Keputusan untuk melakukan perjalanan seorang diri ke Jabal (Gunung) Musa - Sinai kutentukan dalam tempo yang cukup singkat. Sebenarnya rencana untuk mendaki ke sana sudah terpikirkan jauh hari sebelumnya. Bahkan menjadi sebuah keinginan selama bertahun-tahun sejak menginjakkan kaki di bumi Musa ini. Ceritanya terjadi beberapa tahun yang lalu, tapi semoga belum jadi cerita basi. :)
Perjalanan Pertama
Sedikit cerita mundur. Waktu itu tanggal 23 April 2004, aku dan tiga orang teman nekat jadi backpacker ke Sinai. Acara backpacking dadakan itu disebabkan keterlambatan kami mengikuti rombongan wisata (kalau diingat-ingat menggenaskan sekali kondisi kami waktu itu ketika setelah bersemangat tinggi mengikuti wisata lalu tiba-tiba kecewa berat karena tertinggal rombongan hehe… silahkan dibayangkan sendiri). Mau kembali sudah kepalang tanggung, malu dengan kawan-kawan di rumah-yang malam sebelumnya tahu kami bersiap untuk berwisata. Dengan bekal pas-pasan dan kenekatan akhirnya kami memutuskan untuk menjadi backpacker ke semenanjung bagian timur Mesir itu.
Setelah tanya sana-sini dengan bahasa Arab yang masih terbatas, sampailah kami di Mahattah Dauliyah Abbasiyah atau Terminal Internasional Abbasiyah. Terminal ini adalah salah satu terminal keluar-masuk bis-bis antar kota dan antar negara di Kairo.
Keinginan kami adalah mendaki Jabal Musa di Sinai Selatan. Waktu itu status kami masih mahasiswa yang baru beberapa bulan di Mesir, masih baru. Ketika membeli tiket dan ditanya tujuan perjalanan, kami sempat bertukar pandangan. Kemana? Tak ada satupun yang tahu pasti. Akhirnya dengan segenap rasa percaya diri, kami sebutkan sebuah nama tempat yang kami yakin berada di semenanjung Sinai. Tempat itu juga disebutkan dalam al-Qur’an, Thursina. Dari sini sebuah perjalanan yang tak terlupakan sepanjang hayat –insya Allah- dimulai.
Setelah membayar tiket seharga masing-masing LE 35 (Tiga puluh lima Egyptian Pounds atau waktu itu setara sekitar Rp 50.000,-) kami ditunjukkan oleh penjaga loket bahwa bis yang akan kami tumpangi segera berangkat. Tampak sebuah bis bertuliskan East Delta yang sudah hampir penuh dengan penumpang. Mesinnya sudah menyala dan hampir saja kami terlambat. Fuihhh....
Setelah sekitar 4-5 jam dalam perjalanan, bis berhenti di sebuah kota kecil. Sopir bis memberi tahu bahwa kami telah sampai tujuan, Thursina. Turun dari kendaraan, kami menuju sebuah terminal. Setelah bertanya tentang maksud dan tujuan kami pada orang-orang di sana, sadarlah kami bahwa kami telah KESASAR!
Seharusnya sejak di Kairo kami harus memesan tiket bis menuju St. Katherine untuk mendaki Jabal Musa, bukan ke Thursina. Untuk melanjutkan perjalanan ke St. Katherine cukup sulit karena uang kami terbatas. Mungkin hanya cukup untuk beli makanan dan beli tiket balik ke Kairo. Begitulah resiko backpacker nekat dan tanpa persiapan berarti. Tidak disarankan bagi siapapun untuk melakukan seperti yang kami lakukan. Kecuali bisa mengakhirinya seperti apa yang kami lakukan; menerima ketersesatan itu dengan lapang dada.
Ternyata kesasar pun tidak seseram yang kami bayangkan seperti ketika pertama kali tahu bahwa kami tersesat. Kekecewaan kami terobati ketika kami menemukan sebuah pantai lokal yang eksotis dan indah di Thursina. Sebuah teluk di Laut Merah yang tenang. Tak ada ombak besar, hanya riak dan gelombang air laut tertiup angin. Akhirnya kami menghabiskan senja yang indah di sana sebelum malamnya kembali ke Kairo, membawa kenangan tak terlupakan.
Perjalanan Kedua
Tahun 2005, aku ikut rombongan wisata yang hendak mendaki Jabal Musa. Selain mendaki gunung, rombongan juga menuju pantai Syarm el-Syeikh. Untuk yang kedua kalinya, aku belum berhasil untuk napak tilas perjalanan Nabi Musa di pegunungan Sinai.
Di tengah jalan bis mogok, mesinnya “ngambek”. Kami harus menunggu bis pengganti dari Kairo sampai 3 jam lebih di Ras Sidr, tempat kami berhenti. Diputuskan ke pantai dulu baru nanti sorenya ke St. Katherine.
Perjalanan kami terhenti di tengah jalan menuju St. Katherine. Semua kendaraan dilarang melanjutkan perjalanan. Jalan menuju St. Katherine sedang diperbaiki, kendaraan apapun dilarang masuk pada malam hari. Pihak travel menawarkan untuk menambah perjalanan hingga esok hari. Tapi kebanyakan peserta tour dan panitia menolak. Akhirnya kami kembali ke Kairo. Padahal aku sudah ingin sekali mendaki ke sana.
Alhamdulillah, Allah lalu mengganti penantian selama bertahun-tahun itu dengan pengalaman luar biasa yang mungkin tidak banyak orang merasakannya.
Perjalanan Ketiga
Sebulan sebelum melakukan perjalanan, aku dan dua orang kawan sudah berencana akan mendaki Jabal Musa. Menjadi backpacker, berangkat tanpa ikut rombongan wisata. Kawanku sempat memberi saran agar ikut rombongan wisata saja. Lebih murah dan lebih mudah. Tapi bagiku, menjadi backpacker adalah saatnya belajar lebih banyak. Lebih dekat dengan alam, masyarakat dan lingkungan.
Backpackerbagiku adalah seorang yang melakukan perjalanan dengan bekal pas-pasan namun mendapat pengalaman yang segudang. Bagaimana mengatur dan memutuskan untuk menggunakan bekal itu sebaik-baiknya. Seru sekaligus menegangkan. Dari situ aku banyak belajar, bertanya dan menikmati petualangan.
Kali ini aku menjadi seorang backpacker nekad – bukan nekat-. Kalau nekad itu dengan penuh tekad, artinya dengan keberanian menghadapi berbagai resiko namun berusaha mengurangi kemungkinan resiko itu dengan perencanaan yang cukup. Kalau nekat itu seperti bonek, tanpa persiapan yang berarti, asal berangkat. Namun pengertian dalam paragraf ini mungkin tidak akan Anda dapati di kamus, karena memang karanganku sendiri.
Dua hari sebelum keberangkatan, kedua kawanku tadi tidak jadi ikut ide backpacking yang aku tawarkan karena beberapa hal. (Sst...sebenarnya mereka agak ngeri dengan ideku untuk backpacking ke Sinai, apalagi mereka pernah aku ceritakan tentang perjalanan pertama yang kesasar itu hehe..) Dengan mundurnya 2 orang anggota tim itu, aku harus merencanakan ulang keberangkatan.
Aku berpikir jika harus mundur lagi, mungkin kesempatan tidak akan datang lagi. Minggu depan adalah hari-hari kembali pada rutinitas yang cukup padat. Dan yang terpenting mumpung bekal yang ada masih memungkinkan untuk berangkat. Namanya juga backpacker, kalau bekal banyak namanya turis!
5 Juli 2009
Malam, aku berusaha mencari teman barangkali ada yang mau menyertaiku. Sejak awal aku bertekad jika memang tidak ada teman, sendiri pun jadi. Namun malam itu muncul keraguan. Apakah akan berangkat sendiri? Ditambah situasi keamanan yang lumayan “seram”.
Beberapa hari sebelumnya ada kejadian salah tangkap empat mahasiswa Indonesia oleh Polisi Mesir, yang menjadi berita nasional di Indonesia. Dua orang yang disiksa Polisi Mesir itu adalah teman baik dan satu angkatan denganku. Semoga mereka selalu diberikan kesabaran.
Sampai ketiduran karena malam semakin larut, belum ada keputusan. Persiapan khusus untuk perjalanan pun belum kulakukan.
6 Juli 2009
Setalah Sholat Subuh aku mantapkan niat untuk berangkat sendiri. Saat itu juga aku melakukan persiapan untuk backpacking. Jaket, pakaian ganti, handuk kecil, bolpoin, buku tulis dan peralatan survival sesuai saran Martyn Forrester dalam bukunya yang juga masuk tas punggungku: Survival, a complete guide to staying alive. Ia menyarankan untuk membawa plester luka, perban gulung, lilin, pemantik api, kacamata hitam, pisau/cutter, gunting, tisu steril, lampu senter, obat-obatan, peluit, dll. Dari daftar itu yang ada di rumah hanya plester luka, perban gulung, kacamata hitam dan beberapa obat-obatan, hehe.. lengkap sudah penderitaan. Aku putuskan untuk mencari barang-barang itu di perjalanan sekaligus membeli logistik (makanan dan minuman).
Keluar dari rumah, tujuan pertamaku adalah Ragab Sons di bilangan Hay Tsamin, dekat rumah. Supermarket serba ada itu tampaknya cukup representatif untuk memenuhi beberapa keperluanku. Walaupun akhirnya tidak semuanya ada di sana.
Tujuan kedua adalah rumah seorang kawan yang mempunyai kamera foto. Maksudnya mau pinjam kamera karena backpacker satu ini tidak –eh belum- punya kamera sendiri. Sebelumnya ia sudah kutelpon untuk memberi tahu bahwa aku mau pinjam kamera. Kebetulan aku telah persiapkan baterei cadangan cukup banyak termasuk yang bisa diisi ulang. Namun setelah sampai di sana, ternyata kameranya rusak.
Ingin berusaha cari yang lain sudah tak ada waktu lagi. Kuputuskan berangkat tanpa kamera. Agak sayang memang. Tapi tak apalah. Kalau mau mundur berangkat karena tak ada kamera, cukup sulit. Dalam hati aku merasa bahwa kesempatannya adalah hari ini, atau harus menunggu beberpa lama lagi.
Di saat seperti itu, Opick, seorang kawan yang berkecimpung di dunia travel menelepon. Ia bertanya sesuatu padaku. Kesempatan bagus untuk bertanya tentang transportasi ke St. Katherine. Pengalaman tahun 2004 lalu sudah cukup lama untuk diingat detailnya. Inilah jawaban Opick,”Pergi saja ke Mahattah (Halte) Turgoman di Ramses, ada bis yang berangkat pukul 11.00, tiap hari hanya ada satu kali perjalanan ke St. Katherine, untuk balik dari St. Katherine ke Kairo juga sekali sehari pukul 6 pagi.” Aku lihat jam tangan, sudah pukul 11.00 lebih. Ya, aku terlambat…
Aku sempat ingin mencoba berangkat hari itu juga. Barangkali ada rute yang tak langsung ke St. Katherine. Ku urungkan. Pulang? Dengan persiapan dalam ransel seberat sekitar 10 kg di punggung? Bagiku pantang pulang sebelum berjuang, he..he…
Keputusanku untuk hari itu adalah pergi ke rumah kawan di Bab el-Sha’riya, lebih dekat dengan Terminal Ramses. Sam, nama kawanku itu. Ia tinggal dengan 2 orang kawan lainnya di Bab el-Sha’riya, sebuah kawasan yang padat penduduk namun eksotis, terasa sekali kehidupan rakyat bawah masyarakat Mesir. Orang Indonesia jarang yang tinggal di sana.
Sam juga suka backpacking. Namun ia menolak ketika ku ajak mendaki Jabal Musa. Kapok, katanya. Ia pernah mendaki ke sana. Ketika mendaki terasa biasa saja karena malam hari. Namun ketika turun gunung ia merasa enggan. Ternyata ia terjangkit altophobia, sindrom takut ketinggian. Walaupun tampaknya tidak parah.
Malam itu aku menginap di rumah Sam agar esoknya lebih mudah mengejar kendaraan. Di sana aku malah ada waktu menambah logistik dan “alutsista”; 3 biji telur ayam (direbus di rumah Sam), sekaleng sarden tuna, 2 bungkus Indomie, obat sakit perut, sebungkus permen coklat, peluit, travel mug dan tambahan lampu senter kinetik buat persiapan jika kehabisan baterei cadangan.