Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Pelukis Matahari 2 - Perpisahan yang Indah

19 Mei 2010   03:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:07 319 0
“Assalamu ‘alaikum………. Hayo melamun lagi……………”, tiba-tiba Rahma datang membuyarkan lamunanku. Tapi ada apa dia datang ke rumah tempat tinggalku yang reot ini, tanyaku dalam hati.

"Waalaikum salam warohmatullohi wa barokatuh.", aku menjawab seraya bergegas berjalan menuju pintu masuk terbuat dari anyaman bambu usang berwarna coklat kehitaman buah tangan bapakku yang kekar.

"Silakan duduk", ucapku sambil mengulurkan tangan memberi isyarat Rahma tuk masuk dan duduk di tikar terbuat dari anyaman daun pandan yang tumbuh di pinggir sungai dekat rumahku. Sudah beberapa bulan terakhir, dia menggantikan kursi bambu usang, yang telah lapuk dimakan waktu. Tikar berukuran 1,5 X 2,5 meter itu digelar di lantai tanah rumah orang tuaku yang tidak rata, ada benjolan di sana-sini, sehingga ada bagian tertentu yang sobek dan berlubang. Kira-kira 2 minggu ibu menghabiskan malamnya hanya untuk menganyam tikar. Ibuku memang perempuan hebat dan tangguh yang kukenal.

Sebenarnya ada pohon bambu di belakang rumah, tetapi aku dan bapak belum sempat membuat kursi pengganti kursi usangku. Beberapa bulan terakhir ini aku sibuk dengan berbagai ujian di sekolah, mulai dari ujian akhir semester, ujian nasional, ujian akhir sekolah teori, dan ujian akhir sekolah praktik, serta masih ditambah lagi beberapa mata pelajaran yang harus ujian perbaikan. Begitu susahnya untuk mendapat ijasah SMA kebanggaanku dan tentu saja juga kebanggaan orang tuaku.

Sementara bapakku sibuk bekerja demi mendapatkan sesuap nasi untuk kami, ayah, aku, dan ibuku. Disamping itu bapak juga berusaha mengumpulkan uang untuk melunasi SPPku yang menunggak beberapa bulan, ditambah berbagai iuran yang harus kubayar sebagai salah satu syarat mengambil ijasah. Meski di televisi marak iklan pendidikan gratis dan pendidikan murah, ternyata belum berlaku untuk semua orang, setidaknya inilah yang saat ini aku rasakan dan terjadi pada diriku.

Kami duduk saling berhadap-hadapan. Rahma duduk tepat di depanku, entah mengapa hatiku jadi tak menentu. Gelisah, grogi, nervous, dan entah perasaan apa lagi yang merayap, menyelinap perlahan, lalu mengaduk-aduk isi hatiku. Berulang kali aku menggeser perlahan posisi dudukku, lalu mengalihkan perhatian dan pandanganku ke dinding anyaman bambu rumah orang tuaku. Lubang-lubang di dinding itu dengan leluasa mempersilakan angin berhembus sepoi-sepoi membelai wajahku dan wajah Rahma begitu mesranya. Tersenyum dan berbisik manja seolah hendak membisikkan sejuta rayuan cinta dari penghuni surga.

"Apa kabar?", pertanyaan Rahma memecah kesunyian.
"Baik, kamu sendiri?", aku balik bertanya.
"Baik juga." jawabnya lirih.
"Tunggu sebentar ya, kubuatkan minuman."
"Makasih, tapi jangan repot-repot ya", ucapnya lembut.
"Tidak, tidak repot kok. Biasa-biasa saja", jawabku sambil berdiri lalu pergi ke dapur.

Di dapur aku mengumpulkan kayu dan daun pandan kering, lalu membuat api untuk mendidihkan air. Sudah menjadi tradisi turun-temurun kami, selalu menyuguhkan minuman untuk tamu, tentu saja bukan es jus atau es krim dari kulkas, mana mungkin kami punya kulkas. Kami biasa menyajikan teh hangat. Pada awalnya itu sekedar tradisi turun-temurun, hingga akhirnya setelah mengikuti pengajian beberapa waktu lalu, aku jadi tahu bahwa itu adalah merupakan tuntunan agama.

Dalam pengajian tersebut dijelaskan bahwa: Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda : Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. (Bukhari no. 6018, Muslim no. 47).

Walau cuma sekedar teh hangat yang bisa dibeli siapapun di warung-warung, tetapi niat memuliakan tamunya itu yang terpenting, sebab niat tersebut tidak akan pernah bisa dibeli siapapun, dimanapun, kapanpun. Kupikir ini adalah tradisi yang harus dilestarikan karena ternyata sesuai dengan tuntunan agama.

