Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Bagaimana Seharusnya Media Berbicara?

8 November 2011   08:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:55 315 0
Oleh Fajar Junaedi

Dalam sebuah artikel klasik yang ditulisnya pada tahun 1948 yang berjudul The Structure and Function of Communication in Society, Lasswell menyajikan suatu model komunikasi yang berbentuk sederhana. Model ini sering diajarkan kepada mahasiswa yang baru belajar ilmu komunikasi. Menurut Lasswell komunikasi dapat didefinisikan sebagai : siapa (who), bicara apa (says what), pada saluran mana (in which channel), kepada siapa (to whom), dan dengan pengaruh apa (with what effect) .

Model yang diutarakan Lasswell ini secara jelas mengelompokan elemen-elemen mendasar dari komunikasi ke dalam lima elemen yang tidak bisa dihilangkan salah satunya (Laswell dalam Littlejohn, 1996:334). Model yang dikembangkan oleh Laswell ini sangat populer di kalangan ilmuan komunikasi, dan kebanyakan mahasiswa komunikasi ketika pertama kali belajar ilmu komunikasi, akan diperkenalkan dengan model di atas.

Sumbangan pemikiran Lasswel dalam kajian teori komunikasi massa adalah identifikasi yang dilakukannya terhadap tiga fungsi dari komunikasi massa. Pertama adalah kemampuan kemampuan media massa memberikan informasi yang berkaitan dengan lingkungan di sekitar kita, yang dinamakannya sebagai surveillance. Kedua, adalah kemampuan media massa memberikan berbagai pilihan dan alternatif dalam penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat, yang dinamakanya sebagai fungsi correlation. Ketiga adalah fungsi media massa dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat, yang dalam terminologi Laswell dinamakan sebagai transmission (Shoemaker dan Resse, 1991 : 28-29).

Dalam perkembangannya, Charles Wright menambahkan fungsi keempat yaitu entertainment, di mana komunikasi massa dipercaya dapat memberi pemenuhan hiburan bagi para konsumen dengan dikontrol oleh para produsen (Shoemaker dan Resse, 1991 : 28). Model Lasswell telah menjadi model komunikasi massa yang melegenda dalam kajian teori komunikasi massa. Maksudnya model Laswell telah banyak digunakan sebagai kerangka analisis dalam kajian komunikasi massa. Karakteristik model Laswell adalah kemampuannya mencatat bagian-bagian yang membentuk sistem komunikasi massa dan serempak pula dapat menggambarkan hasil-hasil yang hendak dicapai oleh komunikasi massa melalui ketiga fungsi yang telah dijelaskan di atas. Agenda Setting Masyarakat yang terpelajar telah lama mengetahui bahwa media mempunyai potensi untuk membangun wacana untuk publik. Salah satu dari penulis pertama yang memformulasi ide ini adalah Walter Lippman, seorang wartawan Amerika yang memiliki reputasi tinggi. Lippmann dikenal untuk penulisan jurnalistiknya, pidatonya, dan komentar sosialnya. Lippman menyatakan pandangan bahwa respon publik tidak kepada kejadian yang sebenarnya dalam lingkungan, melainkan “menggambarkan di dalam kepala,” yang dia sebut sebagai pseudoenvironment (Lippman dalam Littlejohn., 1996 : 341).

Fungsi agenda setting dikemukakan oleh Donald Shaw, Maxwell McCombs, dan teman-teman mereka. Menurut mereka: Bukti-bukti yang penting telah terakumulasi bahwa editor dan penyiar memegang peran yang sangat penting dalam membentuk kenyataan sosial kita ketika mereka menjalani tugas sehari-hari dalam memilih dan menampilkan berita. Pengaruh media massa ini –kemampuan untuk memberi pengaruh perubahan secara kognitif, untuk membentuk pemikiran mereka- telah diberi label sebagai fungsi penetapan agenda dari komunikasi massa. Di sini mungkin terletak pengaruh yang paling penting dari komunikasi massa, kemampuannya untuk secara mental mengurutkan dan mengorganisir dunia untuk kita.

