Hari-hari ini masyarakat di wilayah perbatasan terutama yang mendiami beberapa kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat sedang menikmati eufooria kemajuan. Hal ini tampak dari intensifnya perhatian pemerintah pusat maupun daerah di wilayah Kecamatan Badau, Puring Kencana, dan Lanjak yang secara geografis letaknya persis langsung berbatasan dengan wilayah Kerajaan Malaysia.
Bentuk perhatian pusat yang dialami masyarakat perbatasan ini berupa perbaikan jalan dan Jembatan Lintas Utara yang menghubungkan Kota Putussibau (Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu) dengan Negara Malaysia. Proses pembenahan infrastruktur ini sudah mulai dilakukan sejak pertengahan tahun 2010 dan diharapkan pada akhir tahun ini tuntas. Jika dibandingkan dengan kondisi jalan sampai awal tahun 2010, jalan Lintas Utara sudah jauh lebih manusiawi dibandingkan saat ini. Dahulu banyak jembatan kayu yang lapuk dan mudah rusak, namun sekarang mulai terlihat jembatan-jembatan beton yang kuat. Dahulu jalanan seperti kubangan kerbau, sekarang jalan sudah mulai jauh lebih baik.
Dalam artian, dari Putussibau sampai Kecamatan Embaloh Hulu (Sungai Utik dan Mataso) sudah mulus, dan sisanya masih sedang digusur, ditaburi batu, pasir dan dipadatkan. Hal ini jauh lebih mempermudah transportasi darat bagi masyarakat di perbatasan menuju Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu. Jika sebelumnya perjalanan Putussibau–Badau bisa seharian dan kadang-kadang berhari-hari di musim hujan. Sekarang ini, Badau-Putussibau bisa ditempuh dengan Bus dalam waktu 6-8 jam. Waktu tempuh yang semakin singkat ini sangat berpengaruh pada semakin meningkatnya mobilitas warga perbatasan baik ke Ibu Kota Kabupaten, maupun ke Ibu Kota Propinsi.
Bentuk perhatian yang kedua adalah dengan mulai dibukanya Pintu Masuk lintas-batas di Badau yang secara resmi akan dilaksakan pada 12-12-2012. Meskipun demikian, sekarang ini kendaraan sudah diperkenankan keluar masuk Indonesia-Malaysia ataupun sebaliknya. Hal ini memang menguntungkan semakin larisnya produk-produk Malaysia di wilayah perbatasan karena pada dasarnya masyarakat perbatasan sejak sebelumnya sudah akrab dengan produk Malaysia secara ilegal.
Selain itu, di wilayah perbatasan (Badau) telah dibangun proyek bersama Malaysia-Indonesia dalam bentuk pabrik pengolahan CPO bersama antara Sinar Mas (Indonesia) dan Malaysia. Dengan adanya pabrik CPO yang sedang dalam proses pembangunan ini semakin meramaikan wilayah perbatasan. Saat ini laju pertambahan penduduk dari luar daerah diperkirakan yang datang ke wilayah perbatasan sekitar seribu jiwa perbulan. Peningkatan penduduk ini dipicu oleh semakin meluasnya perkebunan kelapa sawit di kecamatan-kecamatan perbatasan yang menyerap banyak tenaga kerja pada masa pembukaan lahan dan penanaman. Dengan demikian, wilayah perbatasan yang sebelumnya boleh dibilang masyarakatnya homogen, terdiri dari masyarakat Dayak Iban, Kantuk, dan Tamambaloh saja, sekarang sudah mulai lebih heterogen. Tentu hal ini juga akan menimbulkan dampak sosial tersendiri bagi masyarakat setempat.
Dalam rencananya selanjutnya dari PEMDA Kapuas Hulu, di wilayah perbatasan akan dibangun pelabuhan angkutan yang menghubungkan wilayah paling Timur Propinsi Kalbar ini dengan Ibu Kota Propinsi. Pelabuhan angkutan ini akan lebih dekat menghubungkan Badau dan Pontianak (500 Km). Dengan demikian jarak Badau-Pontianak yang sebenarnya harus 900 Km sudah semakin dipotong 400 Km. Diharapkan dengan demikian, barang-barang kebutuhan pokok dari dalam negeri bisa lebih mudah didistribusikan di wilayah perbatasan bagian Timur Kalbar yang terkenal sangat terisolir dan luput dari perhatian selama ini.
Puncak dari perhatian pusat ini adalah rencana pemekaran wilayah Kabupaten baru di wilayah perbatasan menjadi Kabupaten Lanjak yang dinaungi oleh beberapa kecamatan perbatasan. Hal ini diharapkan semakin mengerucutkan proses perhatian dan pembangunan di wilayah perbatasan.
Semua bentuk perhatian ini tentu merupakan Kabar Gembira bagi masyarakat perbatasan dan juga pasti akan harus dibayar mahal dengan banyak hal. Pasti akan ada banyak dampak positif dari semua perubahan ini dan tidak sedikit juga dampak negatif yang akan dirasakan oleh masyarakat lokal yang selama ini boleh dikatakan kehidupannya sangat menjaga harmoni dengan alam.
Diharapkan semua perkembangan ini dibarengi juga adanya usaha untuk mempersiapkan masyarakat Dayak di wilayah perbatasan untuk mengantisipasi, menyikapi, dan mengimbangi dengan cara yang lebih bijaksana terhadap setiap bentuk perubahan yang terjadi. Jika tidak, maka mekanisme menyingkir dari pusat keramaian dan kemajuan akan terus menjadi habitus bagi masyarakat Dayak perbatasan. Jangan sampai semua bentuk “kemajuan” ini kemudian perlahan-lahan malah “menyingkirkan” masyarakat Dayak dari tanah tumpah darah mereka. Sebab arah ke sana sudah mulai terasa di mana sebagian besar pekerja di perkebunan kelapa sawit di beberapa kecamatan perbatasan (yang telah menerima sawit) bukanlah masyarakat setempat melainkan masyarakat dari luar Pulau Kalimantan. Padahal di atas tanah nenek moyang merekalah, batang-batang sawit itu ditanam.
Siapkah masyarakat Dayak perbatasan untuk mengimbangi aneka perubahan yang sudah dan akan terjadi di wilayah mereka?