Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Persahabatan di Ujung Jalan

11 Oktober 2024   10:47 Diperbarui: 11 Oktober 2024   10:49 24 2
**Judul: Persahabatan di Ujung Jalan**

Sudah sepuluh tahun aku dan Reza bersahabat. Kami berbagi segalanya---dari tawa, duka, hingga mimpi-mimpi masa depan yang entah akan jadi apa. Reza, si pria ceria dengan selera humor yang selalu berhasil bikin orang ketawa, dan aku, Bayu, si pendiam yang lebih suka mengamati dari jauh. Hubungan kami erat, seperti saudara.

Semuanya berubah saat Clara muncul. Perempuan itu tiba-tiba hadir di antara kami, entah bagaimana mulainya, tapi kehadirannya jelas mengubah dinamika persahabatan kami. Clara sering nongkrong bareng, ngobrol, bahkan ikut main basket dengan kami sesekali. Namun, entah kenapa aku mulai merasa ada yang aneh.

Suatu hari, Clara dengan wajah penuh malu-malu mengaku padaku, "Bayu, aku suka sama Reza."

Deg. Hatiku mendadak terasa berat. Bukannya aku juga punya perasaan ke Clara, tapi mendengar hal itu tetap saja membuat dadaku sesak. Kenapa harus Reza? Sahabatku sendiri? Aku tak tahu kenapa, tapi bagian dari diriku tidak bisa menerima kenyataan itu.

Aku coba tersenyum, meski rasanya kaku. "Oh, ya? Udah bilang ke dia?"

Clara menggeleng. "Belum... aku nggak tahu gimana caranya."

Aku hanya mengangguk. Clara mungkin tidak sadar, tapi aku tahu betul Reza. Dia bukan tipe yang serius kalau urusan perasaan. Tak jarang aku melihat dia bermain-main dengan hati perempuan. Dan Clara, jelas bukan perempuan yang layak disakiti.

Malam itu aku merasa tidak enak. Di satu sisi, aku tak mau Clara terluka karena sikap Reza yang seenaknya. Di sisi lain, aku juga merasa tersingkir dari persahabatan ini. Entah kenapa, aku merasa kalau Reza menyadari perasaan Clara, persahabatan kami tidak akan sama lagi.

Beberapa hari berlalu, aku perhatikan Clara semakin mendekati Reza. Namun, Reza seperti biasa, tak menyadari atau tak peduli. Dan aku? Aku semakin jengkel. Sampai akhirnya, di suatu sore, aku tak bisa menahan diri lagi.

"Kau tahu Clara suka sama kamu, kan?" tanyaku langsung saat kami duduk di kafe langganan.

Reza menatapku bingung. "Apa? Clara? Hah, enggak lah."

Aku menatapnya tajam. "Dia serius, Za. Dia benar-benar suka sama kamu. Dan kamu? Kamu malah nggak sadar sama sekali."

Reza terkekeh, tak melihat ini sebagai hal yang besar. "Ah, santai aja. Lagian, aku nggak ada perasaan sama dia. Teman doang."

Kemarahan dalam diriku semakin membuncah. "Itu bukan masalah, Reza! Masalahnya, kamu nggak bisa terus-terusan bikin perempuan yang tulus sama kamu jadi terombang-ambing. Kamu tahu, Clara itu perempuan baik!"

Dia memandangku dengan ekspresi yang mulai berubah serius. "Apa sih, Yu? Kok kamu jadi kayak gini?"

"Aku cuma nggak mau dia tersakiti, Za. Aku nggak mau kamu main-main sama dia," jawabku keras, bahkan aku sendiri terkejut dengan nada suaraku.

Reza terdiam, lalu dia berkata, "Kamu suka sama Clara, ya?"

Pertanyaannya membuatku terperangah. Aku ingin menyangkal, tapi ada sesuatu di dalam diriku yang berhenti untuk bicara. Apa aku suka sama Clara? Rasanya tidak, tapi kenapa aku merasa seolah ini masalah besar bagiku?

Kami saling diam, tak ada lagi percakapan setelah itu. Persahabatan kami terasa seperti seutas benang yang menipis, siap putus kapan saja.


Seminggu berlalu tanpa kabar dari Reza. Aku memutuskan untuk tidak mencari Clara juga. Aku butuh waktu untuk berpikir dan merenung. Namun, semuanya tiba-tiba berubah ketika suatu malam Clara menghubungiku. Suaranya serak, hampir tak terdengar jelas di telepon.

"Bayu, aku harus menikah."

Aku terdiam sejenak, memproses kalimat yang barusan keluar dari mulutnya. "Apa? Sama siapa?"

"Orang tua aku menjodohkan aku... dengan anak teman mereka," jawabnya pelan. "Aku nggak punya pilihan, Bayu. Keluargaku terlilit utang besar... dan orang tuaku nggak punya cara lain untuk bayar."

Hatiku tenggelam mendengar itu. Clara, yang ceria dan penuh semangat, kini terjebak dalam situasi yang tak terbayangkan. "Utang ke siapa?"

Clara terisak di seberang sana. "Boss narkoba, Bayu. Keluargaku terjerat... dan mereka mengancam kalau kami nggak segera bayar, mereka akan---"

Aku tak sanggup mendengarnya melanjutkan. Dunia seakan runtuh dalam hitungan detik.

"Clara, aku... aku akan bicara sama Reza," kataku buru-buru.

Namun Clara menghentikan niatku. "Jangan. Ini sudah terlambat. Aku harus menikah minggu depan."


Hari pernikahan Clara tiba, dan aku hadir di sana, bersama Reza. Kami berdiri berdampingan, menonton Clara menikah dengan pria yang tidak ia cintai. Tak ada yang bisa kami lakukan. Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar kalah oleh keadaan. Begitu juga Reza.

Sejak hari itu, persahabatan kami tidak pernah kembali seperti semula. Kami tetap berteman, tapi selalu ada jeda, ada ruang kosong yang tak terisi lagi.

Dan Clara? Ia pergi, membawa cintanya yang tak pernah terbalas.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun