Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Gaji Pertama dan Batu Nisan Nenek

15 September 2011   11:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:56 229 0
[caption id="attachment_130198" align="alignleft" width="320" caption="batu nisan nenek"][/caption] Setelah lulus kuliah dari Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran akhir tahun 2007, saya tak langsung mendapatkan pekerjaan. Satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah mengasah kemampuan menulis saya dan mencoba mengirimkan artikel ke beberapa media cetak. Pada Maret 2008, saya ingat betul artikel pertama saya dimuat di Kompas (Jawa Barat). Dari sana, saya semakin yakin kalau hidup saya arahnya ke bidang menulis. Dan, memang saya mencoba mengirim lamaran ke berbagai media dan beberapa penerbitan buku di Jakarta. Akhirnya, penantian saya terjawab di bulan November 2008. Sebuah portal berita (meskipun kecil) menerima saya menjadi reporternya. Namun, musibah---yang bisa saya bilang besar----menimpa keluarga kami. Saya ingat, di tanggal 19 Oktober 2008 pukul 00:05 WIB, nenek (biasa saya panggil dengan sebutan mbah) saya meninggal dunia setelah dirawat satu hari di Rumah Sakit Haji Jakarta. Sebelum dibawa ke rumah sakit, nenek sudah tak berdaya selama sekitar tiga hari di atas tempat tidurnya, di rumah kami. Tubuhnya semakin ringkih. Kaku. Tapi, hebatnya dia masih beribadah. Dia juga tak mau menyusahkan kami, dan berusaha jalan ke kamar kecil sendirian, meskipun kami akhirnya memapahnya. Bagi saya, nenek adalah ibu kedua. Nenek merupakan sosok perempuan kuat yang berusaha hidup mandiri selama hidupnya. Nenek tinggal satu atap bersama keluarga kami sejak abang saya lahir pada 1982. Dia merawat kami (abang, saya, dan adik saya) hingga kami besar. Nenek berasal dari Semarang. Dulu ia pernah cerita, melanglangbuana keliling Jawa hingga Lampung untuk mencari nafkah. Tapi, hidup nenek seperti terpinggirkan. Beberapa kali dia kerap kawin-cerai. Walaupun punya banyak anak, namun cuma ibu yang perhatian dan menyuruh nenek untuk tinggal di rumah kami. Hingga akhir hayatnya, nenek masih berjuang untuk hidup sendiri. Saya kagum dengan sosoknya. Nenek selalu menasihati saya, dan berdoa agar saya mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan. Doanya terkabul sebulan setelah ia wafat. Di bulan Desember 2008, saya menerima gaji pertama yang terbilang besar. Waktu itu, saya dapat 2.300.000 rupiah. Gaji itu saya berikan sebagian kepada ibu. Lalu, ibu berkata, "nenek perlu batu nisan..." Hati saya langsung bergetar. Oia, saya lupa kalau makam nenek belum diberi batu nisan. Lalu, gaji itu saya berikan sebagian kepada ibu untuk dibelikan batu nisan. Kini, batu nisan itu masih berdiri kokoh di bawah sebuah pohon yang memayungi makam nenek. Batu nisan itu tak akan pernah menggantikan jasa nenek ketika hidup kepada saya, dan kepada keluarga saya. Juga tak akan bisa menggantikan pelajaran hidup yang diberikan nenek kepada saya. Perjuangan nenek akan selalu saya kenang. Perjuangan yang sekarang sedang saya alami, bekerja seorang diri di Bandung dengan gaji yang secukupnya. Menjelang 3 tahun wafat mbah. 15 September 2011 Fandy Hutari (Facebook: Fandy Hutari/Email: fandyhutari@yahoo.com/blog: sandiwaradanperang.blogspot.com)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun