Membaca
detik.com tentang pelarangan arak-arakan ogoh-ogoh mirip Anas Urbaningrum di Bali yang dibuat oleh seniman Bali, Nyoman Tenaya, mengingatkan aku pada sakralnya simbol-simbol politik di masa orde baru dulu. Aku tak akan berbicara yang mendaki. Sebab ini tentang kisah masa kecilku di masa orde baru. Aku kira kejadian itu terjadi sekitar tahun 1994-1995. Aku masih kelas 5 atau 6 SD, barangkali. Setiap akhir pekan sekolahku mengadakan kerja bakti, sehingga pelajaran kebanyakan kosong. Tentu kerja bakti tidak akan seharian. Tetapi kosong pelajaran adalah seharian sabtu itu. Seusai kerja bakti membersihkan halaman sekolah, membakar sampah, menguras kolam ikan, atau mengilapkan kaca-kaca yang banyak itu, kami, para siswa tak menentu mengisi waktu. Kadang kala kami mengisinya dengan bermain mbok-mbret, permainan berkelompok dengan modal bola tenis bekas yang dengan mudah kami dapatkan dari lapangan tenis depan sekolah. Tapi yang paling berkesan bagiku adalah permainan perang gerilya. Jarang sebenarnya ada adegan tembak-tembakan atau perseteruan di sini. Seringnya kami tetap dalam satu kelompok, yang akan berpetualang, keluar dari lingkungan sekolah, di antara rimbunnya tanaman jagung di belakang dan samping sekolah, atau berdiam diri sambil mengobrol di benteng pertahanan kami, lorong jembatan yang terdapat di gerbang sekolah. Kecuali kalau masa hujan, benteng kami kuyup, dan tak ada tempat bebas lagi, karena dimana-mana tanah menjadi lengket. Membuat malas bergerilya. Tetapi, bukannya aku akan bercerita tentang orde baru dan hubungannya dengan ogoh-ogoh Anas? Yah, selepas kerja bakti ketika masa hujan, kami biasanya melepaskan diri dari sepatu dan kaos kaki. Tak mau tanah liat itu akan menempel, sehingga susah dibersihkan dan membuatnya kotor lagi berat. Maka, kami bermain dengan tanah lembek itu. Termasuk aku tentunya. Sangat suka dengan acara berkreasi ini. Aku ingat waktu itu pekerjaan kami adalah merapikan taman yang terdapat di depan papan nama SD. Selesai mempercantikkannya, kemudian aku membuat berbagai bentuk dari tanah liat yang dengan mudah didapatkan di setiap hamparan. Aku begitu terispirasi dengan kepala banteng yang menjadi lambang dari Partai Demokrasi Indonesia, PDI. Bagiku lambang ini begitu gagah, mengalahkan lambang pohon beringinnya Golkar, maupun lambang bintangnya PPP. Bahkan aku sempat menyesal ketika pada waktu sebelumnya, saat aku ditunjuk menjadi ketua regu Pramuka, aku memilih regu Gajah! Kenapa tidak banteng saja kemarin dulu itu yang kupilih ya?! Begitu pikirku saat itu. Aku begitu terobsesi, hingga berusaha mencari bross dari PDI, dan akhirnya aku dapatkan di pasar kota, bross dari mika yang terkombinasi dengan peniti.
KEMBALI KE ARTIKEL