Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Mengakhiri “Fatwa” Kekerasan

14 September 2012   03:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:29 168 0
Oleh : Fajar Kurnianto

Kekerasan di negeri ini belum benar-benar usai. Ironisnya, lagi-lagi ini dilakukan oleh orang-orang yang mengaku beragama, bertuhan. Apakah agama mengajarkan kekerasan? Agama menyuruh membunuh sesama? Agama memerintahkan tindakan merusak? Agama menebarkan kebencian, kecurigaan, dan dendam? Tentu tidak. Semua agama tidak ada satu pun yang mengajarkan hal-hal semacam itu. Jika kenyataannya hal itu yang terjadi, sesungguhnya bukan agama yang bermasalah, tetapi pelakunya yang memahami agama secara keliru.

Dalam konteks Islam, tidak ada satu lembar kitab suci Alquran pun yang menyuruh membunuh manusia, kecuali dalam situasi peperangan. Ayat-ayat perang (qital) dalam Alquran memang cukup banyak dan berisi perintah untuk memerangi musuh. Tetapi, dalam sejarahnya, perang Nabi dilakukan setelah beliau mengirimkan utusan untuk membawa surat berisi ajakan damai. Perang ditempuh karena musuh lebih dulu mengumumkan perang. Dalam Islam, perang adalah untuk menjaga diri, mempertahankan diri (difensif). Jadi, melawan karena diserang.

Selain itu, meskipun dalam situasi perang, Nabi selalu mewanti-wanti untuk tidak sembarangan bertindak. Pasukan muslim dilarang untuk merusak pohon-pohonan, tempat-tempat tinggal, tempat-tempat ibadah, atau membunuh kaum wanita, orang-orang tua lemah tak berdaya dan anak-anak. Itu semua dilarang keras. Dalam sebuah sumber malah disebutkan, ketika musuh sudah tak berdaya dan menyerah, dia tidak boleh dibunuh. Nabi pernah sangat marah kepada salah seorang prajurit muslim yang membunuh musuh yang sudah menyerah.

Itu dalam suasana perang, situasi tidak normal. Dalam situasi normal dan damai, larangan untuk membunuh manusia dan merusak tentunya lebih keras lagi. Dalam Islam dikatakan bahwa menghilangkan nyawa manusia adalah salah satu dosa besar. Tindakan merusak di muka bumi juga termasuk dosa besar. Tuhan dalam Alquran banyak sekali menyebutkan larangan ini: janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah dilakukan perbaikan. Nabi dikisahkan marah besar terhadap orang-orang yang tidak ikut berperang tetapi malah meneror warga dan membakar kebun-kebun kurma warga Madinah yang ditinggal berperang.

Dalam situasi normal dan damai, Islam justru mendorong pada upaya pembangunan relasi sosial yang baik antar manusia. Membangun masyarakat yang egaliter dan toleran meskipun berbeda agama dan keyakinan. Membangun masyarakat yang rukun dan taat hukum. Nabi mengimbau masyarakat untuk menaati hukum yang berlaku. Yang melanggar akan dihukum tegas. Orang-orang Yahudi di Madinah pernah diusir dari tempat tinggalnya karena melakukan pelanggaran hukum berat. Sebagian mereka ada yang diperangi karena merencanakan perang dan melakukan percobaan pembunuhan terhadap Nabi.

Tidak ada satu pun sumber sejarah Islam yang menyebutkan bahwa Nabi secara tiba-tiba menghukum orang tanpa sebab pelanggaran hukum. Atau beliau menyuruh kaum muslim untuk menyerang kelompok tertentu tanpa alasan. Justru yang ada adalah beliau menyuruh semua orang untuk menjaga harmoni hubungan masyarakat. Salah satu langkah yang ditempuh beliau untuk menjaga harmoni ini, misalnya, dengan perintah beliau untuk menghormati orang lain: tetangganya. Tidak pandang apakah tetangganya muslim atau bukan. Semuanya sama: harus dihormati bukan disakiti, dimuliakan bukan dinistakan, dikasihi bukan dibenci, dibantu bukan ditelantarkan, didekati dan diakrabi bukan dijauhi.

Salah satu ciri orang beriman, kata Nabi, adalah memuliakan tetangganya. Dan salah satu tanda orang tidak beriman adalah membuat tetangganya tidak merasa aman karena perilaku buruk atau kejahatannya. Tuhan mengatakan: Sembahlah Tuhan dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh (Alquran, 4:36). Ibnu Abbas, pakar tafsir klasik, menafsirkan: Tetangga yang dekat artinya tetangga yang ada hubungan kekerabatan, sedangkan tetangga yang jauh adalah tetangga yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Para ulama fikih berpendapat, yang masuk kategori tetangga adalah deretan 40 rumah ke kanan, 40 rumah ke kiri, 40 rumah ke depan, dan 40 rumah ke belakang.

Itulah area tetangga yang harus dihormati dan dimuliakan, tidak boleh disakiti. Apa yang terjadi baru-baru ini di Sampang, Madura, di mana komunitas Syiah diserang dan dirusak orang-orang tertentu, jelas menunjukkan tidak adanya penghormatan dan pemuliaan terhadap tetangga. Dalam perspektif Islam, itu berarti melanggar hak-hak tetangga. Selain itu, dalam situasi normal atau bukan dalam keadaan perang, juga bukan karena ada pelanggaran hukum yang dilakukan, bahkan kalaupun ada pelanggaran hukum yang berhak menangani adalah aparat penegak hukum, penyerangan itu jelas mencederai hukum dan mengganggu harmoni sosial yang sesungguhnya Islam perintahkan untuk dibangun dan dijaga.

Penyerangan dan pengrusakan merupakan tindakan main hakim sendiri. Di negara hukum, hal ini jelas tindakan kriminal dan barbar. Islam menolak tindakan semacam ini. Tidak hanya menolak tindakannya, tetapi juga menolak sarana-sarana yang membuka peluang terjadinya hal-hal semacam itu. Teori usul fikih mengatakan: suatu hal haram, maka sarana untuk menuju hal haram itu juga menjadi haram. Fatwa sesat terhadap aliran tertentu merupakan sarana yang mengarah atau membuka peluang terjadinya tindakan-tindakan kekerasan yang bisa mengarah pada penghilangan nyawa orang dan pengrusakan. Jika negara ini serius ingin membangun masyarakat yang harmonis, berbagai regulasi atau fatwa-fatwa seperti itu harus dikoreksi. Ini jika kita benar-benar menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan komunal.

* Artikel ini sebelumnya dimuat di Koran Investor Daily, Sabtu 8 September 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun