Kata entrepreneur akhir-akhir ini menjadi pesona yang menggiurkan masyarakat. Hal ini punya alasan karena dalam faktanya mereka yang mendapat julukan entrepreneur adalah orang-orang sukses dalam dunia bisnis. Keinginan hidup sejahtera di tengah-tengah keterpurukan ekonomi saat ini membuat mereka merasa perlu menggali potensi dari para entrepreneur sukses. Kalau dirujuk dari akar bahasa, entrepreneur itu sendiri berasal dari bahasa Perancis;entrependere. Secara simple bisa diartikan sebagai usaha yang di dalamnya mengandung potensi sekaligus resiko yang sulit. Dalam bahasa Indonesia selama ini kata entrepreneur diterjemahkan sebagai wirausaha, pelakunya adalah wirausahawan. Selama ini kita mengenal dua kategori entrepreneur, yakni entrepreneur murni dan entrepreneur sosial. Yang pertama merujuk pada sosok wirausahawan yang sukses secara material untuk dirinya sendiri. Sedangkan yang kedua, selain sukses ekonomi secara pribadi, entrepreneur sosial adalah mereka yang memiliki jiwa sosial karena mendermakan hartanya atau membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Tetapi menurut saya, mestinya ada satu kategori lagi, yakni istilah Entrepreneur Organik. Kategori ini layak dialamatkan pada sosok entrepreneur yang selain mampu mempraktikkan jiwa Entrepreneur Sosial di atas, juga mampu menciptakan beragam pekerjaan melalui pemberdayaan dan menghasilkan entrepreneur-entrepreneur mandiri yang mengikuti jejak langkahnya. Letak perbedaan kontras antara Entrepeneur Sosial dengan Entrepreneur Organik juga bisa dilihat pada proses. Kalau Entrepreneur Sosial setelah menikmati kesuksesan baru kemudian bekerja untuk kepentingan orang lain, Entrepreneur Organik memproses secara bersama sejak ia memulai usahanya. Istilah ini merujuk dari definisi ‘Intelektual Organik’ yang diciptakan Antonio Gramsci. Cendekiawan Kiri dari Italia itu membedakan antara intelektual tradisional dan intelektual organik. Yang pertama adalah mereka para intelektual kampus, yang mahir dalam rumus, teori, wawasan dan sedikit paham lapangan. Sedangkan Intelektual Organik adalah sosok intelektual yang selain memiliki kemahiran diskursus pengetahuan, juga memahami serta bermain langsung dalam lapangan. Intelektual Organik ini tidak mempercayai transformasi sosial hanya dengan pola pendidikan eksklusif seperti diskusi dan pelatihan singkat. Intelektual Organik hanya percaya, kemajuan rakyat akan tercapai kalau digerakkan melalui kombinasi teori dan praktik secara langsung dalam kurun perjuangan panjang bertahun-tahun. Karena kebutuhan kepemimpinan langsung inilah Intelektual Organik merasa wajib terjun ke gelanggang kehidupan massa rakyat; memotivasi, memberikan arah dasar gerakan, memimpin langsung dengan segala resiko dan melindungi kehidupan warga. Kalau Intelektual Organik sifatnya lebih luas dalam kepemimpinan politik, maka Entrepreneur Organik adalah mereka yang memimpin secara khusus di bidang ekonomi.
Di Kaki Gunung Patuha Adakah sosok Entrepreneur Organik di Indonesia? Tentunya ada. Tetapi dalam tulisan ini saya ingin berbagi dengan satu sosok yang tak jauh dari lingkungan kita, di Bandung. Makhluk itu bernama Fuad Afandi, pemimpin Pondok-Pesantren Al-Ittifaq, di desa Alam Endah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung. “Kesuksesan” ulama dari lereng Gunung Patuha dalam dunia agribisnis dan kegiatan sosial paling tidak telah menandaskan ada kekuatan kepemimpinan sejati dari seorang kyai yang mampu memberdayakan kehidupan masyarakat untuk tujuan materi dan ruhani. Ratusan hektar tanah di Rancabali yang pada tahun 1970an tidak digarap kini menjadi lahan yang mampu menyejahterakan ribuan keluarga petani, bahkan mendorong kemajuan di bidang jasa dan bisnis lainnya. Al-Ittifaq, yang berarti kerjasama telah membuktikan bahwa masyarakat pedalaman yang terbiasa hidup terkungkung dalam imajinasi alam agraris kini telah menjadi masyarakat yang lebih egaliter, moderat, berwawasan dan tentu saja lebih beradab. Dalam masa perjuangan yang cukup panjang dan melelahkan sejak tahun 1970an, Fuad Afandi telah membuktikan koperasi bukan sekadar slogan politik, melainkan benar-benar menjadi pilar kesejahteraan kaum tani. Lebih dari 300 anak-anak bangsa dari golongan dluafa ia berdayakan menjadi entreprenuer-entrepreneur muda tanpa biaya sepeser pun. Jaminan makanan, pakaian dan papan disediakan secara khusus. Ratusan santri dluafa itu mengelola puluhan hektar tanah yang ditanami 28 jenis sayuran sesuai dengan permintaan pasar. Pola kerjasama yang diterapkan dengan mengikuti perkembangan pasar modern membuat hasil panen stabil. Selain membuka pendidikan ekonomi dan agama bagi kaum dluafa, Fuad Afandi juga membuka pendidikan modern berkualitas tinggat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Umum yang memberikan kesempatan kepada masyarakat sekitar (yang mampu) untuk mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa harus ke kota. Orang boleh bilang bahwa menjadi petani itu berarti menjadi miskin. Tetapi di tangan sang Entrepreneur Organik jebolan kelas 4 Sekolah Rakjat (SR) itu ternyata kesejahteraan petani benar-benar mewujud. Seandainya Deng Xiaoping masih hidup dan menengok kehidupan petani di kaki Gunung Patuha, barangkali Deng akan bangga karena ucapannya terbukti :“menjadi kaya itu mulia.”. Dan para petani itu mulia karena tidak terjebak dalam kubang kemiskinan menjadi kuli-kuli miskin di kota. (
Faiz Manshur)
KEMBALI KE ARTIKEL