Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Dunia Ibu

21 Juni 2024   07:14 Diperbarui: 24 Juni 2024   13:41 109 2

Aku belajar mengenal kekacauan hidup dari sosok ibuku.
Itu berlangsung semenjak aku masih berbentuk janin, lantaran kehadiranku ke dunia tidak direncanakan dengan baik. Tetapi akibat "kecelakaan". Konon kondom yang dipakai ayahku bocor.
Ibu tidak siap menghadapi kehamilannya yang keenam. bermaksud menggugurkannya. Namun dokter tidak berani mengambil tindakan karena usia kandungannya sudah memasuki tiga bulan.
Sepanjang hidup benakku diusik sebuah pertanyaan "Mengapa kondom bisa bocor?". Jawabannya kutemukan tatkala umurku empat tahun. Melalui kakak kelima ku yang usianya dua tahun di atasku. Aku satu-satunya anak perempuan dalam keluargaku.

Kakak kelimaku orangnya hiperaktif dan pintarnya gak ketulungan. Dia mirip burung hantu. Kalau malam susah tidur. Dia hanya bisa terlelap tatkala tengah mengikuti pelajaran di kelas atau mengerjakan PR.
Sang guru tidak bisa bertindak apa-apa, karena hasil ulangan dan rapornya selalu bagus. Beliau tidak punya alasan menghukum dirinya.
Suatu hari dia menemukan benda sakti yang disembunyikan dibawah kasur kamar ayah. Sebuah kaleng berbentuk lonjong bekas tempat pomade. Ketika dibuka isinya balon karet yang sangat tipis. Agar tidak lengket ditaburi bedak. Melalui benda itu terkuak rahasia aktivitas orangtuaku malam hari tatkala anak-anak disinyalir sudah tidur semua.
Kakak meyakinkanku, bila tidak bisa tidur ayah dan ibu senang main "balon-balonan". Mereka berdua bergantian saling meniup sampai lelah. Suaranya berisik mirip orang kehabisan napas. Itu terdengar jelas karena kamar ayah bersebelahan dengan kamar anak-anak.
Selama ini mereka  pisah ranjang. Ibu biasa tidur seranjang denganku dan kakak bungsuku tersebut. Sesekali ia menghilang, pindah ke kamar ayah.
Kakakku yang iseng mencoba meniru perilaku orangtua kami. Ia mengambil balon itu, meniupnya. Bentuknya bukan bulat, tapi memanjang. Aku disuruh mencoba, tapi tidak mau karena jijik melihat mulutnya yang penuh bertaburan bedak.
Semenjak saat itu stigma yang melekat dalam diriku adalah "anak yang terlahir akibat bocoran kondom bekas".  Tidak enak banget!
Sampai kapanpun aku tidak pernah bisa memaklumi perilaku orangtuaku, mengapa mereka masih suka memakai kondom bekas, walaupun sudah menelan korban. Kok tidak kapok?

Ibu mempunyai riwayat masa lalu cukup kelam sebagai anak bungsu yang pernah diterlantarkan keluarganya. Kurasa peristiwa itulah yang membentuk kepribadiannya yang cenderung apatis. Ia sangat jarang mengekspresikan perasaannya.
Secara fisik ibu sangat menarik. Tubuhnya ramping dengan bentuk dada dan pinggul yang padat. Fisiknya tidak terlalu berubah kendati sudah berkali-kali melahirkan.
Ia seorang wanita yang dingin sekaligus cerdas. Meskipun pendidikan formalnya rendah, cuma sampai SMP.
Aku belajar mengeksplorasi duniaku yang kecil namun penuh tantangan dari sosok ibuku. Meskipun kurang begitu mengenal riwayat hidup serta silsilah keluarganya.

Konon ia sebenarnya punya tiga orang kakak yang selisih usianya belasan tahun dari dirinya. Ayahnya seorang penjudi dan pemabok. Lelah menghadapi sikap suaminya yang tak kunjung bertobat dan terus-menerus terjerat dalam kemiskinan nenekku kabur meninggalkan keluarganya. Saat itu usia ibu baru tujuh bulan.
Karena tidak ada yang sudi merawat, bayi tersebut diserahkan ke sebuah panti asuhan yang dikelola para biarawati dari Ordo Santa Ursula. Semenjak saat itu ibu tidak pernah lagi berhubungan dengan keluarganya.

Ayahku sebaliknya berasal dari sebuah keluarga yang cukup terpandang di kota kami. Kakek-nenekku adalah imigran asal Tiongkok yang singgah dan menetap di Indonesia menjelang tahun 1940 an. Mereka merintis usaha yang makin lama berkembang makin pesat.
Berupa sebuah toko yang menyediakan hampir semua kebutuhan hidup. Mulai dari sembako, rempah-rempah, palawija hingga pakaian, alat tulis dan kebutuhan kantor serta obat-obatan.
Dikelola secara tradisional dengan dibantu dua orang karyawan yang sudah bekerja semenjak awal berdirinya toko yang keluasanannya sekitar lima ratus meter persegi tersebut.
Ayah adalah anak tunggal. Itulah sebabnya nenek bersikap sangat posesif terhadapnya. Membentuk karakternya  yang penurut, kurang bisa bergaul serta tertutup.
Setelah menyelesaikan SMPnya di sekolah Cung Hwa ia tidak melanjutkan pendidikannya. Pada masa itu terjadi pergolakan politik yang menyebabkan semua sekolah berbahasa Mandarin ditutup. Nenek tak sudi mengirim anaknya belajar di sekolah pribumi. Semenjak saat itu ayah terjun membantu usaha orangtuanya.

Yayasan Sayap ibu yang menaungi panti asuhan khusus anak-anak perempuan bermarkas di sebuah gang di jalan jendral Sutoyo, sekitar satu km dari lokasi toko kakekku.
Panti yang jumlah penghuninya duapuluh tujuh anak tersebut banyak menerima sumbangan dalam bentuk beras, susu bayi  dan biskuit kalengan. Namun mereka kekurangan uang tunai serta kebutuhan lain yang mungkin tidak terpikirkan oleh para donatur. Jadi secara periodik suster Angela yang memimpin panti tersebut akan mengutus salah satu anak ke toko kakek. Mengangkut beberapa karung beras, susu dan biskuit -yang tak habis dikonsumsi dan jumlahnya menumpuk - menggunakan becak langganan mereka. Minta ditukar dengan buku dan alat tulis, pembalut wanita, telur, mie instan atau apapun yang sedang dibutuhkan mereka pada saat itu. Yang melayani adalah kakek atau ayah. Mereka mengalkulasi harga pembelian barang-barang itu guna ditukar produk lain sesuai permintaan Kepala Panti.

Suster paling sering mengirim ibu untuk bertransaksi. Selain ia anak yang umurnya paling tua, juga pandai bicara dan tidak pemalu.
Berkat dia panti bisa mendapat tambahan telur bebek, sarden, kornet yang pada masa itu tergolong makanan mewah. Ada kalanya diimbuhi satu kantong permen. Terutama bila yang melayani ayah dan yang datang ibu.
Lantaran sering bertemu keduanya saling tertarik. Ayah jatuh cinta terhadap gadis cantik yang nampak cerdas dan berkarakter kuat. Sementara ibu menyukai pemuda pendiam namun murah hati. Anak tunggal taipan yang masa depannya sangat menjanjikan.
Semenjak saat itu ayah sering mengunjungi panti asuhan tempat ibu dibesarkan untuk berkencan.
Hubungan mereka disambut dengan suka cita oleh semua penghuni, termasuk suster Angela. Karena setiap datang ia akan membawa martabak, es lilin atau jajanan guna dibagikan kepada semua anak disitu.

Nenek adalah satu-satunya orang yang paling menentang hubungan mereka. Dia tidak sudi anak tunggal yang diperlakukan seperti emas mendapatkan istri yang diambil dari comberan.
Namun kekuatan cinta yang dasyat mampu meruntuhkan seluruh tembok penghalang diantara orangtuaku.
Ayah mengancam bila permintaannya tak dituruti, ia tidak akan pernah mau menikah selamanya. Hati nenek pun luluh.
Mereka memutuskan menyelenggarakan upacara pernikahan secara sederhana. Tidak ada pesta. Acara diselenggarakan secara adat di kelenteng. Setelah itu dilanjutkan di sebuah rumahmakan yang terletak di jalan jendral Sudirman.
Dari pihak ibu yang tidak punya sanak saudara dihadiri suster Angela sebagai wali. Semua penghuni panti dijamu oleh keluarga ayah. Sementara dari pihak ayah cuma hadir sepupu kakek beserta keluarganya, serta teman-teman kakekku.

Bibit perseteruan nenek-ibu tercetus semenjak saat itu. Nenek merasa kewibawaannya sebagai seorang ibu runtuh gara-gara kemunculan seorang bocah perempuan yang kala itu baru berumur enam belas tahun. Enam tahun lebih muda dari usia ayah. Namun ia mampu membuat lelaki itu menjadi seorang pembangkang yang memilih jalan sendiri guna merancang masa depan.

Beberapa saat setelah menikah - untuk melindungi sang istri dari rongrongan mertuanya- ayah minta dibelikan rumah untuk keluarga barunya. Permintaan ini dipenuhi oleh kakek.
Semenjak saat itu keluarga kami mendiami sebuah rumah berukuran sekitar empat ratus meter persegi. Mempunyai halaman di depan. Jumlah kamar ada empat. Cocok untuk sebuah keluarga produktif yang tahun demi tahun anaknya terus bertambah.

Kenyamanan nenek semakin terusik tatkala setahun setelah menikah ibu melahirkan putra pertamanya. Dua tahun kemudian kakak keduaku lahir. Sehabis masa pemberian ASI  untuk sang bayi berakhir ia kembali hamil. Membuktikan dirinya adalah wanita yang subur dan produktif. Berbanding terbalik dengan nenekku yang hanya mampu menghadirkan seorang putra setelah beberapa kali keguguran.

Sayangnya ibu bukan lawan  yang seimbang bagi nenek. Saat itu ia cuma seorang ibu rumahtangga yang naif. Hari-harinya tersita untuk mengurus anak dan pekerjaan rumah. Yang memberi nafkah bulanan juga nenek, meskipun tidak langsung. Tapi melalui ayah.
Sementara meskipun buta huruf, nenek punya kepandaian menghafal angka. Contoh sederhana: dia bisa mengingat nama dan manfaat tujuhpuluh empat macam jamu Jago yang dijual di toko. 17 untuk jamu Pegal Linu, 34 itu Sehat Lelaki, 42  jamu Sari Rapat untuk perempuan....dan seterusnya.
Dia juga hafal modal ribuan jenis barang yang dijual di toko serta harga penjualannya. Aku sering menyaksikan ia dengan lantang menjawab harga suatu barang yang tidak bisa diingat kakek, ayah atau para karyawan. Karena semua barang di toko tersebut dijual tanpa label harga. Semata-mata mengandalkan daya ingat.
Intinya ayahku memiliki seorang ibu yang piawai dan perkasa. Bisa memasak, membereskan semua urusan rumah, dilanjutkan mengatur arus keluar-masuk barang dan uang di toko.
Dia masih mencari tambahan keuntungan dengan mengikuti beragam arisan sistem "Piauw" dimana pesertanya diwajibkan menyetor uang dalam jumlah tertentu setiap bulan.
Bagi yang membutuhkan dana, bisa memakai uang tersebut lebih awal, asal membayar kompensasi kepada anggota yang masih tersisa dan belum mendapatkan hak pengembalian uang arisan.
Setiap bulan nenek mendapat tambahan penghasilan cukup lumayan melalui kegiatan tersebut. Ia lebih sering menjadi peserta terakhir yang menikmati hasil iuran seluruh peserta arisan. Sehingga uang yang dia dapatkan utuh, tidak ada potongan apapun. Padahal  ia menerima kompensasi berupa pengurangan iuran setiap bulan dari anggota lain.
Pada masa itu kakek-nenek tidak mengenal dunia Perbankan. Semua uang tunai disimpan di sebuah lemari besi yang kuncinya dipegang nenek.

