Kekerasan kepada tokoh agama kembali menteror nurani publik. Wajah menyeramkan itu terjadi dua hari setelah tragedi “silaturahmi maut di Istana Negara”. Ada motif pengalihan isu?
Untuk kasus kematian Joni Malela, kita menemukan bau tidak sedap sebagai pemicu. Yakni, dugaan mobilisasi orang-orang miskin dalam proyek silaturahmi lebaran dengan presiden. Hasilnya, Joni Malela tewas secara mengenaskan akibat terinjak massa yang terjebak kekacauan.
Kemudian kasus itu berakhir dengan pemberitaan media massa, bahwa diduga mereka yang antri di Istana Negara dipicu oleh iming-iming mendapatkan imbalan duit. baca
Jelas, pengungkapan tragedi yang terjadi di singasana kekuasaan tersebut mencoreng citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tegasnya, publik bertanya: Mengapa mereka yang datang itu dimobilisasi dan mendapatkan imbalan ratusan ribu rupiah?
Belum selesai kasus yang memalukan itu, kini muncul peristiwa kekerasaan minggu pagi, yang menimpa jemaat HKBP Pondok Timur, Ciketing, Bekasi, Jawa Barat. Seorang penatua gereja, ST Sihombing, ditusuk perutnya dan Pendeta Luspida Simanjuntak dipukul dengan balok kayu oleh sekelompok orang yang tak dikenal. baca
Khusus untuk kasus yang menimpa jemaat HKPB, bukan baru pertama kali terjadi. Namun, kasus ini selalu muncul dan bersamaan dengan peristiwa nasional lainnya. Dan sangat disayangkan, motif dan pelakunya tidak pernah jelas…!
Tapi celakanya, hanya beberapa jam setalah terjadi peristiwa yang masih misteri itu, sudah bermunculan ragam pernyataan yang spekulatif. Lebih memprihatinkan, ada upaya menjadikan kasus ini untuk mengais keuntungan secara politik.
Sebut saja, Rachland Nashidik, Sekretaris Departemen Pemajuan dan Perlindungan HAM DPP Partai Demokrat, menuding bahwa pelaku kekerasan terhadap jemaat HKPB adalah berasal dari kelompok anti pemerintah.
“Secara politik, keadaan itu juga menjadi peluang terbuka untuk dimanfaatkan pihak-pihak antipemerintah yang memiliki tujuan politiknya sendiri,” kata Rachland. baca
Wow, ada jutaan rakyat di negeri ini yang sangat anti kepada (kebijakan) pemerintah yang dianggap menyimpang. Termasuk saya pribadi adalah pihak yang mengambil jalan oposasi terhadap rezim SBY.
Dari realitas itu, bagaimana politisi Demokrat itu bisa menyimpulkan bahwa pelakukanya adalah kelompok yang anti pemerintah. Padahal kasus tersebut sedang dalam penyelidikan aparat keamanan…?
Pernyataan Rachland Nashidik ini tentu tidak asal bicara. Apalagi didukung oleh pemberitaan Kompas online. Salah satu media yang selama ini dianggap hati-hati dalam menyajikan informasi kepada rakyat.
Namun, opini yang menyesatkan itu telah bergulir ke ruang publik. Walaupun judul dan isi beritanya terkesan tendensius dan asal-asalan. Sebagai mantan wartawan, saya menduga ada kerjasama yang tidak wajar antar media dan politisi dari Parpol berkuasa tersebut.
Misal, pada judulnya, kompas menegaskan, “Musuh Kebebasan Beragama Nyata”. Namun, setelah mencermati isinya, dikaburkan oleh pernyataan sebagai berikut:
“Dikatakannya, mereka ada bukan saja di kamp yang tersembunyi, memanfaatkan kebebasan demokratik dalam demonstrasi di jalanan, namun juga tampil terbuka di dalam kabinet. Manifestasi pendirian mereka, dalam bentuk kebijakan politik maupun kekerasan kriminal, sama-sama menimbulkan kecemasan dalam perasaan umum. Di dalam dirinya, itu semua adalah ancaman terhadap integritas kebangsaan serta fundamen negara republik…” HL kompas online
Tentu, efek dari pemberitaan ini jelas akan bermuara kepada tudingan bahwa pelaku kekerasaan berlatar SARA adalah dilakukan oleh kelompok anti pemerintah. Dan lucunya, kelompok dimaksud juga memiliki hubungan dengan oknum yang ada dalam anggota kabinet SBY.
Membaca pemberitaan itu, saya terheran-heran. Bagaimana bisa wartawan Kompas begitu heroik menyalurkan sebuah pendapat dari seorang politsi Demokrat tanpa pertimbangan yang matang?
Beginikah cara kerja media massa untuk membangun opini secara tidak sehat dengan tujuan mendiskriditkan kelompok tertentu yang bersebrangan dengan penguasa?
Melalui kesempatan ini, saya tegaskan, upaya-upaya untuk menunggangi kasus kekerasan yang memiliki efek sentimen keagamanan adalah tindakan busuk. Perilaku ini harus disikapi secara tegas oleh seluruh elemen bangsa.
Kita harus bersatu untuk melawan segala bentuk menipulasi atas nama berita dan informasi yang bertujuan membodohi rakyat. Karena, dari perilaku oknum media yang menyesatkan itu jika dibiarkan, maka dapat berpotensi menciptakan disharmoni antar umat beragama di negeri ini.
Toleransi antar umat beragama merupakan keniscayaan dan menjadi rujukan mutlak bagi seluruh elemen bangsa yang cinta kasih dan kemanusiaan secara tulus dan tanpa pamrih.
Kecuali rezim korup, sangat diragukan memiliki nurani untuk menjaga dan merajut kebersamaan antar umat beragama…!
Salam Faizal Assegaf Jkt, 13 September 2010
Artikel sebelumnya: