"Kemarin, di sela rintik gerimis," bisiknya pelan, seolah-olah mengharapkan kata-kata itu bisa mengubah kenyataan. "Apa kabarmu, tuan? Lama sudah tidak memorak-porandakan." Nove mengingat kembali saat-saat indah dan pahit bersamanya, saat di mana ego dan cinta saling beradu, menciptakan badai yang tak pernah reda.
Dia mengingat bagaimana mereka sering berdebat, saling mempertahankan pendapat masing-masing, hingga suara mereka menggelegar di antara dinding-dinding rumah. Namun, di balik semua itu, ada cinta yang tulus, ada kerinduan yang tak terungkapkan. "Masihkah egomu menawan?" tanyanya pada bayangan yang tak pernah kembali.
Mungkin, Nove berpikir, dia telah melupakan semua luka yang pernah mereka bagi. Mungkin dia masih mencari sesuatu yang takkan pernah kembali. Hatinya bergetar saat mengingat bagaimana mereka pernah berjanji untuk saling menjaga, untuk tidak membiarkan jarak memisahkan mereka. Namun, kenyataan berbicara lain. Tuan itu pergi, membawa serta sebagian dari jiwanya.
"Sungguh! Ini hanyalah sebuah gaduh," Nove melanjutkan, suaranya semakin lembut. "Kangen berseteru memulai lagi perang itu." Duniaku sepi tanpa kamu, pikirnya. Dia merindukan suara tawanya, merindukan perdebatan yang penuh semangat, merindukan semua yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Kini, hanya ada kesunyian yang mengisi ruang itu, seolah-olah semua warna telah sirna.