Perseteruan mertua-menantu di rumah kami tak kalah heboh dengan suasana menjelang Pilpres di negara kita. Masing-masing kandidat berusaha memikat hati rakyat agar bisa membela kepentingannya.
Nenekku yang bermulut tajam dan galak bukanlah lawan tanding ibu. Apalagi ia punya sumber logistik tak terbatas guna memenangkan hati para cucunya: roti kongguan, coklat cap kupu, mentos, roti gula dan aneka ragam permen buatan RRT.  
Sedangkan senjata ibu sangat terbatas, yaitu anak-anaknya. Dia bersumpah bakal tidak mengakui anak yang tidak bisa membelanya dalam menghadapi nenek. Biasanya berupa mogok kunjungan. Tak seorang cucunya pun boleh berkunjung ke toko hingga kemarahan ibu mereda. Biasanya bisa sampai dua minggu. Membuat nenek kelimpungan.
Kami terpaksa patuh karena tidak punya pilihan. Bila ibu tidak mau mengakui kita sebagai anaknya, lantas kita anak siapa? Bingung kan?

Berbagai alasan dipakai nenek untuk meluncurkan ratusan kata-kata makiannya yang punya kecepatan seperti meteor. Sumber kesalahan ibu banyak sekali. Halaman rumah kotor, anak-anak salah mengancingkan kemejanya. Aku tidak disisiri secara rapi sehabis mandi sehingga tampilannya mirip gembel. Rumah dan halaman kotor.
Memaki itu hampir sama dengan berdoa. Kita membutuhkan sarana bahasa guna menyalurkan permohonan, harapan maupun luapan emosi dan perasaan yang mengendap dari bawah alam sadar untuk diangkat ke alam sadar. Sama dengan bahasa yang digunakan untuk membingkai mimpi kita tatkala sedang tertidur. Bahasa itu adalah "Bahasa Ibu".  
Bahasa ibu nenekku merupakan campuran dialek Hakka dan Mandarin yang sulit dipahami siapapun selain kakek dan ayah. Jadi setiap menerima makian nenek ibu hanya terpaku tidak bisa melawan. Karena sesungguhnya ia tidak tahu artinya.

Diatas sudah aku ceritakan, kakak kelimaku orangnya genius. Kreativitasnya tidak ada yang bisa menandingi.
Suatu siang sehabis pulang sekolah dia mengajakku main ke toko kakek. Entah dapat ide dari mana dia mengambil tong besar. Lantas mulai mencampurkan  kacang tanah, kedelai, kopi, kacang hijau jadi satu.  Kalau toko ramai dan ada yang mau membeli beberapa jenis palawija kan tinggal ditimbang sekaligus. Hemat waktu dan kantong kertas.  Karena alasannya cukup masuk akal aku jadi menurut ketika disuruh membantunya.
Menyaksikan ulah kami berdua wajah kakek spontan membeku. Dengan garang ia menyuruh kami memilah biji-biji tersebut kembali sesuai asalnya.
Dia mengancam akan melaporkan kami berdua ke kantor polisi bila tidak mau.

"Alasannya apa?" Kakakku yang pada dasarnya bukan seorang pengecut bertanya menantang.
Dengan nada datar dan berwibawa kakek menjawab "Berbuat kerusuhan!"
Kendati saat itu usianya baru sembilan tahun, kakakku itu melek hukum. Dia paham seseorang memang bisa dipenjara gara-gara berbuat kerusuhan. Jadi dengan patuh ia mengajakku mengambil beberapa buah baskom plastik. Kami berjongkok sambil memilihi biji-biji keparat itu satu demi satu guna dikelompokkan menurut jenisnya.
Merasa bersalah dia diam saja ketika kumarahi. Alasan pertama karena bosan. Kedua, kakiku mulai kesemutan lantaran terlalu lama berjongkok. Ketiga, lapar dan tidak ditawari makan oleh nenek yang ikut jengkel oleh keisengan kami berdua.

Kami baru tiba kembali di rumah berbarengan dengan jam tutup toko, sekitar pukul sembilan malam. Itupun pekerjaan kami belum selesai. Tapi nenek menyuruh kami pulang karena melihat kami sudah sangat lelah.
Entah bagaimana cara menyampaian kakak kepada ibu, yang kena getah justru ayahku. Ibu mencaci-maki dirinya   beserta segenap leluhur habis-habiskan.
"Dasar orangtua gila, masa cucu sendiri mau dilaporkan ke polisi !"

Dengan sabar ayah menjelaskan duduk persoalan yang membuat kami kena hukuman. Sayangnya  itu tidak menyurutkan hasrat ibu guna mengumpat mertuanya. Merembet hingga ke asal-usul dan klan keluarga.
"Anak-anak bisa begitu kan karena keturunan kalian. Mau diapain?"
Ibu berkecak pinggang sambil memajukan kepalanya dengan garang.
Ayah bungkam. Jelas ia tidak bisa merunut kami ke garis keturunan ibu yang memang tidak jelas rekam jejak asal-usulnya.
Sejak saat itu apapun yang kami lakukan -terutama yang bersifat negatif - selalu dikaitkan ibu dengan faktor genetik yang kami warisi sebagai keturunan marga Tan. Ia akan mengumpat dengan mantap "Dasar She-Tan!"

Orangtuaku tidak terlalu tertarik terhadap pendidikan anak-anaknya. Terutama ibu yang setiap hari di rumah. Ia tidak pernah menanyakan hasil ulangan maupun PR anak-anak.
Ketika kakak ke empatku tidak naik  sehingga harus mengulang di kelas yang sama tahun berikutnya ia juga tidak tahu. Kalau ada yang bertanya anaknya kelas berapa sekarang ia bingung menjawabnya. Karena tidak hafal.
Setiap kuartal ia juga tidak mau memenuhi undangan guru untuk mengambil rapor. Padahal kesempatan itu sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk berkonsultasi dengan wali kelas secara individual mengenai progres pendidikan anak-anaknya.  
Setiap masa penerimaan rapor yang setahun berlangsung tiga kali kami enam bersaudara sibuk mencari orangtua pengganti yang bersedia mewakili mengambil rapor. Karena laporan hasil belajar per kuartal tersebut tidak boleh diberikan langsung ke para murid.
Akibatnya setiap tahun tiga kali kami bisa berganti-ganti orangtua. Masing-masing berbeda. Membuat bingung semua wali kelas, karena tidak pernah mengenal orangtua kami yang sah.

Berbeda dengan ayah-ibuku  nenek pada dasarnya orang yang sangat peduli dengan perkembangan para cucunya yang di rumah sama sekali tidak pernah mendapat sentuhan budaya dan tradisi kultural nenek moyangnya.
Ia menganggap warga keturunan Cina yang tidak mengenal bahasa maupun adat istiadat leluhur sebagai "Manusia berkaki empat". Dalam bahasa Hakka disebut "Shi-kiok-Sa". Umumnya mereka sudah beberapa generasi lahir dan mengenyam pendidikan di Indonesia. Ibu dan kami anak-anaknya kelihatannya termasuk golongan ini.  
Meskipun kami dilahirkan dari rahim wanita yang dia anggap setengah hewan, namun nenek tidak bisa memungkiri kami adalah generasi penerus keluarganya. Jadi ia berinisiatif mengundang seorang guru privat untuk mengajari kami bahasa dan aksara Mandarin.
Seminggu sekali kami diharuskan mengikuti kursus di tokonya selama 2 jam. Seusai pelajaran untuk menyenangkan hati serta memotivasi kami ia akan memberi hadiah. Bisa berupa tambahan uang saku, biskuit atau permen keluaran mutakhir. Sayangnya sogokan itu kurang diminati para kakakku. Setelah beberapa bulan satu demi satu mulai membolos. Tersisa aku yang sempat mengikuti les tersebut selama dua tahun.
 Anehnya ibu sangat antusias mendukungku belajar bahasa Mandarin. Ini membuatku lega, akhirnya ia sadar juga pentingnya pendidikan bagi kemajuan anaknya.
Sayang aku keliru. Ternyata ia hanya ingin agar aku membantu menterjemahkan arti kata-kata makian nenek yang selama ini ditujukan terhadapnya, yang membuat ia terlihat bego karena tidak menangkap maksudnya. Selain itu ia juga memintaku mengajarinya kata-kata umpatan dalam bahasa Mandarin. Tujuannya untuk balas dendam!

                                                                       ***

Kami bertetangga dengan pasangan paruh baya dari Medan tanpa anak. Suaminya seorang pengepul baja dan besi bekas. Sang istri berteman cukup akrab dengan ibu. Kami memanggilnya Tante Lin. Orangnya murah hati. Sering bertandang ke rumah sambil membawa makanan enak buatannya sendiri. Misalnya Choipan, bakpao isi daging merah atau bakcang telor asin. Menurut penuturannya, ia senang memasak untuk melewatkan waktu. Sementara suaminya sibuk sekali setiap hari. Jarang makan di rumah. Ini adalah buatku dan semua saudaraku yang jarang diberi makanan enak oleh ibu. Ia tidak suka masak. Memandang makanan secara fungsional saja, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dari tante Lin inilah ibu belajar berjudi.
Nalurinya sebagai penjudi mungkin diturunkan dari ayahnya. Karena dalam waktu singkat ibu mahir menguasai beragam jenis permainan kartu dan Mahyong. Lewat jalan inilah ia bisa mendongkrak ekonomi keluarga yang sejak awal disetir oleh nenek yang memberikan anggaran bulanan terbatas. Tidak pernah kekurangan. Namun juga tidak pernah berlebihan. Akibatnya keluargaku nyaris tidak punya peluang menikmati jajanan maupun hiburan. Karena semuanya hanya bisa terealisasi ketika punya tambahan dana di rumah.
Tak butuh waktu lama ibu menjadi keranjingan berjudi. Bermarkas di rumah tante Lin yang luas dan sepi. Anggotanya terdiri dari para nyonya rumah paroh baya yang kesepian karena suaminya para pengusaha yang sangat sibuk. Yang penting adalah: uang mereka banyak!  Sebagian dari mereka meremehkan ibu yang usianya jauh lebih muda, dan kondisi keuangannya pas-pasan.  Kurasa mereka salah perhitungan.

Tidak butuh waktu lama ibu mampu menguasai beragam jenis permainan kartu yang digemari kalangan nyonya pengusaha Tionghoa masa itu. Menggunakan kartu Remi, Ceki dan Domino. Termasuk Mayong yang  hanya bisa dimainkan berempat.
Ketika itu permainan yang paling seru adalah Qiu-Qiu . Karena pesertanya tak terbatas. Permainannya juga sangat sederhana. Cukup menggunakan kartu domino yang satu set berisi 28 kartu.
Ibu bertindak sebagai bandar. Duduk di sebuah meja bulat. Dikelilingi peserta yang jumlahnya acap kali mencapai belasan orang. Ia menggunakan dua set kartu guna dibagikan kepada peserta,  masing-masing dua lembar. Bila kartu mereka jumlahnya lebih besar berarti menang. Dinyatakan kalah kalau kartu mereka nilainya sama atau lebih kecil daripada sang bandar. Jadi secara Matematik bandar memiliki peluang menang satu poin lebih besar ketimbang  peserta lain. Dengan alasan itulah setiap kali berjudi ibu lebih suka memilih posisi sebagai Bandar.

Sebagai anak bungsu dan satu-satunya perempuan di rumah aku tidak punya teman bermain. Jadi lebih senang menyusul ibu pergi ke rumah tante Lin  setelah pulang sekolah jam sebelas siang. Ketika itu aku masih duduk di kelas dua SD.  
Biasanya aku betah duduk disamping ibu yang sibuk bertindak sebagai bandar: mengocok dan membagikan kartu, mengamati jumlah uang taruhan setiap peserta yang diletakan di hadapan masing-masing. Lalu kartu dibuka. Ibu akan mengambil atau membayar peserta yang kalah dan  menang. Aku bertindak sebagai asisten. Menyiapkan uang yang harus dibayar atau diterima ibu. Dalam waktu sekejap uang ibu menumpuk. Karena ia lebih sering menang ketimbang kalah.
Semenjak saat itulah keinginanku mengikuti jejak ibu kian membuncah. Karena menurut hematku, satu-satunya jenis pekerjaan yang paling enak dan cepat mendapatkan uang adalah dengan cara berjudi.
Entah mendapat info dari mana ibu menggambarkan enaknya kehidupn para bandar judi di Macau, Las Vegas dan Genting Highland. Mereka hidup mewah bagaikan raja, dimana lantai istana mereka rata-rata terbuat dari batangan emas.
Aku jadi malas sekolah. Tatkala mengerjakan ulangan atau ujian yang rata-rata menggunakan sistem Multiple choice aku lebih senang main tebak ketimbang memikirkan jawaban yang tepat sesuai soal yang ditanyakan. Anehnya dengan cara begini setiap tahun aku berhasil naik kelas. Meskipun nilainya cuma pas-pasan.

Ilmu berjudi yang kudapatkan dari ibu akhirnya kupraktekkan di sekolah guna mendapatkan tambahan uang jajan. Modalnya cuma tiga lembar kartu Remi: Jack-King-Queen.
Sewaktu jam istirahat kuajak teman-teman sekelas main tebak kartu yang kujajarkan dalam posisi tertelungkup di meja. Bila tebakan betul mereka kubayar sejumlah uang yang dipertaruhkan. Bila salah uang mereka menjadi milikku.
Untung teman-temanku tidak menyadari, permainan ini sebenarnya tidak seimbang. Karena kans mereka untuk menang cuma sepertiga, sedang sebagai bandar peluang menangku adalah dua pertiga.
Aku selalu ingat wejangan ibu. Jika ingin berjudi, jadilah penjudi yang cerdas. Hampir dalam setiap perjudian bandar selalu menang.

Sayang kegiatan menguntungkan ini tidak bisa berlangsung lama. Entah mendapat laporan dari mana suatu ketika tas sekolahku digeledah oleh wali kelas. Disamping kumpulan uang receh ditemukan tiga lembar kartu saktiku.
Akhirnya aku digelandang ke kantor guru. Disidang di hadapan kepala sekolah dan guru BP. Tuduhannya tidak main-main.  Aku dianggap melakukan tindak kejahatan serius, karena menggalang perjudian di kalangan anak-anak kelas empat SD.
Aku terancam bakal dipecat dari sekolah bila berani mengulangi perbuatanku.
Setibanya di rumah kututurkan apa yang baru saja kualami kepada ibu.
Ia mengusap kepalaku sambil tersenyum.
"Kamu ini betul-betul anak ibu," ujarnya.
Ia tidak marah terhadap kelakuanku, tetapi malah bangga!
                                                         
                                                                    ***

Ibu meninggal dalam usia limapuluh tujuh tahun. Ia berpulang dengan tenang dalam posisi tengah duduk menonton acara televisi. Mungkin kena serangan jantung yang tak terdeteksi sebelumnya.
Kepergiannya menyisakan lubang hitam dalam diriku. Membuatku terjebak dalam beragam pertanyaan yang tak terjawab.
Dia adalah sosok pribadi unik, yang tak pernah kujumpai dalam diri ibu-ibu  lain. Ia memandang dunia tidak secara hitam-putih. Baginya tidak ada yang buruk, asal dilakukan dengan cara yang tepat.
Ia bukan ibu terbaik di dunia. Sering mengabaikan keluarga. Namun dari dirinya aku belajar membangun sosok pribadi yang teguh. Menyerap nilai-nilai kebaikan yang tidak ia tampilkan dalam hidupnya. misalnya merawat anak-anak dengan baik, memasak bagi keluarga agar suami dan anak-anak menerima asupan gizi yang memadai. Serta memberikan keteduhan guna menciptakan dunia yang hangat dan aman bagi anak-anakku.
Dia adalah sosok Anti-Hero yang kuteladani. Yang menginspirasi diriku agar melakukan apapun yang tidak pernah dilakukannya sepanjang hidup.

Saudara-saudaraku setelah dewasa dan terjun ke masyarakat punya beragam profesi. Kakak sulungku seorang sarjana Ekonomi lulusan UNSOED. Dialah yang mengurusi toko  warisan kakek setelah mereka berpulang. Dengan sistem komputerisasi serta menggunakan tenaga profesional toko itu berkembang menjadi sebuah supermarket dengan kemajuan cukup pesat di kota kami.
Saudara keduaku adalah Dosen yang mengajar mata kuliah Filsafat sebuah universitas swasta di Salatiga. Sementara saudaraku ketiga seorang hakim di Pengadian Negeri Pasuruan.

Ibu punya harapan khusus kepada saudara keempatku yang dropout dari kelas satu SMA dan memilih cara hidup sesuka hati. Ia seorang pemain Bilyard profesional sedari remaja. Menang dalam berbagai kompetisi tingkat kabupaten dan propinsi. Relasinya banyak dan rata-rata usianya jauh di atas dirinya. Ada Polisi, Sekda, Dekan, jaksa dan Anggota Dewan.
Ibu berharap kelak dia bisa terjun ke dunia politik atau mempunyai jabatan struktural di Pemerintahan. Sehingga  bisa mengkorupsi uang negara lantas menikmati hidup mewah.
Aku ingat dia kerap memberi wejangan kepada Kakakku yang keras kepala tersebut.
"Bila mau menjadi koruptor jangan kepalang tanggung. Hartamu harus cukup banyak untuk menyogok aparat hukum ketika keciduk. Sisanya bisa gunakan untuk menghidupi tiga generasi."
Ibu bukan orang yang serakah. Dia mewanti-wanti: "Cukup sampai tiga generasi saja. Untuk generasi keempat dan seterusnya biar anak-cucumu yang ngurusi. Toh engkau tidak mungkin kenal mereka!"  
Cara berpikir ibu cukup canggih. Profitabel banget.

Sayang kenyataannya "jauh panggang dari api".  Setelah menikah kakak tersebut membuka usaha ekspedisi kecil-kecilan guna menafkahi keluarganya.
Boro-boro menjadi anggota DPR. Menjabat ketua RT di kampung istrinya saja ia dicopot sebelum waktunya. Lantaran lebih asyik mengurusi kepentingannya sendiri ketimbang warganya.
Jaringan koneksi yang ia miliki pun hanya mampu ia manfaatkan untuk urusan "recehan" misalnya  terjaring operasi karena truk yang ia miliki ternyata bodong.  Tidak bisa menunjukkan BPKB maupun STNK. Atau untuk mempermudah perpanjangan SIM.
Sedangkan saudara kelimaku akhirnya tumbuh menjadi seorang pedagang Palawija. Ia mengumpulkan hasil panen para petani di lingkungan sekitar. Setelah memproses dan mengeringkannya ia jual ke Jakarta.
Suatu hari libur aku bertandang ke gudangnya. Kami mengenang kembali kenakalan masa kanak-kanak ketika mencampurkan beragam biji-bijian didalam ember sehingga kena hukuman kakek. Peristiwa itu mampu membuat kami tertawa, merekatkan kembali pertalian persaudaraan yang pernah terjalin erat diantara kami berdua.

Setelah lulus dari Fakultas Psikologi universitas negeri aku aku kembali SMA Almamaterku. Bekerja sebagai  guru Pembimbing dan Penyuluhan. Membantu mengatasi kesulitan belajar para siswa, perkelahian dan perselisihan antar murid, guru maupun wali murid. Kubaktikan diriku berkecimpung dalam dunia pendidikan hingga anak-anakku lahir dan aku disibukkan mengurus rumahtangga.

Keluarga kami menjalani hidup sehari-hari sebagai orang biasa. Menjadi warga negara yang paruh hukum dan bertanggung jawab. Tidak ada yang  korupsi atau harus berurusan dengan KPK. Sementara keinginanku menjadi Ratu Judi tingkat Asia kandas begitu saja bahkan sebelum sempat bertunas.

Lama aku berdiri terpekur di depan gundukan tanah merah tempat ibuku dimakamkan. Bersebelahan dengan makam ayah yang telah pergi mendahuluinya enam tahun yang lalu.
Pohon kamboja yang meneduhi makam terhembus angin meluruhkan daun-daunnya yang menguning disertai kelopak bunganya yang merah muda berbau semerbak.
Siang mulai tergulung oleh awan kelabu menghalangi sinar mentari yang mengirimkan sengatannya ke muka bumi.
Beberapa orang pekerja dari Florist sibuk membenahi kerangka bunga papan di sekitar makam agar bisa didaur ulang serta dimanfaatkan dalam peristiwa duka berikutnya.
Kutatap gundukan makam dengan perasaan sendu. menyadari betapa hampa kehidupanku tanpa didampingi sosok ibu. Selama ini aku berusaha memposisikan diri menjadi sosok yang diinginkan ibuku. Karena aku tahu, ia tidak pernah menghendaki kelahiranku. Aku berusaha membuatnya tidak bertambah menyesali kehadiranku di dunia ini.
Hal paling menyakitkan dalam hidup kita terjadi, tatkala kita sadar betapa kita mencintai seseorang justru tatkala ia sudah meninggal (fan.c)
















KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun