Di sisinya, sebuah kertas lusuh terbuka, menampakkan tulisan tangan yang sudah memudar. Itu surat terakhir dari Lara. Gadis yang pernah mengisi seluruh ruang di hatinya, sekaligus yang telah menghancurkannya tanpa ampun.
Empat tahun lalu, di tempat yang sama, Arga dan Lara duduk berdampingan, tangan mereka saling menggenggam erat. Mereka berbicara tentang masa depan, tentang mimpi yang ingin mereka raih bersama. Arga, yang saat itu baru saja mendapatkan pekerjaan impian, yakin bahwa hidupnya akan sempurna jika dihabiskan dengan Lara. Namun, Lara diam-diam menyimpan rahasia yang membuat segalanya berubah.
Waktu itu, tanpa peringatan, Lara pergi. Menghilang seperti ombak yang surut, meninggalkan Arga dalam kebingungan dan patah hati yang tak terlukiskan. Dia hanya meninggalkan surat singkat, tak lebih dari beberapa kalimat: *"Maafkan aku, Arga. Aku tak bisa bersamamu lagi. Jangan mencariku. Aku mencintaimu, tapi ini lebih baik untuk kita berdua."*
Selama bertahun-tahun, Arga mencoba melupakan. Tapi bagaimana caranya melupakan seseorang yang telah menjadi bagian dari jiwamu? Setiap kali angin laut berhembus, ia merasakan Lara, seolah gadis itu masih berada di sisinya. Setiap kali senja tiba, ia teringat senyum Lara, yang hangat seperti matahari yang tenggelam di ufuk barat.
Hari ini, entah kenapa, Arga merasa ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada yang mendorongnya untuk kembali ke dermaga itu, tempat di mana kenangannya terhenti. Tiba-tiba, langkah kaki terdengar dari arah belakangnya. Arga tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Hatinya sudah lebih dulu mengenali suara langkah itu.
"Lara?" suara Arga terdengar serak, hampir seperti bisikan.
"Arga..." Suara lembut yang begitu akrab menjawab.
Dia berbalik, dan di sana berdiri Lara. Wajahnya tetap cantik, tapi ada kesedihan yang dalam di matanya, seperti ada beban yang ia bawa bertahun-tahun lamanya. Mereka saling memandang dalam diam, angin laut menjadi satu-satunya suara yang memisahkan mereka.
"Aku tidak pernah berhenti memikirkanmu," ucap Arga, suaranya penuh luka yang belum sembuh.
Lara menarik napas dalam-dalam, lalu duduk di sebelah Arga, seperti dulu. "Aku juga tidak pernah melupakanmu, Arga. Tapi aku harus pergi waktu itu. Ada hal yang tak bisa kujelaskan... hal yang membuatku harus meninggalkanmu."
Arga menggeleng pelan, matanya mulai basah. "Kau pergi tanpa penjelasan, Lara. Kau menghancurkanku."
"Aku sakit, Arga," ucap Lara akhirnya. "Waktu itu, aku didiagnosis dengan penyakit yang tak bisa disembuhkan. Aku tahu, jika aku tetap di sini, aku hanya akan menjadi beban untukmu. Aku tak ingin kau melihatku perlahan-lahan menghilang. Aku ingin kau mengingatku seperti ini, bukan sebagai seseorang yang lemah dan rapuh."
Mendengar itu, hati Arga hancur untuk kedua kalinya. "Jadi kau pergi... untuk melindungiku?"
Lara mengangguk pelan, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak ingin kau harus merawatku saat aku semakin memburuk. Aku ingin kau tetap hidup, tetap bahagia, meski tanpaku."
"Tapi kau salah, Lara," Arga bersuara pelan, hampir tak terdengar. "Aku lebih memilih bersamamu, menghadapi apapun itu, daripada hidup dalam penyesalan seperti ini."
Senja di langit semakin memudar, dan keheningan menyelimuti mereka. Lara menunduk, merasakan beban di hatinya semakin berat. "Aku minta maaf, Arga. Aku benar-benar minta maaf."
Arga menatap lurus ke arah cakrawala, air mata jatuh perlahan dari sudut matanya. "Kadang cinta itu bukan tentang selalu bahagia. Kadang, cinta itu tentang menerima luka, bersama-sama."
Mereka duduk dalam diam, membiarkan kenangan dan kata-kata yang tak terucap mengalir di antara mereka. Mungkin, luka di hati Arga tak akan pernah benar-benar sembuh, tapi untuk saat ini, hanya dengan berada di samping Lara, itu sudah cukup.
Angin malam mulai berhembus lebih dingin, tapi Arga tidak merasa kesepian lagi. Sebab meski ada luka yang sangat dalam, cinta yang pernah ada di antara mereka akan tetap hidup, di setiap senja yang mereka saksikan---di ujung pelabuhan ini.