(Review Ngaji Bareng bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng, Selasa 13 Mei 2014)
Beberapa tahun yang lalu, setelah saya mulai mengenal buah pikiran-pikiran Cak Nun melalui video-video di youtube, artikel, buku, maupun ulasan-ulasan pro-kontra terhadapnya, saya memiliki keinginan yang sangat kuat untuk bisa mengaji secara langsung kepada Cak Nun. Beberapa usaha saya antara lain dengan mendownload beberapa video pengajian Cak Nun baik di dalam pengajian Macapat Sholawat, Kenduri Cinta, atau pengajian-pengajian lainnya di beberapa tempat. Ternyata, beberapa minggu yang lalu saya hampir dibuat tak percaya dengan spanduk di depan Balai Desa Kecamatan Paranggupito yang menginformasikan ajakan dalam acara “Ngaji Bareng bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng” dalam rangka peringatan hari jadi Kabupaten Wonogiri ke-273.
Tanggal 13 Mei 2014 pun tiba, saya berangkat ke Alun-alun Kabupaten Wonogiri bersama seorang teman dari desa sebelah, atau lebih tepatnya sekedar nebeng mobilnya saja bersama istri, anak dan tetangga. Sempat terbersit sedikit kekhawatiran, jangan-jangan Cak Nun di Wonogiri nanti tak akan se-mbeling biasanya, mengingat acara tersebut terkesan agak formal dan pesertanya adalah kalangan “awam”. Ternyata kekhawatiran tersebut tidak terwujud, dari awal sampai akhir, tak ada perbedaan antara gaya pengajian Cak Nun di Wonogiri dan tempat lain. Gayanya yang khas dalam memberikan kajian Islam yang sarat dengan petuah-petuah bijak, tafsir-tafsir yang cerdas, kritik-kritik yang berani namun mesra, wawasan yang luas dengan bumbu guyonan-guyonan nakal, humor sufi yang selalu bertebaran hampir di setiap pembahasan sehingga jamaah tetap betah mendengarkan tausiyah-tausiyahnya yang berbahasa Jawa. Dengan susah payah saya menulisnya pada sebuah aplikasi memo HP karena lupa membawa alat tulis. Di bawah ini saya tuliskan review beberapa point isi pengajian tersebut untuk bisa dijadikan sebagai tambahan ilmu bagi yang membutuhkan.
Pada bagian awal pengajian, ketika perkenalan para tokoh yang duduk di depan sampai pada Ketua Pengadilan Kabupaten Wonogiri, jamaah langsung disuguhi joke segar, bahwa di akhirat nanti mungkin akan ikut mengadili pihak pemerintahan Kabupaten Wonogiri yang korupsi. Cak Nun juga menyampaikan tentang betapa sulitnya membayangkan para pejabat di masa ini untuk tidak ikut-ikutan korupsi. “Jaman saiki, angel bayangne, angel banget, bingung entukku mikir kepiye carane misal dadi pejabat ra melu korupsi, merga kabeh padha korupsi, piye carane yen enek pembangunan dalan, tapi ra melu ngunti dhuwite, angel banget”. Joke segar tersebut langsung disambung tawa para peserta pengajian.
Guyonan selanjutnya ketika temannya yang berasal dari Madura membantu membacakan nama-nama tokoh yang duduk di depan, dia mengucapkan beberapa kali sanjungan “luar biasa” kepada salah satu tokoh, lalu Cak Nun menanggapi, “Memangnya kenapa kok bilang luar biasa? Apanya yang luar biasa? Tidak usah meniru TV, Kyai kok niru TV.”
Cak Nun juga piawai menggali tema seputar Wonogiri, semisal pengungkapan sejarah tentang Raden Mas Said selaku pemerintah awal Kadipaten Wonogiri yang sebenarnya memiliki peran dalam pembentukan berdirinya Keraton Yogyakarta, “Jadi harus bangga sebagai orang Wonogiri, jika tak ada Wonogiri, maka tak ada Yogyakarta”. Cak Nun juga menjelaskan tentang hubungannya secara pribadi dengan Wonogiri, karena kakek mantan istrinya adalah orang Wonogiri. Juga disinggung tentang latar belakang Soeharto (mantan presiden RI) yang waktu kecilnya berada di Wonogiri.
Benih-benih perpecahan antar umat akhir-akhir ini tak pelak menjadi sorotan utama dalam pengajian Cak Nun, dia bertanya kepada hadirin siapa diantara semua yang hadir sudah yakin bahwa ketika di akhirat nanti akan masuk surga dan siapa saja yang akan masuk neraka. Meskipun ada yang terjebak dengan pertanyaan retorik ini dengan menjawab “saya”, namun pada dasarnya tak ada satu pun dari kita yang bisa memastikan bahwa siapakah yang paling benar dan pasti salah di sisi Allah SWT. Cak Nun mengatakan bahwa dia yakin bahwa di surga nanti ada kapling-kapling untuk semua aliran, ada kapling untuk MTA, kaplingnya sudah ada radionya (radio khusus dakwah MTA), lalu di belakangnya ada kapling Muhammadiyah, kapling LDII, lalu yang paling belakang adalah kaplingnya NU karena tidak memiliki radio.
Sebelum Kiai Kanjeng membawakan lagu pertamanya, Cak Nun mengupas sedikit tentang tiga versi lagu Indonesia Raya ciptaan WR Soepratman. Menurut Cak Nun, sebenarnya lagu Indonesia Raya membingungkan, karena liriknya ‘Di sanalah aku berdiri’, ”...lalu ketika bernyanyi kita sedang di mana? Di Malaysia? Seharusnya kan “Di sinilah aku berdiri”. Tentu saja pernyataan tersebut sekedar guyonan ringan saja, tidak bertendensi serius.
Beberapa kali Cak Nun mengangkat isu-isu yang yang sedang hangat tentang perkembangan politik di Indonesia. “Saya mencari makan sendiri, memilih jalan hidup saya sendiri, tidak dicarikan, lalu kenapa ketika memilih presiden saya harus dipilihkan partai-partai itu? Pilihan kita saat ini terlalu dibatasi, kenapa harus memilih terbatas pada beberapa capres itu? Saya akan memilih presiden saya sendiri, karena ini hidup-hidup saya sendiri, misal pilihanku kalah ya tidak masalah, yang penting saya punya alasan terhadap pilihan saya sendiri.” Maksud pernyataan tersebut menurut saya kita harus memiliki prinsip dan dasar yang kuat di dalam menentukan pilihan, tidak sekedar ikut-ikutan serta dengan dasar dan pengetahuan yang lemah.
Mengenai perbedaan-perbedaan khilafiyah dan tafsir, Cak Nun mencontohkan ketika itu sahabat Nabi yang bernama Bilal tidak bisa melafalkan syin, shad, tsin dengan benar, semuanya dibaca sin, ketika ada sahabat yang protes dengan pelafalan itu, Nabi Muhammad mengatakan bahwa maksud Bilal sama dengan maksud kita, hanya saja pengucapannya berbeda, tak perlu dipermasalahkan. “Sama halnya ketika orang Jawa melafalkan ‘ain menjadi ngain. Jika ada yang melafalkan ngain jangan langsung dituduh bid’ah hanya karena pelafalannya tidak sesuai dengan Nabi Muhammad. Jangan sedikit-sedikit menuduh bid’ah pada orang-orang yang berbeda dengan kita.” Cak Nun juga mencontohkan, kalau semua yang tidak dilakukan Nabi Muhammad dianggap bid’ah, maka penggunaan listrik, lampu, karpet, kupluk adalah bid’ah, karena ketika itu Nabi tidak menggunakannya. Sentilan tersebut tentu mengundang reaksi beragam dari para jamaah, tidak sedikit yang lantas bertepuk tangan karena merasa terwakili. Namun Cak Nun melembutkannya, “Ngapa kok dho rame? Iki mung guyon lho, aja enek sing nesu, jenenge kemesraan ki ya ngene iki.”
Terkait dengan hal itu, salah satu tokoh agama dari organisasi tertentu ketika semua tokoh dari Muhammadiyah, LDII, dan MTA diberikan kesempatan berbicara menjelaskan bahwa yang dimaksud bid’ah hanyalah menyangkut masalah peribadatan, kalau masalah muammalah tidak ada batasan bid’ah atau tidak, sedangkan listrik, lampu, karpet termasuk urusan muammalah. Cak Nun menanggapi, “Mungkin yang dimaksud ibadah dan muamalah Bapak adalah tadi ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Yang masuk ke dalam ranah bid’ah atau tidak hanya pada masalah urusan ibadah mahdhah, begitu ya Pak? Sayangnya terkadang kita sulit membedakan mana batasan antara mahdhah dan ghairu mahdhah, misalnya hukum bersalaman setelah Sholat dibid’ahkan, kenduri, Yasinan, Tahlilan dibid’ahkan, begitu kan? Sedangkan masalah-masalah tersebut sebenarnya urusan ibadah ghairu mahdhah/muammalah, sehingga tidak sepantasnya untuk dibid’ahkan. Sudahlah, mulai sekarang tidak perlu saling menyalahkan, membid’ahkan kelompok atau tafsir lain, karena hal itu akan membuat suasana menjadi kurang nyaman dan perpecahan umat.” Mungkin yang dimaksud Cak Nun kita jangan mudah terjebak pada perbedaan di tingkat permukaan/kulit saja. “Saya berdoa agar semua bisa masuk surga, tak peduli apa alirannya, bahkan setan iblis pun saya doakan masuk surga. Kalau kalian ingin mengkafirkan saya, silakan! Memang sudah lama kalau saya kafir! Misal aku kafir, kowe meh ngapa?” Pertanyaan retoris dan satir tersebut dijawab dengan tepuk tangan dan gelak tawa para jamaah. Pernyataan dan pernyataan tersebut mungkin dilatarbelakangi tuduhan-tuduhan kafir, sesat, atau liberal yang sering dialamatkan kepada Cak Nun dari orang-orang yang belum bisa menerima jalan pikiran Cak Nun.
Berkali-kali Cak Nun menyatakan apresiasinya atas usaha panitia yang mampu menghadirkan semua tokoh dari berbagai macam aliran. “Baru pada pengajian kali ini saya melihat tokoh-tokoh dari semua aliran disatukan duduk berdampingan pada satu pengajian. Tolong-menolong itu tanpa syarat, jangan sampai ketika ada kecelakaan, sebelum menolong ditanya terlebih dahulu apa agamanya, kalau sudah Islam lantas ditanya apa alirannya, kalau dijawab NU, ditanya lagi NU PPP atau NU PKB? Lalu masih ditanya lagi PKB Gus Dur atau PKB Cak Imin? Carane ngono selak modar sing meh dhitulung! Kita saling bersaudara tidak hanya dengan sesama aliran, namun sesama makhluk, dengan binatang, tumbuhan, tanah, dan semua ciptaan Tuhan, makanya harus saling menjaga, tolong menolong. Sehebat apapun sholat kita, kalau tidak bisa mencegah keji dan mungkar, suka dengan perpecahan, kebencian, maka tak ada artinya sholat kita.” Sebuah penuturan yang menurut saya banyak menggetarkan hati para jamaah, khususnya saya sendiri. Salah satu nomor lagu yang dibawakan Kiai Kanjeng yang membangkitkan rasa sentimentil saya adalah Ilir-ilir versi pelog dan slendro dilanjutkan Sholawat Badar. Cak Nun turun panggung mendekat kepada jamaah lalu mengajak membuat koor massal dan interaktif. Dengan lagu tersebut Cak Nun berharap agar malaikat turun untuk mengipas hati para jamaah agar tercipta suasana sejuk di hati semua jamaah.
Tema pengajian tersebut adalah “Membangun Ukhuwah Menggapai Berkah”, berkaitan dengan hal itu, ketua MUI Kabupaten Wonogiri diminta untuk menyampaikan dasar pemikiran dan landasan tema tersebut. Memang sebagai ciri khas pengajian-pengajiannya, Cak Nun selalu memberikan kesempatan kepada tokoh lain untuk ikut menyampaikan pendapat dan membuka ruang diskusi agar pemateri tidak tersentral hanya dari Cak Nun saja. Menurut Cak Nun Indonesia belum mendapatkan berkah dari Allah SWT karena belum mampu mengolah rahmat (nikmat Allah/SDM) untuk bisa menjadi berkah (keadilan dan pemerataan perekonomian). “Kemiskinan bukanlah masalah jika itu suatu pilihan, misalnya Nabi Muhammad SAW yang memilih untuk miskin, kamu memilih menjadi orang miskin, namun jangan sampai kita membiarkan pemiskinan, membuat miskin rakyat, menciptakan ketidak adilan”.
Perkembangan politik menjelang Pilpres juga tak luput dari senggolan Cak Nun, sebelum hujan, jamaah disuruh untuk merapat ke panggung, celetukan Cak Nun, “Tetep betah, setia neng kene tekan rampung ta? Aja-ja rung rampung dadi gubernur terus pengen dadi Presiden? Tapi ja nesu lho, ki mung guyon, pisan neh aja nesu ya”. Sekali lagi jamaah menyambutnya dengan tawa. Fragmen-fragmen kisah nyata yang dialami Cak Nun ketika Soeharto dan Gus Dur lengser pun tak luput menjadi bahan guyon, khususnya kelakuan-kelakuan Gus Dur yang terkenal nyeleneh. “Gus Dur ki jan nganyelke, pernah pas menjelang lengsere Gus Dur, aku diundang nyang ngomahe, aku disuguh melon, tapi ternyata melone kuwi malah dipangan dhewe nganti entek, aku sebagai tamune malah blas ora dibagehi, piye ta iki?”
Menjelang akhir, ketika diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat, Bapak Bupati Danar Rahmanto menghimbau masyarakat untuk tetap menjaga ukhuwah, persatuan antar umat, karena ibarat pelangi, MTA, NU, Muhammadiyah, LDII, dan semua perbedaan ciptaan Allah SWT memperindah dunia ini. Cak Nun menanggapi, bahwa dia bukan NU, bukan Muhammadiyah, bukan pengikut aliran apapun, bukan sayuran, bukan jenis makanan apapun, melainkan Cak Nun ibarat garam pada semua makanan, yaitu membaur menjadi satu dengan semua makanan, membuat semuanya terasa nikmat.
Kata-kata terakhir yang saya catat adalah tentang pentingnya akhlak daripada pakaian yang kita kenakan. Ketika itu ada dua orang jamaah yang berpakaian Arabis, Cak Nun berkata, “Iki enek sing nganggo pakaian kaya Pangeran Diponegoro, ora apa-apa, mbuktikne saking tresnane karo Nabi Muhammad.” (Ini ada yang berpakaian seperti Pangeran Diponegoro, tidak apa-apa, membuktikan betapa cintanya kepada Nabi Muhammad SAW). Lanjutnya, “Jangan sampai yang berpakaian seperti Nabi Muhammad, seperti Arab, bercelana cingkrang tapi suka membid’ahkan orang lain yang tidak berpakaian seperti dirinya, karena sebaik apapun pakaian, yang paling penting adalah akhlak pemakainya.”
Cak Nun bagi saya adalah Sunan Kalijaga Abad 21, karena pengajian malam itu menuntun imaji saya tentang sosok Sunan Kalijaga yang ketika berdakwah juga sering menggunakan media kesenian dan budaya tradisonal.
Demikian catatan yang saya tulis, tentu saja ada beberapa kalimat yang tidak sama persis dengan aslinya karena keterbatasan memori dan catatan di HP saya. Atas koreksinya saya ucapkan terima kasih, semoga bermanfaat.