"Roda Empat dan Roda Dua."
Apakah itu dimiliki oleh si Miskin yang dikhawatirkan itu?
1) Nah, kalau persoalannya adalah harga bahan pokok akan melonjak ikut naik. Maka bukankah solusinya adalah 'Operasi Pasar' untuk menjaga kestabilan daya beli masyarakat?
2) Kalau khawatir harga pendidikan tinggi? Bukankah sudah ada dan BOS yang digelontarkan oleh Pemerintah? (Artinya saat subsidi BBM dipangkas, maka ada tambahan APBN yang belum dialokasikan bisa ditambahkan pada jumlah anggaran pendidikan)
3) Kalau bilang akan banyak orang miskin dan pembunuhan massal? Faktanya waktu SBY menaikkan harga dari Rp.4.500 ke Rp. 6.500 tak ada Kematian Massal seperti yang diduga. itu karena masyarakat tetap mampu membeli BBM itu. Lagipula orang miskin yang anda maksudkan di kolong jembatan atau di gubuk-gubuk tua juga tidak bergantung pada BBM.
4) Kenaikan BBM akan menyengsarakan rakyat. Pertanyaannya, apakah dengan BBM tidak naik rakyat akan sejahtera? Buktinya bahwa selama 3 tahun terakhir saat BBM hanya Rp. 6.500 masyarakat ekonomi bawah tetap tidak sejahtera.
5) Apa lagi? bukankah BBM harganya hanya Rp. 8.500? sementara rokok di pasaran harganya sampai Rp. 15.000 dan itu tidak dipersoalkan?
Mari, kita melihat ini dari sisi yang lain.
Jumlah APBN yang digunakan untuk menyubsidi BBM itu Rp. 300 trilliun per tahun. Dan itu selalu saja mengalami pelonjakan sehingga harus dianggarkan ulang pada APBN-P setiap tahunnya.
1) Silakan bayangkan, bandingkan dengan dana pendidikan dan kesehatan 5 tahun terakhir ini yang hanya menembus Rp. 600 Trilliun (Ingat, 5 Tahun. Sehingga jika diratakan maka sekitar Rp. 120 T saja yang digunakan setiap tahunnya dan sudah mencakup dua sektor *Pendidikan dan Kesehatan)
2) Bayangkan apa yang bisa diperbuat pemerintah dengan dana sekitar Rp. 300 Trilliun itu? Jika kita masih hendak mengatakan bahwa itu bukan solusi tepat dengan memangkas subsidi BBM. Maka apa solusi yang tepat untuk mengurangi beban APBN hanya untuk menyubsidi BBM yang akan berakhir sebagai asap knalpot (Seperti membeli rokok dengan berakhir jadi asap rokok)
3) Fakta membuktikan bahwa penikmat subsidi BBM adalah 80% golongan ekonomi menengah ke atas (Pemilik Pabrik Industri, Mobil, Kendaraan roda dua) sehingga hanya 20% yang seharusnya layak mendapatkan subsidi. Dan faktanya, moral bangsa kita memang belumlah cukup baik. Karena setelah Pemerintah menyarankan agar menggunakan Pertamax bagi kendaraan pribadi tetap tak diindahkan. Lagi pula, banyak masyarakat yang mampu suka berpura tidak mapu sehingga mengambil hak orang yang tidak mampu.
4) Barangkali dengan naiknya harga BBM maka ini akan mendorong hemat energi. Bayangkan saja, jumlah produksi BBM kita belumlah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang menembus sekitar 1,2 juta Barel Per Hari (Jumlah Produksi BBM kita baru sampai 620 ribu - 680 ribu BPH). Dan untuk memnuhi selisihnya maka dibutuhkan membangun Kilang baru yang biaya pembangunannya membutuhkan sekitar Rp. 200 Trilliun untuk jumlah produksi 200 ribu BPH. Jadi dibutuhkan 3 sampai 4 Kilang baru untuk memenuhi kebutuhan BBM masyarakat Indonesia.
5) Beban APBN kita begitu besar menanggung Subsisdi BBM, sehingga untuk menggenjot pembangunan infrastruktur (tanpa memangkas subsidi BBM) maka negara harus mendapatkan tambahan anggaran dan biasa didapatkan melalui utang luar Negeri. Sementara Utang yang ada sekarang saja itu belum bisa terbayar. Jadi apakah kita ingin melupakan kewajiban kita membayar utang luar negeri dan mewariskannya ke anak cucu kita kelak?
6) Minyak Dunia dalam keadaan turun. Nah, perlu diketahui bahwa kondisi ini fluktuatif. Sementara Beban APBN sudah dalam kondisi tidak siap menangung tambahan subsidi BBM yang meningkat jumlahnya dari APBNP 2014. Artinya, jika ini tdak dinaikkan maka akan terjadi pembengkakan anggaran yang sebelumnya sudah diubah karena membengkak. APBN akan 'kolaps' dan tentu lebih berbahaya lagi karena akan memberikan dampak penambahan utang luar negeri.
7) Kita sedang dalam perjalanan menuju kemandirian suatu bangsa. Termasuk kemandirian dalam bidang energi. Kita sepakat jumlah cadangan energi kita begitu melimpah, hanya saja pengelolaanya belumlah sepenuhnya dilakukan oleh bangsa kita sendiri. Masih begitu banyak perushaan asing yang mengelola sumber cadangan minyak kita. Olehnya itu, kita harus memulainya dulu untuk memangkas subsidi ini lantaran kita masih melakukan impor minyak dalam memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Jika pada saatnya tiba, dimana negara kita sudah mampu mengelola sepenuhnya Sumber Energi dalam negeri dan memenuhi kebutuhan masyarakat maka tentu pada saat itu Negara bisa menentukan sendiri harga BBM yang bisa dinikmati rakyat. Hanya saja, kita butuh modal yang jumlahnya tidak sedikit untuk membangun Kilang-Kilang minyak untuk meningkatkan produksi minyak dalam negeri.
Nah, sekarang kita tinggal memilih. Apakah kita ingin terus menyalahkan Pemrintah atas kebijakan ini tanpa menawarkan solusi apa yang harus dilakukan dalam menghadapi pemenuhan kebutuhan BBM dalam jangka panjang. Ataukah dengan besar hati kita mendukung dan mempercayakan dulu kepada pemerinta (yang belumlah 2 bulan bekerja) untuk mewujudkan rencananya dalam mewujudkan kemandirian dan ketahan energi.
Memang, saat ini kita berada dalam posisi dilematis, lantaran tak ada jaminan apakah kebijakan mengalokasikan anggaran subsidi BBM ke sektor lain adalah langkah tepat?. Namun, setidaknya itu bisa menjanjikan bagi kita daripada hanya menolak pemangkasan subsidi itu tanpa ada tawaran yang bisa benar-benar dilakukan oleh Pemerintahan kita hari ini.
karena, sekali lagi Negeri ini bukan warisan dari nenek moyang kita. Tapi merupakan pinjaman dari anak cucu dari masa yang akan datang. Sudikah kita mengembalikan Negeri ini pada mereka dengan lilitan utang luar negeri yang semakin besar dan ketergantungan energi pada negara lain akibat ketidaksanggupan kita membangun kilang-kilang minyak dan alat produksi energi lainnya, padahal kita punya Sumber Daya Energi melimpah?
Mungkin kekhawatiran kita akan sengsaranya masyarakat lantaran naiknya harga BBM bisa terjadi. Tapi justru disitulah saya kitra upaya kita untuk membantu pemerintah melakukan stabilisasi ekonomi agar masyarakat yang dikhawatirkan itu tak benar-benar mengalami kesengsaran. Kita bisa meminta Pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp. 300 Trilliun itu untuk sektor ekonomi kerakyatan.
Karena, 'lebih baik menyalakn lilin, daripada mengutuk kegelapan'.