Singkatnya, media massa mungkin tidak akan berhasil dalam menceritakan kepada kita apa pikiran kita, namun mereka secara besar-besaran berhasil dalam memberi tahu kita apa pikirkan (Shaw dan McCombs dalam Littlejohn, 1996 : 341). Agenda setting yang kedua adalah proses linier tiga-bagian. Pertama, prioritas dari isu yang akan dibahas dalam media, atau yang dikenal sebagai agenda media, harus ditetapkan. Kedua, agenda media dalam beberapa cara mempengaruhi atau berinteraksi dengan apa yang publik pikirkan, atau agenda publik. Akhirnya ketiga, agenda publik mempengaruhi atau berinteraksi dalam beberapa cara dengan para pembuat keputusan politik yang dianggap penting, atau agenda politik.

Dalam teori yang paling sederhana dan paling langsung, kemudian, agenda media mempengaruhi agenda publik, dan agenda publik mempengaruhi agenda politik. Kejadian di sepanjang akhir kekuasan Orde Baru menjadi bukti yang nyata dari fungsi ini. Tatkala harga-harga kebutuhan pokok semakin melejit dan nilai tukar rupiah merosot, media massa ramai-ramai memberitakan kejadian ini. Sebagai akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah saat itu juga semakin menipis dan mengakibatkan pemerintahan jatuh. Meskipun sejumlah studi memperlihatkan bahwa media dapat secara kuat mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi agenda publik, namun ternyata masih belum jelas apakah agenda publik sendiri tidak mempengaruhi agenda media. Hubungan ini bisa jadi dikarenakan lebih sebagai salah satu dari hubungan sebab akibat timbal balik daripada hubungan sebab akibat linier (searah).

Lebih jauh lagi, sepertinya kejadian aktual mempunyai pengaruh kepada keduanya, baik agenda media dan agenda publik. Setidaknya terdapat tiga macam pengaruh penetapan agenda. Pertama adalah derajat seberapa media merefleksikan agenda publik, disebut sebagai representasi. Dalam agenda representasi, publik mempengaruhi media. Kedua, adalah dipertahankannya agenda yang sama oleh publik di semua waktu, yang disebut persistence. Dalam agenda publik persisten, media mungkin memiliki pengaruh yang kecil. Ketiga, terjadi ketika agenda media mempengaruhi agenda publik, disebut sebagai persuasi.

Pengaruh jenis yang ketiga di mana media mempengaruhi publik adalah tepat seperti yang diprediksi oleh teori agenda setting (McQuail, 2002 : 456). Ada sebuah pertanyaan mendasar yang menarik untuk dijawab, yaitu siapa yang pada mulanya mempengaruhi agenda media? Media Adalah Aktor Politik Melalui proses newsgathering dan produksi berita, audiens akhirnya mendapatkan “akhir” artikulasi tentang apa “yang nyata” dalam urusan politik di sepanjang waktu. Para jurnalis mengkomunikasikan kepada kita “makna” politik (Gerstle dalam McNair,1999:73). Mereka (para jurnalis) memasukan peristiwa dalam kehidupan politik dalam narrative frameworks yang memungkinkan mereka disebut sebagai news stories (McNair,1999:73). Sebuah contoh nyata adalah kekalahan Partai Konservatif di Inggris oleh Partai Buruh, disebabkan karena krisis kepemimpinan di Partai Konservatif dan apresiasi jurnalis terhadap Partai Buruh (McNair,1999:74).

Dalam perkembangan kajian media sebagai aktor politik, maka para jurnalis yang bekerja di media dapat berperan sebagai’pundit’. Istilah ‘pundit’ berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti ‘a learned person or teacher who is not only an authority but also a renowned political figure’ (Nimmo dan Commbs dalam McNair,1999:78). Jurnalis sebagai pundit berarti jurnalis menjadi sumber pembentukan opini dan artikulasi opini, agenda setting dan agenda evaluation (McNair,1999:78). Dari sini dapat disimpulkan bahwa hal yang paling penting adalah jurnalis politik tidaklah partisan namun kredibel (McNair,1999:78).

Penulis adalah dosen broadcasting – Ilmu Komunikasi UMY. Makalah disajikan untuk seminar “Bercengkerama dengan Media” Sekolah Jurnalistik 2010, 10 Desember 2010 di Gd. AR. Fahrudin A lt. 5 UMY.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun