Masing-masing kepala tentu memiliki jawaban berbeda. Tergantung sudut pandang dan persepsi dalam membaca realita. Dan saya termasuk yang optimistis.
Peniliaian optimistis saya itu bukan lantaran kini bekerja di lingkaran pemerintahan. Namun penerawangan saya terhadap masa depan itu sekaligus sebuah harapan. Saya memiliki keyakinan, peradaban sebuah bangsa turut dibangun oleh harapan-harapan anak bangsanya.
Bagi mereka yang senang berkeluh kesah, hidup ini akan terus dilihat dari kacamata pesimisme. Wajar saja. Manusia memang diciptakan Tuhan demikian.
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir,” sebut salah satu ayat di dalam Alquran.
Sebagai manusia biasa saya pun kerap mengeluh.
Saya bukan futurolog. Cuma kebetulan akhir-akhir ini membaca beberapa tulisan para penerawang masa depan, juga beberapa buku tentang Indonesia. Dengan metode screening –membaca sekilas, saya, antara lain, membaca The Next Decade (George Friedman), Indonesia Rising (Nasir Tamara), Indonesia Optimis (Denny Indrayana), Imperium III (Eko Laksono), Menerawang Indonesia (Dorodjatun Kuntjoro-Djakti), juga beberapa jurnal maupun pemberitaan tentang Indonesia.
Kesimpulan sederhana dari buku-buku itu: Saya bersyukur hidup di era ini.
Memang ada beberapa penulis yang memandang pesimistis Indonesia. Misalnya buku Asia Future Shock (Michael Backman) yang menyebut Indonesia sebagai negara yang tidak prospektif. Backman menyebut perekonomian Indonesia sudah berkurang arti pentingnya dibandingkan perekonomian lain di dunia, dan kemungkinan semakin tidak penting lagi. Dia menyebut minyak dan gas yang selama ini menyelamatkan Indonesia, saat ini sudah habis. Backman juga menyoroti biaya tinggi dalam berbisnis di Indonesia.
Dalam beberapa hal Backman tepat. Namun secara tidak langsung penilaian kolumnis yang biasa menulis perekonomian Asia itu terbantahkan oleh berbagai fakta.
Indonesia kini berbeda dengan Indonesia di masa-masa ketika gejolak ekonomi dan politik melanda pada tahun 1997/1998. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, negeri dengan puluhan ribu pulau ini semakin diperhitungkan dalam percaturan ekonomi dunia, dan merupakan bagian dari kelompok 20 negara dengan perekonomian besar di dunia (Group of Twenty/G20). Ketika gejolak resesi dunia melanda pada 2007/2008, Indonesia menempati urutan ketiga dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia setelah China dan India. Bahkan di masa depan, Indonesia diyakini akan menjadi salah satu kekuatan utama ekonomi dunia.
Mari tengok prediksi sejumlah lembaga internasional:
1.Dalam laporan khusus Standard Chartered Bank berjudul "The Super-Cycle Report" yang dipublikasikan 15 November 2010, kekuatan ekonomi Indonesia diprediksi akan mengalahkan Jepang pada tahun 2030.
2.PricewaterhouseCoopers (PWC) dalam laporannya berjudul “The World in 2050” yang dirilis tahun 2006 memprediksi peran negara-negara E7 (China, India, Brasil, Rusia, Indonesia, Meksiko, dan Turki) akan lebih besar dibandingkan G7 pada tahun 2050 hingga 25 persen. G7 sendiri terdiri atas Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, dan Kanada, plus Spanyol, Australia, dan Korea Selatan. Pada 2050, Indonesia diperkirakan menjadi kekuatan ekonomi terbesar keenam dunia di bawah AS, China, India, Jepang, dan Brasil, dengan PDB per kapita mencapai USD23.000. Bandingkan dengan PDB tahun 2011 yang bekisar antara USD3.500-USD3.600.
3.CLSA Asia-Pasific Markets, sebuah lembaga investasi, pada pertengahan 2009 merilis laporan berjudul “Chindonesia: Enter the Komodo”, berisi prospek perekonomian di tiga negara, yatu China, India, dan Indonesia, di mana ketiganya dianggap sebagai segitiga kekuatan ekonomi di Asia.
4.Robert Ward, Direktur Global Forecasting Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2009 memopulerkan istilah CIVETS (Colombia, Indonesia, Vietnam, Egypt, Turkey and South Africa). Pengelompokan CIVETS didasarkan antara lain pada perekonomian yang dinamis dan beragam. Michael Geoghegan, Presiden Anglo-Chinese HSBC, bahkan menyebut CIVETS sebagai “the New BRICS”.
5.Agustus 2012, Goldman Sachs Asset Management, sebuah perusahaan yang mengelola dana investasi global berbasis di New York memperkenalkan akronim baru, MIST (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki).
Indonesia ke depan memang bukan sekadar Indonesia dalam kacamata ekonomi. Setidaknya itulah yang dikatakan Pak Jatun (Dorodjatun Kuntjoro-Jakti). Indonesia juga mesti dilihat dari sudut pandang geografi, demografi, dan sejarah. Akan tetapi penting dicatat, Indonesia dikaruniai hampir semua prasyarat untuk menjadi kekuatan besar perekonomian dunia. Dengan kekayaan sumber daya alam, jumlah penduduk yang besar dan produktif, serta posisi geografis yang strategis, Indonesia berpeluang menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam tata pergaulan global.
Pada Rabu 12 September 2012 malam, saya diundang untuk menghadiri acara Malam Penganugerahan Hatta Rajasa Writing Competition 2012 di Taman Ismail Marzuki. Hatta Rajasa, yang namanya dipakai untuk kontestasi tersebut, hadir memberikan sambutan yang inspiratif. Setidaknya itu menurut pandangan saya.
Hatta bilang, ini adalah era di mana siklus tujuh abad peradaban besar kemungkinan akan menghampiri Indonesia. Pada abad ke-7, Sriwijaya mencapai tonggak supremasi kerajaan maritim. Abad ke-14, peradaban Majapahit adalah yang terpandang di dunia. Dan kini kita baru melewati dekade pertama abad ke-21, sudah tujuh abad sejak kejayaan Majapahit.
Bagaimana penerawangan Anda?