Kasak-kusuk sang raja untuk menjaga kelanggengan berkuasa sudah terbaca sejak beberapa bulan sebelum perhelatan suksesi akan digelar. Sebelum akhirnya putra mahkota sang raja, dengan segala rekam jejak ke-belia-an yang masih dipertanyakan, harus terpaksa dimajukan dalam kompetisi. Upaya ini dapat dilihat sebagai bentuk kepanikan raja besaoh dalam menyambut transisi kepemimpinan negeri. Apalagi jamak diketahui dari kalangan penyintas politik, sang putra masih enggan naik ring 2020. Dampak kepanikan raja pun harus berujung pada pilihan partai, dimana putra raja bernaung sebagai wakil rakyat, mengusung kandidat raja lain.
Kepanikan berikutnya adalah keterpecahan koalisi pengusung sang putra mahkota. Meski mudah ditepis, pernyataan salah satu pimpinan partai yang mengalihkan dukungan, mengkonfirmasi retak-retak diinternal tim putra mahkota. Sekaligus membenarkan jikalau kepercayaan raja pada mitra koalisi melemah. Karenanya, alih-alih memberdayakan para ksatria fulitik dalam koalisi sebagai pengepul suara, sang raja kini lebih meyakini gerakan para waisya sebagai relawan pengumpul suara di hari H.
Lebih lanjut, jika melihat ke belakang, tunas kepanikan raja juga mulai tumbuh sejak penunjukan salah seorang ketua partai sebagai panglima perang putra mahkota. Bisik-bisik dikalangan rakjat istana, bersedianya sang ketua partai sebagai panglima perang, kental muatan dendam.
Bagaimanapun sang ketua partai sangat meyakini ada peran raja dalam riwayatnya bisa menghuni hotel prodeo karena penyelewengan biaya acara olahraga tingkat wilayah beberapa tahun silam. Maka tawaran menjadi panglima perang, adalah momentum sang ketua partai membalas sakit hati pada raja dari dalam istana.
Disisi lain, raja sendiri tak sebenuhnya meyakini totalitas sang panglima perang. Kebersediaannya terhadap ketua partai menjadi panglima perang, tak lebih dari deal fulitik dengan raja provinsi serumpun agar partai kepala garuda berkenan mengusung putra mahkota raja besaoh maju dikontestasi fulitik besaoh 2020.
Akibat dari sikap saling bersisat antara pangilma perang dan raja, ialah mandeg hingga terbelahnya pergerakan partai berlogo garuda dalam memenangkan putra mahkota di medan perang.
Akhirnya kepanikan raja semakin paripurna  saat dua hari menjelang pencoblosan raja baru, beredar rilis media mengenai himbauan raja besaoh agar mendatangi tempat pemilihan raja. Konon katanya demi pembangunan berkelanjutan. Dua kata yang sulit dipahami rakjat ditengah kenyataan pembangun negeri besaoh yang jalan ditempat. Pengangguran tinggi, kemiskinan banyak, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah, belum lagi angka putus sekolah, stunting, daya beli rendah, kesejahteraan petani masih jauh, dan sejumlah stagnasi prolematika pembangunan lainnya.
Sayangnya, alih-alih menyadari tak ada keberlanjutan yang perlu diteruskan dari pembangunan yang seyogyanya gagal dilakukan raja, rilis media tersebut berlanjut dipasang sebagai headline bayaran disalah satu media besar negeri serumpun.
Tak sampai disitu, dihari sama terdapat gerakan "demi kamtibmas" dengan melepas baliho milik wakil raja yang menyerukan ajakan ke tempat pemilihan raja & mengingat selalu 4 protokol keselamatan jiwa. Meski perlu pembuktian lebih lanjut, apakah penurunan baliho oleh para serdadu pamong atas perintah raja atau inisiatif serdadu. Tapi yang pasti, pesan kepanikan raja akan kekhawatiran putra mahkota kalah, jelas tersampaikan.
Seruan menggunakan hak suara demi pembangunan berkelanjutan secara sporadis & reaktif menurunkan baliho milik wakil raja, adalah dua tindakan kegelagapan diwaktu menjelang pemilihan. Untuk tidam menyebutnya terjebak dalam ranjau permainan fulitik lawan. Sebab bagi yang mengerti siasat fulitik elektoral, tindakan fulitik seringkali dilakukan bukan karena punya tujuan akhir melainkan semata melihat reaksi lawan saja.