Pendekatan Lain
Dalam menghadapi tantangan besar pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai, dunia sudah mengambil banyak langkah. Setidaknya telah diterapkan pendekatan kuratif dan preventif dari perspektif kesehatan. Langkah preventif (pencegahan) menyusul belakangan setelah kuratif (pengobatan) tak lain karena Covid-19 muncul tiba-tiba tanpa peringatan. Belum ada antisipasi ketika Covid-19 menjangkiti manusia untuk pertama kalinya dan menyebabkan gelombang pandemi yang cukup berkepanjangan.
Tapi dunia, termasuk Indonesia, sudah berbenah menyiapkan langkah preventif untuk menahan agar wabah tak meluas. Namun apalah daya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat ada 111 Dokter meninggal dunia, ribuan tenaga medis pun tak tertolong, tinggi nya angka kematian praktisi medis merupakan gambaran bahwa ada masalah dalam infrastruktur kesehatan dan semua pihak yang mempunyai keahlian virologi telah bertaruh nyawa menemukan obat bagi penyakit ini seraya menyembuhkan para penderitanya. Namun senyatanya upaya heroik demikian belum menunjukkan indikasi pandemi akan segera berakhir. Jumlah penderita terus bertambah dan tersebar, klaster baru kian bermunculan, meskipun sedikit melegakan ketika rasio kematian dibanding kesembuhan semakin menurun. PSBB kian diperketat sebagai langkah preventif, setelah didahului perdebatan melelahkan mengenai efektivitasnya
Pada tahap preventif, hukum mencoba mengambil peran utama. Gubernur DKI Jakarta telah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 88 Tahun 2020 tentang PSBB versi ketat yang akan diberlakukan mulai 14 September 2020, ada beberapa poin yang cukup menjadi atensi dari Gubernur DKI Jakarta, salah satu nya kapasitas perkantoran yang hanya diperkenankan mencapai 25%, namun ada pengecualian 11 sektor diperbolehkan mencapai 50%. PSBB sejatinya merupakan konsep karantina di bidang kesehatan, yang agar dipatuhi oleh masyarakat kemudian disertai instrumen pemidanaan bagi pelanggarnya. Dalam praktik, PSBB lebih dominan terlihat sebagai konsep hukum dibanding kesehatan karena penegakan PSBB didominasi aparat Kepolisian. Mudah diduga bahwa pelibatan ini tidak lain karena institusi Kepolisian lebih dipatuhi oleh masyarakat, jika tidak boleh dikatakan lebih ditakuti.
Namun tampaknya dukungan pemidanaan dari Kepolisian belum mampu mencapai tujuan PSBB. Pelanggaran masih terus terjadi, karena pembatasan aktivitas warga berbanding lurus dengan berkurang bahkan berhentinya pendapatan warga. Rasa lapar dan urusan isi perut bukan hal yang dapat dihilangkan dengan ancaman pidana, apalagi ketika rasa lapar ini bukan lagi tentang makanan melainkan lapar yang bersifat rohani atau kultural. Kebutuhan jasmani dan rohani demikian sangat mendasar, sehingga ancaman pidana yang disodorkan oleh hukum tak akan banyak berpengaruh. Pidana hanya menyandera badan, yang belum tentu diikuti oleh perubahan di tataran perilaku. Padahal yang dibutuhkan untuk mencegah dan menghentikan pandemi Covid-19 adalah kesadaran dan perubahan perilaku masyarakat.
Asupan pengetahuan dibutuhkan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran warga, baru selanjutnya perubahan perilaku diharapkan akan terjadi. Apakah ancaman pidana mampu melakukan perubahan itu semua?
Pihak-pihak yang meyakini hukum mampu mengubah perilaku masyarakat tampaknya bersandar pada teori sosiologi hukum klasik law as a tool of social engineering. Namun ada yang dilupa, yaitu perubahan sosial melalui perekayasaan oleh hukum membutuhkan waktu lama. Sementara itu, saat ini muncul pendekatan lain yang lebih menjanjikan.
Kesadaran Warga
Ada klaim bahwa PSBB telah mengurangi penyebaran Covid-19 karena berhasil mencegah orang-orang yang akan bepergian lintas daerah. Klaim demikian tidak salah, namun juga tidak benar sepenuhnya. Tidak perlu juga diperdebatkan terlalu serius mengenai bukti-buktinya. Hal demikian hanya membuang energi sia-sia.
Jauh lebih penting memupuk pengakuan bahwa instrumen hukum ternyata tidak tepat difungsikan sebagai garda terdepan dalam pencegahan pandemi. Kata kunci pencegahan penyebaran Covid-19 maupun wabah penyakit lainnya adalah kesadaran warga. Kesadaran (kadangkala dipicu oleh ketakutan) akan bahaya maupun kerugian akibat Covid-19 niscaya membuat warga mematuhi protokol kesehatan.
Rasa takut pada kesakitan dan kematian menjadi pendorong utama bagi warga untuk mematuhi protokol kesehatan. Untuk itu sudah saatnya pendekatan hukum (pidana) digeser ke belakang. Alih-alih mencegah Covid-19 dengan cara mengancamkan pidana kepada masyarakat, akan lebih tepat jika pemerintah menunjukkan bahwa Covid-19 memang layak ditakuti.
Menciptakan ketakutan pada Covid-19 memang tidak sepenuhnya manusiawi, tetapi dalam konteks mitigasi pandemi hal demikian akan jauh lebih efektif dibandingkan menakut-nakuti warga dengan ancaman pidana. Setidaknya penciptaan ketakutan terhadap Covid-19 masih dalam kerangka pemenuhan hak masyarakat untuk memperoleh informasi secara lengkap.
Pendek kata, PSBB dapat menuai keberhasilan jika di benak warga tertanam ketakutan apalagi kesadaran bahwa interaksi secara fisik bukan hanya membahayakan diri sendiri namun membahayakan pula orang lain, termasuk keluarga dan sanak keluarga. Untuk itu jumlah korban dan penyebab ketertularannya perlu dipublikasikan secara utuh tanpa dipulas dengan berbagai istilah dan kategorisasi statistik yang membingungkan dan malah membuat kabur. Penciptaan ketakutan dan kesadaran bahaya Covid-19 dapat dilakukan menggunakan pendekatan komunikasi-psikologi. Pemerintah sudah mencoba membangun komunikasi penyadaran kepada warga masyarakat, seperti melalui poster-poster elektronik, materi kehumasan straight to the point. Namun harus jujur diakui model komunikasi demikian selama ini tidak cukup menarik untuk dibaca atau didengar. Tampilan iklan-iklan komersil masih jauh lebih menarik dan menyedot perhatian dibanding kampanye pemerintah. Tiba saatnya pendekatan komunikasi-psikologi terutama pemasaran kreatif difungsikan sebagai garda terdepan pencegahan Covid-19. Praktisi pariwara dan sineas, yang jumlah dan kualitasnya di Indonesia terus bertambah, wajib secara moral mengambil peran lebih signifikan.
Kali ini sihir iklan harus dipergunakan demi membangun kesadaran akan pandemi Covid-19. Apalagi Indonesia mempunyai Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang digawangi oleh Menteri cum praktisi komunikasi andal. Sihir iklan akan menjadi cara pencegahan yang luar biasa ketika Kemenparekraf secara institusional menggerakkan atau setidaknya memfasilitasi pendekatan tersebut.
Untuk memberi tempat pada pendekatan komunikasi-psikologi demikian, sekali lagi, dibutuhkan segera perubahan paradigma berhukum. Hukum yang selalu dianggap sebagai panglima, dalam arti semua permasalahan dicarikan solusi hukum, perlu digeser untuk tidak selalu di depan. Bahkan gagasan (hukum) pidana pada awalnya adalah ultimum remedium 'sarana terakhir' untuk menghilangkan pelanggaran maupun kejahatan.
Manakala untuk kejahatan saja hukum pidana memposisikan diri sebagai solusi paling akhir, apalagi untuk hal-hal yang sebenarnya bukan kejahatan seperti wabah penyakit. Nah, mari menggeser mundur hukum, merelakannya sekadar menjadi backup dan penguat di belakang, lalu percayakan proses-proses pencegahan penyebaran Covid-19 kepada pendekatan-pendekatan non-hukum. Bukankah ada kalanya bagi panglima, seperti halnya hukum, demi strategi justru harus berada di belakang medan tempur?