Penulis : Dr. Yansen TP., M.Si
Penyunting : Dodi Mawardi
Penerbit : Elex Media Komputindo (Jakarta : 2014)
Tebal : 208 halaman
Bertanyalah seorang bupati di sebuah wilayah bernama Malinau di Kalimantan Utara nun di perbatasan dengan Malaysia : "Mengapa elite-elite lokal dan birokrasi pemerintahan daerah yang selama ini telah bekerja keras belum membuahkan hasil yang signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat ?"
Pertanyaan ini terutama menyangkut masyarakat desa yang merupakan komponen terbesar bangsa ini. Berbekal dua puluh enam tahun pengalaman sebagai abdi negara di negeri ini, pertanyaan itu dijawabnya sendiri : karena masyarakat tidak dilibatkan dalam pembangunan.
Bukan jawaban yang istimewa dari seorang lulusan S3 dalam bidang ilmu pemerintahan. Opini seperti ini jamak terdengar di berbagai talk show. Namun, menjadi tidak biasa ketika opini tersebut diperluas menjadi suatu pernyataan bahwa "pemerintah harus memberikan kepercayan penuh kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan" (hal 12). Salah satu wujud kepercayaan itu adalah kesediaan pemerintah melimpahkan wewenang dan urusan tertentu kepada pemerintah desa.
Dr. Yansen TP.,M.Si, sang bupati yang telah banyak makan asam garam di birokrasi pemerintah daerah berpendapat bahwa pembangunan dapat berhasil hanya jika masyarakat berkreasi dan berinovasi di dalam suatu pemerintahan desa yang mandiri (local self government). Paradigma yang berlandaskan pada keyakinan bahwa masyarakat desa pasti akan mengemban kepercayaan dengan baik melahirkan konsep Gerakan Desa Membangun (GERDEMA). Saat ini pemerintah Kabupaten Malinau telah melimpahkan 31 kewenangan kepada setiap kecamatan dan 33 urusan kepada desa.
Melimpahkan wewenang bukanlah keputusan yang mudah bagi para pemegang kekuasaan. Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa sejak zaman kemerdekaan pemerintah selalu berupaya melakukan sentralisasi dan enggan berbagai kekuasaan dengan daerah. Pada zaman Orde Baru UU No 5/1979 mengatur bahwa desa menjadi organisasi pemerintahan yang dikendalikan oleh negara. Setelah reformasi, barulah keluar UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Desa yang memberikan pengakuan keunikan desa sebagai self-governing community yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Namun undang-undang tersebut serta UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak memberikan ketegasan mengenai otonomi desa, sehingga menjadi pegangan bagi bupati/walikota untuk mengatur dan mengurus desa secara luas.
GERDEMA menempatkan desa sebagai penggerak (driver) pembangunan. Beberapa perbedaan pendekatan GERDEMA dengan pendekatan pembangunan sebelumnya adalah (hal 45):
- Merupakan integrasi antara pendekatan partisipatif dan teknokratik yang bermuara di desa
- Menyerahkan urusan perangkat teknis daerah kepada pemerintahan desa
- Menjaga konsistensi antara formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan pembangunan desa oleh pelaku pembangunan dan masyarakat desa
- Memberikan kepercayaan penuh kepada desa melalui kontrol anggaran secara mandiri.
- Memberikan otonomi secara penuh di desa sebagai bagian komitmen membangun kedaulatan rakyat.
GERDEMA mulai diterapkan di Kabupaten Malinau sebagai bagian dari visi Bupati Yansen ketika terpilih pada tahun 2011. Meskipun baru berjalan sekitar 2 tahun, beberapa indikator awal menunjukkan bahwa gerakan ini telah berhasil menggerakkan pembangunan desa dan penyelenggaraan tata kelola pemerintahan desa yang semakin baik (hal 44-45). Salah satu contoh perbaikan adalah peningkatan partisipasi masyarakat dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa. APBD Kabupaten Malinau setiap tahun disusun dari hasil perencanaan di tingkat desa (Pra-Musrenbangdes dan Musrenbangdes) yang dilaksanakan setiap tahunnya oleh seluruh desa yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan (hal 58).
Buku berjudul "Revolusi dari Desa" ini menjabarkan gagasan di balik konsep GEDERMA yang dilengkapi dengan pembahasan mengenai aspek kepemimpinan, hubungan antar lembaga dan mekanisme keberhasilan GERDEMA. Rekam jejak implementasi GERDEMA di Kabupaten Malinau ditampilkan untuk menunjukkan keberhasilan konsep ini di dalam praktik.
Buku ini cukup mudah dicerna meskipun penyuntingannya kurang memberikan alur yang mulus. Masih terasa bahwa buku ini hasil dari tulisan yang lebih ilmiah, tampak dari pemunculan konsep-konsep teoretis yang tidak begitu esensial untuk disertakan dalam sebuah buku yang ditujukan untuk praktisi seperti Satuan
Kerja Perangkat Daerah (PNS SKPD), Pemerintahan Desa
(Pemerintah Desa, BPD, LPMD, Lembaga Ekonomi Desa,
Lembaga Adat, PKK Desa) dan masyarakat umum. Juga, akan lebih menarik untuk dibaca apabila dipisahkan antara bagian yang menjelaskan konsep GERDEMA dengan bagian yang menunjukkan penerapannya di Kabupaten Malinau.
Ada satu paragraf yang mengganggu di halaman 102
Padahal dengan logika sederhana saja, dengan hitungan sederhana saja, seharusnya kekayaan alam kita tidak akan pernah habis jika dibagi-bagikan kepada setiap warga negara. Bahkan mungkin masih akan tersisa melimpah buat anak cucu kita kelak.
Pernyataan simplistik ini mengurangi nilai dari buku yang sudah disusun cukup logis ini. Mungkin di cetakan berikutnya bagian ini lebih baik dihilangkan. Hal lain yang mungkin baik ditambahkan adalah penjelasan tentang tantangan yang dihadapi dalam menjalankan otonomi desa serta pengalaman Kabupaten Malinau dalam mengatasinya (misalnya : resistensi dari SKPD yang kehilangan sebagian wewenangnya, feodalisme pemerintah desa, peningkatan kapasitas perangkat pemerintahan desa dan sebagainya).
Secara umum, isi buku ini sangat menarik untuk dipelajari, khususnya mengingat bahwa konsep GERDEMA dua tahun lalu telah mengimplementasikan beberapa gagasan di dalam Undang-undang No 6/2014 Tentang Desa yang baru disahkan awal tahun ini.