Kedudukan, fungsi, dan keanggotaan MPR sebelum dan setelah amandemen UUD 1945 telah berubah. Kedudukan MPR yang sebelumnya adalah lembaga tertinggi Negara setelah amandemen menjadi lembaga tinggi Negara yang setara dengan lembaga tinggi Negara lainnya. Kemudian kewenangan MPR yang sebelumnya sangat besar, beberapanya adalah menentetapkan GBHN, mengangkat dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, hingga meminta pertanggungjawaban dari Presiden mengenai pelaksanaan GBHN dan menilai pertanggungjawaban tersebut, setelah amandemen telah dibatasi hingga hanya memiliki lima kewenangan saja seperti yang tertulis pada pasal 3 ayat (1), (2), (3), dan pasal 8 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan tidak memiliki wewenang untuk menentukan GBHN serta memilih dan mengangkat Presiden dan/atau wakil presiden kecuali presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatan secara bersamaan.[1] Kemudian dari keanggotaannya, yang semula anggota MPR terdiri anggota DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan, setelah amandemen telah berubah menjadi anggota DPR dan DPD saja.
Dari Bab II UUD 1945 tentang MPR ini, yang perlu disoroti adalah mengenai pasal 2 ayat (1), yaitu perlunya keberadaan Utusan Golongan dalam keanggotaan MPR. Jika dilihat dari prinsip keterwakilannya, DPR disini mengakomodir keterwakilan politik (political representation) dilihat dari mekanisme pemilihannya yang dipilih secara langsung oleh rakyat, sedangkan DPD mengakomodir keterwakilan daerah (regional representation), sehingga perlu juga keterwakilan yang fungsional (functional representation) dalam hal ini adalah Utusan Golongan. Keberadaan perwakilan fungsional ini menurut Jimly Asshidiqqie dimaksudkan untuk mengatasi atau menutupi kelemahan sistem demokrasi politik atau sistem perwakilan politik.[2]
Utusan Golongan sebagai keterwakilan fungsional pada awalnya oleh founding fathers kita hanya dikaitkan sebagai golongan ekonomi. Akan tetapi, dalam pengertian yang lebih luas juga dikaitkan dengan kelompok-kelompok fungsional yang tidak mungkin dapat diwakili aspirasinya jika sistem demokrasi hanya mengandalkan mekanisme perwakilan politik melalui peran partai politik. Sebagai contoh, jika hanya mengandalkan mekanisme politik yang biasa, kaum perempuan dalam masyarakat yang mewarisi tradisi kekeluargaan yang sangat partiachat atau patrilineal cenderung kurang terwakili (under represented). Begitu pula dengan kelompok masyarakat pada batasan usia tertentu, kelompok masyarakat tertentu, seperti suku terasing yang hidup di kepulauan terpencil, masyarakat hukum adat tertentu yang jumlahnya terbatas. Mereka ini, karena alasan-alasan tertentu yang logis, rasional dan sah-sah saja, sulit untuk terwakili secara politik jika hanya mengandalakan mekanisme politik yang lazim.[3]