Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Budiman yang Tak Lagi Budiman

21 Agustus 2023   10:04 Diperbarui: 21 Agustus 2023   10:11 359 0
Budiman Sudjatmiko. Di kalangan aktivis mahasiswa, namanya begitu berkibar. Ia dianggap suhu dari pergerakan aktivis nasional. Kisahnya banyak diceritakan saat diskusi maupun seminar.

Budiman memang salah satu aktivis 98 yang moncer. Bersama aktivis lain sekelas Adian Napitupulu, ia sukses menjadi magnet setiap pergerakan. Kisahnya kerap menjadi pelecut semangat anak-anak saat melakukan demo. Tak takut pada apapun demi berjuang membela suara rakyat.

25 tahun pasca reformasi, Budiman selalu menjadi kunci. Banyak orang mengaku aktivis, tapi tak pernah ada yang sehebat Budiman. Bahkan teman kampus saya sangat mengidolakan. Katanya, kalau sudah lulus ia ingin ke Jakarta dan mengabdi pada Budiman.

Nama Budiman moncer usai peristiwa 98. Ketua Partai Republik Demokratik (PRD) itu selalu berada di barisan terdepan melawan tirani Orde Baru yang begitu mengerikan waktu itu. Saking vokalnya, Budiman menjadi korban penculikan oleh para tentara.

Nama Prabowo Subianto juga tenar saat peristiwa 98. Ia diduga kuat, menjadi motor penculikan para aktivis, salah satunya Budiman. Budiman masih untung, karena ia masih bisa berumur panjang. Belasan atau mungkin puluhan teman aktivis Budiman yang lain, sampai saat ini tak diketahui keberadaannya. Hilang bak ditelan bumi.

Peristiwa kelam masa peralihan Orde Baru itu masih menjadi misteri. Negara mengakui, terjadi pelanggaran HAM berat saat itu. Dan nama yang terseret dalam peristiwa itu adalah Prabowo Subianto. Mantan Danjen Kopassus yang juga menantu Presiden Soeharto itu juga dipecat dari ABRI karena terbukti terlibat dalam peristiwa penculikan para aktivis pro demokrasi.

Salah satu mahasiswa yang diculik, disiksa dan nyaris tewas itu adalah Budiman Sudjatmiko.

Tapi peristiwa kelam itu sepertinya tak membuat Budiman membenci Prabowo. Justru saat ini, Budiman berada di barisan Prabowo. Mendukungnya menjadi presiden.

Sontak manuver Budiman ini membuat geger dunia aktivis nasional. Para sahabat Budiman yang dulu pernah merasakan kejamnya penculikan angkat suara. Mereka marah dan mengecam manuver politik Budiman. Cap penghianat kini dilabelkan padanya.

Tapi biarpun anjing menggonggong, Kafilah tetap berlalu. Budiman tak pernah menggubris keributan itu. Ia tetap enjoy dan semakin mantab mendukung Prabowo. Buktinya, dia hadir di Medan bersama aktivis 98 lainnya. Mereka menggelar deklarasi relawan dan mendukung pak Menhan. Terbaru, ia mendeklarasikan relawan untuk mendukung Prabowo sebagai capresnya di Semarang.

Budiman dalam beberapa kesempatan mengatakan, ia tak dendam pada Prabowo. Meski diperlakukan sadis, meski teman-temannya hilang tragis, dia tak menggubris. Sekarang, Prabowo sudah dianggapnya sebagai pahlawan. Orang hebat yang harus didukung jadi presiden.

Tak dendam bukan berarti melupakan, kan mas Budiman?

Masa iya Budiman lupa bagaimana kelamnya sejarah Indonesia. Masa iya, dia lupa pernah disiksa dan dipenjara. Masa iya, dia mencintai orang yang telah menghilangkan belasan bahkan puluhan rekan seperjuangannya?

Apa sih alasan yang memperkuat Budiman merapat ke Prabowo?

Tak ada yang tahu. Hanya Budiman dan Prabowo yang tahu. Kalau kita sih menduga, ada udang di balik batu. Tapi ada dua analisis saya soal itu.

Pertama karena dendam pada PDIP. Manuver Budiman ini sepertinya berkaitan dengan perlakuan PDIP padanya. Budiman yang sudah nyaman dua periode menjabat anggota DPR RI ini 'dibuang' dari dapilnya sendiri pada Pileg 2019. Ia 'dibuang' di dapil neraka, Jatim 7 dengan wilayah Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Magetan dan Ngawi. Alhasil, ia gagal mempertahankan kursinya di Senayan.

Pembuangan Budiman ke dapil neraka dan tak jelas itu mungkin dirasanya sebagai 'penyingkiran' secara halus. Ia yang merasa sudah mengabdi dan berjuang membesarkan PDIP sudah tak dianggap lagi.

Kemarahannya itu ia lampiaskan dengan mendekati lawan PDIP, yakni Prabowo Subianto. Selain kans menangnya cukup besar, Budiman seolah menjadikan ini sebagai ajang pembalasan. Ia ingin membuktikan pada PDIP, mereka salah telah menyia-nyiakannya.

Alasan kedua, ini soal perut. Bagaimanapun, seorang Budiman masih butuh hidup. Ia harus menghidupi keluarganya, membiayai pendidikan anak-anaknya dan mempersiapkan tabungan untuk hari tua. Karena di PDIP ia melihat tak ada kepastian, ia mencoba mencari peluang. Dan ternyata, peluang itu ada pada Prabowo.

Kita tidak tahu apa yang dijanjikan Prabowo pada Budiman, sehingga idealisme pun berani ia gadaikan. Mungkin bisa jadi uang, atau jabatan mentereng ketika kelak Prabowo memimpin kekuasaan.

Yang jelas, bukan hal remeh remeh tentunya, yang mampu membuat Budiman mau mengambil keputusan kontroversial itu.

Kita tidak perlu menduga-duga. Karena apapun alasannya, Budiman pasti tahu resikonya.

Tapi yang jadi persoalan adalah, kontroversi itu melukai banyak orang. Okelah kalau Budiman bilang tak punya dendam. Tapi juga tidak dengan mendukung Prabowo dong. Apa iya Budiman sepakat kalau Indonesia dipimpin orang yang melakukan pelanggaran HAM berat? Apa iya Budiman mau menari di atas tangis belasan atau puluhan orang tua yang kehilangan anaknya yang hilang pada tragedi reformasi?

Kalau iya, Budiman sepertinya sudah kehilangan naluri sebagai manusia. Manusia yang berakal dan berbudi. Bahkan ia tak pantas dipanggil Budiman lagi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun