Air mata, saya anggap salah satu bentuk komunikasi dalam konteks intrapersonal, yang merupakan hasil proses persepsi dari sensasi yang timbul oleh panca indra. Sebagai benda yang berwujud, kita mudah sekali mendeskripsikan fisik air mata: keluar dari mata, berwarna bening, berasa asin. Tetapi ketika kita bertanya mengapa air mata timbul? akan ada minimal lebih dari 3 jawaban yang ada: karena sedih, senang, menahan sakit.. dan mungkin akan jawaban-jawaban akan timbul dari saudara-saudara yang membaca tulisan ini.
Saya sebagai wanita begitu menyukai bahkan menggilai air mata, oleh karena itu saya lebih suka menyukai berkomunikasi dengan media air mata dibandingkan dengan mengunakan media bahasa atau media-media lainnya. Hal ini bukan karena saya malas bicara atau saya enggan berdebat, tapi karena saya sendiri tidak tahu apa akan yang akan saya bicarakan atau ekspresikan dan air mata begitu mudah dapat mewakili (sementara) apa yang ingin saya ungkapkan secara instant.
Terkadang saya megeluarkan air mata ketika saya melihat anak saya tumbuh, merasa dongkol karena terlambat, bingung ketika kondisi uang terjepit oleh kebutuhan, ketika individu melukai perasaan saya dengan pernyataan-pernyataan tertentu, merasa sendirian di dalam sebuah mall yang padat pengunjung, atau menangis karena melihat rombongan haji dalam bis di jalan menuju tahah suci.
Begitu cengengnya saya, dan benci itu. Oleh karena itu saya berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, walau tidak pernah berhasil. Akhirnya saya mencoba untuk membentuk air mata menjadi sesuatu yang abstrak, tak terlihat, tak terasa, dan dan tak teraba. Saya coba mengkristalisasi air mata, menyimpannya dalam kantung mata yang kemudian secara mekanis akan digerus lembut dan keluar dari mata sebagai 'belek'.
Saya tidak peduli jika saya dikatakan jorok, karena kedengarannya lebih profesional dari pada cengeng. Saya cinta air mata, sangat cinta karena itu salah satu pengejawantahan teori disonansi kognitif à la saya.... :)