Sambil menunggu air mendidih, aku menyiapkan 2 gelas kosong, lalu kuberikan gula dan teh tubruk. Tak lama kemudian air pun mendidih, kutuang perlahan ke gelas, lalu kuaduk menggunakan sendok teh stainless yang sudah mulai kusam warnanya. Klitik, klitik, klitik, ............ bunyi khas pun terdengar, maklum laki-laki tidak bisa mengaduk tanpa menimbulkan bunyi.

Setelah semuanya beres, aku antarkan teh ke depan menggunakan sebuah baki.
"Mari, silakan diminum", ucapku.
"Terima kasih", jawab Rahma.

Perlahan suasana berubah menjadi cair tatkala Rahma memulai pembicaraan mengenang masa-masa silam di SMA. Kami seolah-olah bernostalgia, mengenang kembali saat-saat indah mulai dari kelas 1 SMA. Ketika MOS (Masa Orientasi Siswa) aku dan Rahma dipaksa kakak seniorku bermain peran di depan kelas. Rahma sebagai waitress (pelayan restaurant) dan aku sebagai guest (tamu). Yang susah bukan perannya, tapi dialognya yang harus dalam bahasa Inggris, tanpa teks, tanpa persiapan terlebih dahulu.

"Please, have a sit, Sir!", ucap Rahma sebagai waitress mempersilakanku duduk.
"Thanks.", jawabku singkat.
"What can I do for You, Sir?" tanya sang waitress kepadaku.
"I wanna drink.", jawabku.
"We have Orange juice, Apple Juice and Iced tea. Which one do you want?", tanya Rahma menyuruhku memilih salah satu minuman yang ada.
"I want after T." jawabku mantap.
"You mean iced tea?", tanya Rahma ingin menegaskan pesananku.
"No, I said I want after T", jawabku tegas mengulangi jawaban pertamaku namun kali ini dengan intonasi yang lebih keras dan mata agak melotot.

Untuk sekian lamanya kami harus berdebat, karena Rahma bersikukuh bahwa minuman yang ditawarkan cuma 3 macam, yaitu jus jeruk, jus apel, dan es teh, sedangkan aku terus ngotot memesan "after T". Akhirnya Rahma menyerah, dia bertanya apa sebenarnya "after T" yang kumaksud. Lantas kupersilakan dia untuk menghafalkan abjad a, b, c, d, dan seterusnya dalam bahasa Inggris. Sampai di huruf T, aku potong hafalannya.... Kujelaskan, kalau setelah huruf T itu yang kuinginkan. Begitu Rahma mengerti bahwa setelah huruf T adalah huruf U (baca: You). Dia langsung teriak Curangggggg, Jahattttttttttttttttt, lalu berlari dari depan kelas, membaur dengan teman-teman sekelas. Dia menutup muka dengan kedua telapak tangannya yang putih bersih, seolah hendak menutupi rasa malu yang ia sandang. Tanpa ada yang memberi aba-aba, teman-teman satu kelas pun berteriak huuuuuuuuuu...... seperti paduan suara.

Aku mendapat hukuman push up 40 kali di depan kelas oleh seniorku. Tubuhku yang kurus kerempeng harus mandi keringat, mengeluarkan segenap tenaga hingga aku bisa push up sampai genap pada hitungan ke-40. Ini pelajaran berharga buatku, ternyata setiap tindakan kita tempuh akan membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu yang harus kita tanggung. Dan ini adalah harga yang harus kubayar atas ulah isengku. Dengan bersusah payah akhirnya aku selesai juga pada hitungan ke-40. Tetapi baju seragam MOS hitam putih yang kupinjam dari organisasi karang taruna di desaku jadi basah kuyup oleh keringat. Dan......... baunya luar biasa tidak sedap. Huk......... huk............ Aku sampai mual dan mau muntah dibuatnya. Entah apa yang dirasakan teman-teman di dekatku, yang jelas baju itu terus kupakai sampai bel tanda pulang sekolah jam 2 siang berbunyi.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

"Begitu cepat ya Fajar, waktu berlalu. Rasanya saat-saat lucu itu baru saja berlangsung kemarin", kata Rahma perlahan sambil kelopak matanya yang bening menerawang jauh. Seolah hendak mengukir sesuatu di dasar lubuk hati sanubarinya yang terdalam. Saat-saat MOS tiga tahun yang lalu seperti menari-nari lincah di depannya. Menghibur dan menampilkan suguhan indah dalam hidupnya, membuatnya tersenyum kecil apabila mengingat kejadian tersebut.

"Iya", jawabku pendek, aku tersipu malu mengingat kejadian waktu itu.

