motor trail; ada juga beberapa kaos t-shirt berwarna hitam dengan gambar Che Guevara. Koordinator klaster ini tampangnya mirip bos mafia; tiga anak buahnya yang lelaki dan satu yang perempuan kelihatan sangar-sangar. Keempat anak buahnya memanggil sang bos dengan istilah "Godfather". Kalau mereka sedang berkumpul dan kita kebetulan mencuri dengar apa yang mereka bicarakan, kata yang sering berulang terdengar adalah kata "rampok". Entah apa maksudnya.

Tapi mungkin, hanya tampang mereka yang seram. Salah satu anak buahnya - yang lelaki kurus semampai - berdagang sop buntut sangat ramah dan gemar menyapa," Salam damai!" Anak buahnya yang lain tubuhnya agak kecil mirip Oki dalam komik "Oki dan Nirmala" di majalah Bobo; dagangannya nasi ayam, nasi gurih, nasi lemak dan nasi kandar. Yang satunya lagi, tinggi besar, berdagang aneka sea food, menu andalannya kepiting kenari saus tiram. Yang perempuan satu-satunya, sedikit gemuk, berjualan aneka sate bumbu pedas, mulai dari sate madura hingga sate padang, tapi tak ada sate kacang.

Kami suka mencicipi makanan dari berbagai counter yang ada di food court itu. Tidak semuanya aku suka; favoritku adalah colenak, pempek dan sate padang. Meskipun sering mampir di food court tersebut kalau lagi belanja di super market di seberangnya, aku tak selalu menyadari adanya perubahan yang terjadi di food court itu, karena setiap ke sana aku masih menemukan colenak, pempek dan sate padang.

Suatu hari aku menyadari hanya ada tinggal lima lapak pedagang yang masih beroperasi. Selain ketiga penjualan makanan favoritku,  masih ada pedagang ikan dan ayam asap dan paguyuban pedagang soto . Pengunjung masih tetap ramai - malah mungkin tambah ramai - karena lapak yang ditinggal oleh pedagang yang tergusur digunakan untuk ekspansi oleh pedagang yang masih berjualan.

Jumat  berikutnya, aku baru menyadari si penjual pempek pun sudah tidak di sana. Aku mulai merasa kehilangan. Duduk-duduk sambil menikmati colenak aku mulai memperhatikan lebih seksama pengunjung-pengunjung lain. Ternyata orang tidak lagi datang sekedar untuk makan dan minum, tapi untuk mendukung pedagang favoritnya. Yang berpromosi bukan lagi si pedagang, tapi para "fans"nya. Alih-alih duduk tenang menikmati hidangan yang dipesannya banyak pengunjung yang riuh memuji-muji makanan di lapak yang dikunjunginya dengan harapan orang yang melintas akan mampir di lapak itu.

Di setiap lapak terdengar teriakan yang kadang-kadang lebay, semisal," Oh my God, this is just fantastic! The best in the world!" Dari lapak lain terdengar, "This is great! What a masterpiece. Bahkan chef hotel Ritz- Carlton akan minder jika mencicipi makanan ini."

Seringkali ungkapan pujian disampaikan dengan cara berdiri dan berteriak kepada para pengunjung supermarket di luar food court. Jika tidak ditanggapi, maka mereka yang jadi penggemar salah satu kedai akan mengaminkan pujian yang lain dengan berdesis cukup keras, "Yes...Yes...Yes!"

Tidak biasanya di tempat makan orang banyak bicara, apalagi berteriak-teriak. Tapi - begitulah yang kusaksikan - di sini orang lebih banyak menggunakan lidahnya di meja makan untuk mengeluarkan kata-kata daripada mengecap makanan dan minuman yang telah terhidang.

Minggu berikutnya si pedagang ayam dan ikan asap yang tak lagi di sana. Sebenarnya aku tak begitu suka dagangannya, tetapi tepat sebelum dia digusur, aku sempat mencicipi ayam asapnya, dan ternyata - di luar dugaanku selama ini - memang enak. Tapi, dia tak dibolehkan lagi berdagang di sana, karena jumlah langganannya terrendah di bandingkan yang lain. Tinggallah tiga pedagang yang kulakan di tiga pojokan. Lapak-lapak di ujung kiri dalam ruangan telah dibongkar dan diisi oleh kursi untuk mengakomodasi pengunjung yang semakin membeludak saja.

Fast forward ke cerita minggu lalu. Ternyata pedagang soto yang kena giliran harus keluar dari food court. Tersisa dua pedagang, satu di dekat pintu masuk yaitu pedagang colenak, dan satu lagi di ujung ruangan yaitu pedagang sate. Mereka berdua sudah merenovasi lapak masing-masing menjadi lebih besar dan ada neon sign yang lebih mencolok di tiap lapak. Di lapak pertama tertera : Colenak Granat, sesuai dengan colenaknya yang dibentuk seperti granat tangan lengkap dengan sumbunya. Di lapak kedua tertulis : Sate SHAM, konon kepanjangannya adalah "Sampai Habis Air Mata", katanya satenya begitu enak dan begitu pedas, sampai-sampai orang tak sadar sudah menghabiskan puluhan tusuk dan air mata terkuras karena kepedasan.

Ketika aku melintas di depan mall dalam perjalanan pulang ke rumah beberapa hari ini, aku menyaksikan hal yang tak biasa. Di sepanjang jalan sekitar mall ada baliho dan umbul-umbul promosi sate dan colenak. Ada rasa geli melihat promosi itu, karena isinya tak lazim.

Salah satu baliho menulis begini : "Colenak Granat ternikmat, terbuat dari singkong organik super, olahan superchef terhebat abad ini, mendapat pujian dari Bruno Mars (World Grenade Colenak President)."

Umbul-umbul dari pedagang yang satunya begini : "Sate terlezat di seantero Nusantara, terbukti membuat pipi seorang bupati menjadi merah merona tanpa blush-on dan berhasil memenangkan kontes kepala daerah tercantik di Indonesia"

Pelanggan pedagang colenak yang sudah terorganisir sangat menginginkan colenak tetap bertahan di mall itu. Mereka menempeli dinding mall dengan himbauan agar semua pengunjung mau mampir di lapak colenak dan membeli minuman dari Babah Cowel sebanyak-banyaknya.  Sementara itu, pendukung penjual sate tampaknya cuma ada sporadis. Entah karena mereka menganggap kans dagangan sate tak selaris colenak, mereka tak segiat pendukung pedagang colenak. Atau, mereka punya strategi rahasia yang tak diungkap ke publik.

Di samping poster yang sifatnya dukungan, ada poster-poster yang agak mengenyek salah satu pedagang. Nadanya seperti black campaign.

"Colenak tak enak. Tak ada saus, dicocolnya kemana ?" Ini tampaknya berkaitan dengan komplen sebagian pembeli ketika si pedagang colenak terlalu banyak order sampai lupa buat saus.

"Sate over bumbu. Awas! Kelebihan cabe buat diare!" Ini tampaknya berkaitan dengan kebiasaan si pedagang sate yang menambahkan terlalu banyak cabe di bumbu satenya.

Ternyata pertarungan antara kedua pedagang untuk memperebutkan lantai berjualan di XFI Food Court tidak berhenti di sekitar mall. Ada beberapa tetangga bercerita tentang forum-forum yang digelar untuk menganalisis peluang kedua pedagang. Kebanyakan memang sok ilmiah. Di forum diangkat isu-isu seperti :

  1. Fairkah menilai laris tidaknya dagangan makanan berdasarkan jumlah minuman yang dibeli ?
  2. Layakkah membandingkan pedagang sate yang turunan chef kambing guling dengan pedagang colenak yang tak pernah kursus kuliner ?
  3. Tidakkah pedagang sate lebih arif jika mengalah saja, karena dia sudah punya lapak di mall lain dan satenya sudah terkenal hingga Kazakhstan, dan memberi kesempatan kepada pedagang colenak yang masih pemula untuk mengembangkan bisnis perdananya di XFI Food Court ?

Aku sendiri tak peduli siapa yang akhirnya berhak mendapat center stage di XFI Food Court nantinya. Untukku, yang penting kalau colenak harus dicoCOL ENAK, sate pun harus diSAnTap Enak. Kalau memang enak, pastilah  dimanapun mereka berdagang akan dikerubuti pembeli dan aku akan mencarinya.

Ini cuma soal selera, kok harus dibuat rame sih ?

Begitulah. Keriuhan itu terus berlangsung sampai hari ini dan semoga berakhir besok. Setelah berakhir, mudah-mudahan orang-orang kembali menggunakan lidahnya secara proporsional untuk menikmati hidangan lezat yang dijual oleh para pedagang makanan.

Besok final XFI. Aku, keluarga, tetangga di seputaran Mall Arsitiai, dan seluruh XFI Food Court lover mengucapkan :

"It's time to taste the food."
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun