Gambaran Umum Kecamatan Embaloh Hulu
Kecamatan Embaloh Hulu dengan Ibu Kotanya, Banua Martinus, merupakan sebuah kecamatan tertua di Kabupaten Kapuas Hulu. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Badau, Kecamatan Batang Lupar, Kecamatan Embaloh Hilir, Kecamatan Putussibau Utara, dan di bagian hulu Sungai Embaloh langsung berbatasan dengan negara Malaysia. Karena itu, Embaloh Hulu masuk dalam kategori kecamatan perbatasan.
Sebagai sebuah Kecamatan, wilayah Embaloh Hulu terbagi dalam 10 Desan yakni: Desa Rantau Prapat,Desa Batu Lintang, Desa Langan Baru, Desa Temau, Desa Menua Sadap, Desa Pulo Manak, Desa Martinus, Desa Banua Ujung, Desa Langan Baru, dan Desa Ulak Pauk. Desa Rantau Prapat terdiri dari dua kampung: Laurugun dan Mungguk; Desa Batu Lintang terdiri dari dua kampung: Sei Utik dan Kulan; Desa Langan Baru terdiri dari tiga kampung: Ungak, apan dan Sei Tebelian; Desa Temau terdiri dari dua kampung: Kerangkang dan Nanga Liu; Desa Menua Sadap terdiri dari empat kampung: Madang Hulu, Madang Hilir, Sadap, dan Kelayam; Desa Pulo Manak terdiri dari 2 kampung: Pinjauan dan Belimbis; Desa Banua Martinus terdiri dari 3 kampung: Bukung, Keraam, dan Banua Banyu (Banua Martinus); Desa Banua Ujung terdiri dari tiga kampung: Banua Ujung, Teliai, dan Ulak Batu; Desa Saujung Giling Manik terdiri dari dua kampung: Nanga Sungai dan Paat; Desa Ulak Pauk terdiri dari dua kampung: Ulak Pauk dan Pala Pintas.
Karena Desa-Desa ini dihuni oleh dua sub suku besar yakni Dayak Iban dan Dayak Tamambaloh, maka akan diberi gambaran umum kehidupan ekonomi, sosil budaya, pendidikan, dll, dari masyarakat kedua sub suku ini.
Gambaran Umum Masyarakat Iban
Masyarakat Dayak Iban tersebar di berbagai Desa terutama di Desa Prapat, Desa Batu Lintang, Desa Menua Sadap, dan di Desa Banua Ujung khususnya di Kampung Ulak Batu.
Berdasarkan sejarahnya, masyarakat Iban menetap di Embaloh Hulu lebih kemudian dibandingkan masyarakat Tamambaloh. Oleh kebijakkan para tokoh adat Tamambaloh di zaman dahulu, masyarakat Iban diberikan tanah di beberapa hulu anak Sungai untuk digunakan, dijaga dan dirawat. Hal ini terjadi melalui aneka perjanjian. Suku Iban oleh para antropolog sering disebut sebagai Suku Nomaden yang tersebar baik di wilayah Malaysia maupun di Indonesia. Karena itu, Suku ini bisa dijumpai juga di wilayah Malaysia perbatasan.
Mayoritas penduduk di Desa-desa ini bersuku Iban, beragama Katolik Roma, dan petani. Yang pegawai hanyalah para guru SD. Mata pencaharian utama masyarakat di desa-desa Iban ini adalah berladang padi dengan sistem gilir balik. Artinya, tanah dibiarkan memulihkan dirinya sendiri setelah diambil sekali dalam setahun dan akan kembali digarap kembali 4 atau 5 tahun kemudian setelah tumbuh banyak kayu-kayu besar. Selain itu, mereka juga mulai menanam dan menyadap karet. Dengan adanya Credit Union Keling Kumang yang berkantor di Sei Utik dan CU Tilung Jaya di Banua Martinus membuat masyarakat dari Desa-desa Iban ini mulai menabung. Di sela-sela menunggu panen padi ladang, para pria dari  ini biasanya pergi berkelompok-kelompok ke hulu Sungai untuk mencari gaharu. Pendapatan dari penjualan Gaharu lumayan besar. Karena Gaharu di Hulu Sungai sudah menipis, maka masyarakat dari Desa-desa Ibanini sudah mulai membudidayakan Gaharu di bekas ladang-ladang mereka. Jarang dijumpai kaum muda dari desa-desa Iban ini karena kebanyakan kaum muda dari Desa-desa Ibanini merantau ke Malaysia. Biasanya mereka memiiliki dua kartu identitas yakni KTP dan Kartu Identitas Warga Negara Malaysia. Yang merantau ke Malaysia umumnya kembali ke kampung halaman dua tahun sekali yakni pada saat Gawai Dayak Iban dan pada saat Natal. Biasanya Ringgit yang dibawa dari Malaysia ditukar di perbatasan, kemudian ditabung di CU.
Dari segi pendidikan, dibandingkan desa-desa Tamambaloh, masyarakat di desa-desa Iban ini masih rendah tingkat pendidikannya. Baru sekitar puluhan orang yang Sarjana (2011) dan beberapa orang masih di bangku Kuliah. Umumnya orang tua dari anak-anak yang sudah sarjana maupun yang masih di bangku kuliah mengandalkan karet dan CU sebagai sumber utama untuk biaya sekolah dan kuliah. Mayoritas penduduk dari desa-Desa-desa IbanIban ini tidak tamat Sekolah Dasar, beberapa orang lulusan SD, sedikit saja yang lulusan SLTP dan SMU. Yang lulusan SLTP dan SMU adalah Kepala Desa-desa Ibandan Sekretaris Desanya. Hal ini bisa dimaklumi, karena isolasi mereka baru dibuka pada tahun 1990-an ketika jalur darat Putussibau-Lintas utara perbatasan dibuka menggantikan jalur Sungai Embaloh sebagai satu-satunya akses mereka ke Ibu Kota Putussibau.
Akan tetapi, angka minat sekolah mulai meningkat bagi generasi 2000-an. Karena itu, banyak anak dari desa-desa Iban Iban ini yang sekarang sudah duduk di bangku SLTP dan SLTA. Bisa disimpulkan sudah ada kesadaran untuk menuntut ilmu lebih tinggi ketika akses mereka ke pusat-pusat kota mulai terbuka. Ada kebangkitan kesadaran akan pentingnya pendidikan formal di tengah masyarakat Iban saat ini.
Kehidupan Sosial-budaya masyarakatnya masih sangat kental semangat kekeluargaan, solider, kerja sama dan gotong-royong. Hal ini didukung semangat hidup dalam rumah panjai (rumah betang/rumah panjang). Kehidupan bersama di rumah panjai membuat masyarakat Iban di desa-desa Iban ini tidak bisa bersikap cuek dengan warga sesama betang. Kebersaamaan selalu terlihat baik dalam berladang maupun dalam kegiatan-kegiatan bersama di rumah panjai. Biasanya mereka berladang secara gotong-royong mulai dari menebas, membakar, menugal (menanam), menyiangi, sampai dengan menuai. Setelah menuai padi, mereka akan melakukan upacara syukuran bersama atas hasil padi di dalam upacara Gawai Dayak Iban.
Meskipun sebagian besar penduduknya telah beragama Katolik Roma tidak berarti bahwa mereka melupakan kebudayaan mereka. Upacara dan doa-doa secara adat yang dilakukan oleh tua-tua adat tetap dilaksanakan sebelum upacara keagamaan. Intinya, kebudayaan dan Iman Katolik hidup berdampingan di dalam masyarakat Iban di desa-desa Iban ini. Karena secara kultural, masyarakat Iban juga telah percaya akan adanya kekuatan yang melampaui alam semesta ini yang menjadikan dan mengatur tatanan semesta ini. Kehadiran Agama Katolik yang diperkenalkan oleh para Pastor Belanda pada zaman dahulu menurut masyarakat adat sangat sesuai dengan kebudayaan mereka. Karena itu, agama baru ini mudah mereka terima dan terinkulturasi perlahan-lahan di dalam kebudayaan mereka.
Meskipun letak wilayah mereka lebih dekat ke Ibu Kota Kabupaten, namun telah bertahun-tahun masyarakat di desa-desa Iban ini belum dialiri PLN baik dari Putussibau maupun dari Banua Martinus. Karena itu, masyarakat di desa-desa Iban ini umumnya mempunyai genset dan disel pribadi di setiap keluarga. Ketika malam hari genset atau disel akan dihidupkan sesuai kemampuan untuk menerangi bilik, menonton tv, mendengarkan musik, dll.
Ritme hidup masyarakatnya biasanya bangun jam 04.OO pagi ke kebun karet dan menoreh jika hari tidak hujan, kemudian kembali ke rumah panjai menyiapkan sarapan pagi sampai anak-anak berangkat ke sekolah, lalu ke ladang padi. Sore hari sekembali dari ladang, ibu-ibu dan orang tua biasanya tenggelam dalam keasykan mereka menganyam tikar, landung, dan keranjang-keranjang khas Iban dari bahan daun pandan, bemban, dan rotan. Hal ini dimungkinkan karena hutan mereka masih kaya dengan aneka tanaman untuk kerajinan tangan. Ada juga yang tenggelam dalam keasykan menenun kain-kain Iban entah untuk dijual maupun untuk keperluan pakaian adat sendiri. Sedangkan kaum pria ke sungai mengecek bubu, memancing, dan memukat atau menyadap enau. Yang lainnya setelah dari ladang langsung ke hutan untuk berburu atau sekedar mengecek jerat yang dipasang pada hari sebelumnya. Praktisnya semua anggota keluarga akan berkumpul lagi pada saat malam hari pada saat makan malam di mana ada lauk pauk yang dibawa kaum pria dari hutan atau dari sungai.
Masyarakat dari Desa-desa Ibanini tidak perlu mengambil air minum bersih dari Sungai lagi karena atas swadaya dan dibantu oleh pihak swasta, mereka telah mempunyai air minum bersih yang diambil dari mata air di Hulu Sungai dan langsung mengalir di dapur masing-masing bilik kepala keluarga. Karena itu, pekerjaan rutin kaum ibu untuk mencuci dan memasak telah dipermudah oleh adanya sumber air yang ada di dapur mereka.
Bagi masyarakat di desa-desa Iban ini, alam telah menyediakan segala hal yang mereka perlukan baik nasi, sayur, buah, lauk pauk, obat-obatan, ramu bahan rumah, dan bahan kerajinan tangan khas Dayak Iban. Karena itu, ada aturan-aturan atau hukum adat yang mengatur setiap warga masyarakat agar tidak sewenang-wenang merusak alam misalnya: meracuni ikan di sungai, memotong kayu untuk bisnis, dan merusak hutan. Barangsiapa yang melanggar akan diadat sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Di sini perangkat adat masih sangat kuat pengaruhnya untuk menegakan kearifan lokal dalam mengatur hubungan antarwarga sendiri dan hubungan antara warga dengan lingkungannya untuk menciptakan harmoni dengan sesama dan harmoni dengan alam.
Masyarakat Iban sangat menghormati orang lain, pendatang atau tamu. Mereka sangat ramah dengan siapa pun yang mengunjungi mereka. Asalkan tamu pandai membawa diri, maka mereka akan memperlakukan tamu sebagai bagian dari keluarga besar Iban. Bahkan pendatang yang mau menjadi bagian dari kehidupan mereka akan diangkat anak dan diberi nama Iban. Ini bentuk penghargaan tertinggi dari masyarakat Iban kepada siapa pun yang menghargai kebudayaan dan kehidupan sosial-kemasyarakatan mereka. Namun, orang Iban bisa sangat marah apabila dibohongi atau apabila kebenaran dan keadilan diinjak-injak. Kuncinya: jadilah bagian dari kehidupan orang Iban, niscaya anda akan diterima menjadi orang Iban meskipun kulitmu hitam dan rambutmu keriting.
Gambaran Umum Masyarakat Tamambaloh
Bersambung di kisah selanjutnya................................