"Aku mau pamit Fajar, besuk aku berangkat ke Jogja. Selama kuliah aku akan tinggal disana. Aku ingin menggapai harapanku disana." Katanya lirih.
"Iya, semoga sukses menggapai segala asa dan dambamu disana." ucapku memberinya semangat.
"Terima kasih, semoga kamu sukses juga, jangan lupa undangannya ya."
"Iya", jawabku pendek
"Kalau sudah menikah jangan nakal lagi ya......"

Mendengar kata-kata itu, entah mengapa aku tak mampu menjawab dengan lisanku, lidahku kelu, aku hanya tersipu malu mendengarnya, seraya menganggukkan kepala. Batinku tersentak, bayang-bayang pernikahan yang sakral itu berkelebat melintas di hatiku. Bukan hanya cinta kasih, kebahagiaan, ketenangan, dan keluasan risqi yang Tuhan janjikan yang aku pikirkan, tetapi lebih dari itu tanggung jawab sebagai laki-laki sekaligus sebagai imam kecil dalam sebuah keluarga. Ini bukan perkara kecil bagiku. Aku tak ingin terjebak pada pernikahan yang hanya karena menuruti cintaku kepada seseorang, tapi aku ingin pernikahan atas dasar cintaku pada Tuhan dan Rasul. Pernikahan yang benar-benar mempunyai nilai ibadah. Ah....... ini terlalu ideal dan tinggi buatku, namun entah mengapa perasaan ini selalu terbayang di hatiku. Subhanallah dari mana asal perasaan ini, tidak mungkin selain darimu ya Robbi.......

Jarum jam terus bergerak memutar, menyusuri lorong waktu yang tak pernah mau berhenti barang sejenak. Akhirnya dengan mengucapkan salam Rahma pun pamitan pulang. Aku tidak tahu apakah ini salam terakhir buatku atau adakah kesempatan bagiku untuk mendengarkannya kembali di hari-hari mendatang. Yang jelas kini aku sudah tidak lagi menjadi teman sekolahnya, aku hanyalah orang desa biasa, yang seolah akan memulai hidupku yang sesungguhnya pada saat ini. Apa yang akan terjadi kelak masih menjadi misteri dari Sang Pemberi Waktu, Misteri yang hanya bisa dipecahkan dengan cara menjalaninya, tidak dengan mengangankan atau mengkhayalkannya.

Dari atas mobil Nissan X-Trail warna merah metalik itu Rahma melambaikan tangannya, menatap wajahku begitu dalam, seolah dia tak ingin kehilangan persahabatan yang telah terukir selama 3 tahun terakhir. Seolah dia ingin membawa bayangan persahabatan kami sebagai oleh-oleh ketika dia sampai di tempatnya yang baru, Jogjakarta.

Aku menganggukkan kepalaku perlahan sambil membalas melambaikan tangan. Pandangan mataku terus mengikuti mobil itu berjalan perlahan di jalan berbatu depan rumahku, semakin lama semakin mengecil dan mengecil, lalu menghilang di tikungan jalan.

Tidak kurelakan air mataku dan air matanya menetes di perpisahan ini, karena dia berpisah untuk sesuatu yang lebih baik, perjuangan dan tantangan yang lebih besar, menggapai cita-cita mulianya untuk menjadi seorang dokter. Dengan ilmu yang dia miliki kelak, dia bisa mengabdikan dirinya untuk masyarakat luas. Dengan ilmu yang yang dia raih, dia bisa banyak membantu orang-orang yang membutuhkan. Dan dengan ilmu yang dia peroleh, mudah-mudahan derajadnya di mata Tuhan semakin tinggi karena Tuhan berjanji mengangkat derajat orang-orang yang berilmu beberapa derajat.

Apabila kupikir tidak ada bedanya saat kami bertemu dengan waktu berpisah, sama-sama indah, tinggal bagaimana kami merasakannya, tinggal bagaimana kami menempatkannya. Baik pertemuan maupun perpisahan kami, sama-sama indah, karena bagiku keduanya membawa hikmah masing-masing.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Ditemani kicau burung bernyanyi riang gembira, bertengger dan berkejaran pada ranting-ranting pohon dekat rumahku, aku mulai memikirkan langkah apa yang hendak kulakukan tuk hari esuk. Saat itu waktu bergeser ke temaram senja, matahari mulai merebah di ufuk barat, sementara sang bulan pun telah bersiap tersenyum menyapa, menghiasai keindahan malam yang pekat. Bintang-bintang sebentar lagi juga khan menjalankan tugasnya, berkedap-kedih di luasnya langit, bertasbih dan memuji Sang Pencipta walau dengan cara dan bahasa yang tidak kumengerti.

Dan aku harus segera memutuskan langkah apa yang harus kutempuh besuk karena waktu tidak akan berhenti barang sejenak, tak akan kembali walau hanya sesaat. Life must go on ..........................
.......
(Bersambung ke Bagian 3)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun