Sepucuk surat pengangkatan sebagai repoter sampai ke tangan saya. “Kamu di terima, besok mulai bekerja…,” ungkap Mus Latuconsina, sambil mengajak saya untuk menghabiskan malam di sebuah kedai kopi yang berada di pantai Mardika, Ambon.
Pemandangan di teluk itu tampak begitu indah. Cahaya bulan jatuh menyinari gelombang yang bergulung menampar karang. Ratusan kapal penangkap ikan berjejer dengan lampu warna-warni menghias malam. Pikiran saya terbuang jauh melintasi pulau di seberang sana. Seolah memberi harapan tentang kehidupan yang hendak digapai.
“Jangan lupa, 5W 1H…!”
“Tenang saja kawan, itu sebuah prinsip yang mulai tertanam dibenak saya,” ucapku enteng, lalu meninggalkan kedai kopi, tepat saat azan subuh tiba.
Dua hari kemudian saya diberi id card berlogo pers. Inilah sebuah awal yang sangat menantang. Memasuki sebuah dunia yang bergelut dalam perburuan informasi dan apa saja yang dianggap layak untuk diberitakan. Tapi jangan lupa, setiap penulisan berita aktual, harus merujuk pada prinsip 5W 1H. itu selalu menjadi penuntun dasar bagi wartawan.
Tapi seiring dengan waktu, saya menemukan pegangan dasar bagi wartawan tersebut termanipulasi. Kabur…! Apalagi sebuah informasi terkait dengan kepentingan penguasa, orang-orang kuat dan pemodal media…
Walhasil, kenyataan itu terkadang menyebabkan huruf “H” (how-bagaimana) acap kali disesuaikan dengan kehendak dan kepentingan si redaktur, Pemred dan pemilik modal. Dan ironinya, sebagai reporter yang hanya berperan selaku pencari/peliput berita, terpaksa menelan ludah dan terposisi dalam situasi yang kecewa.
Sebab, apa yang kita lihat, dengar dan rasakan, tersensor dalam alur pikir dan kepentingan mereka yang memiliki otoritas dalam struktur redaksi. Hasilnya, “mencuri” uang negara oleh media dibilang “korupsi”.
Bahasa yang diperhalus dengan alasan untuk menjaga etika dalam komunikasi publik. Tapi kalau rakyat kecil “mencuri ayam” tidak ada satu pun media massa yang menyebutnya “korupsi ayam”.
Dari situ saya mulai belajar tentang kecanggihan bahasa jurnalistik yang lahir dari gabungan “satra jahat” dan “tafsir kebenaran” yang berkembang dalam dinamika redaksi media massa komersial.
Kedua elemen ini telah berhasil membentuk struktur pemirsa, pembaca, pendengar dan peselancar di dunia online, kehilangan pijak komunikasi publik secara jujur dan sehat.
bersambung…
Salam, Faizal Assegaf Jkt, 28 Agustus 2010
c a t a t a n:Artikel ini saya tulis untuk sahabatku: Nevi Hetharia yang saat ini bekerja sebagai Redpel di koran Sindo Jakarta, Rudi Fofit seorang jurnalis katolik yang gigih, Nona Sin, Ferry Attamimi, Arsi Divinubun, Mus Latuconsina yang menetap di Pulau Buru sana, Ahmad Ibrahim dan kawan2 mantan wartawan serta karyawan Suara Maluku—yang entah sekarang di mana?
artikel sebelumnya:
BONUS:
|>> Mengapa Paduka terkesan kurang serius merespon isu adanya ratusan warga kita yg akan dihukum mati negara tetangga?. Raja Cikeas mnjawab, ''bukankah itu bgian dari program upaya pengentasan kmiskinan dan pngadalian penduduk, sebagamana proyek penggunaan tabung gas yang tidak standar itu?!''.