Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Dalam Lingkaran Hitam, Pejuang Kuli Tinta

31 Agustus 2019   08:28 Diperbarui: 31 Agustus 2019   08:33 52 5
Pupus sudah harapan Fatima melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Hal itu dilakukan karena faktor keuangan membatasinya. Dia relah melakukan itu hanya untuk membiayahi dua orang adiknya agar bisa bertahan hidup dan bisa bersekolah. Baginya senyum adik-adiknya adalah harapan dan kebahagiaan tak terhingga dalam dirinya.

Fatima anak sulung, dia hidup bersama dua adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka tinggal di sebuah gubuk reot letaknya ditepi sungai be tuti.

Mereka hidup sendiri. Orang tua mereka meninggal tiga tahun silam dalam sebuah kecelakaan. Saat itu Fatima masih duduk dibangku kelas dua SMA. Adiknya Irma masih dibangku kelas satu SMP, sementara Aisyah masih dikelas empat SD.

Sejak orang tua mereka meninggal, Fatima yang mengantikan peran ayah dan ibu menghidupi adik-adiknya. Berat rasanya hidup tanpa orang tua. Menghidupi dua adiknya, mulai dari makan dan minum, belum lagi biaya sekolahnya dan kedua adiknya yang mahal.

Pernah satu waktu, dia frustasi dan hampir putus asa tak mau melanjutkan sekolahnya, saat itu dia duduk dibangku kelas tiga. Tahun itu adalah tahun kesedihannya. Tidak ada uang sepeserpun untuk makan minum, belum lagi sekolah meminta harus melunasi biaya pendidikan dan kedua adiknya.

Hari itu dia berfikir keras, tidak ada pekerjaan yang dia lakukan. Dia merasa Tuhan juga tak lagi mendengarkan do'a yang telah dia panjatkan, dia marah kepada Tuhan. Melihat kondisi yang mendesak, ia kemudian memutuskan untuk melacur. Menjual jasa tubuhnya pada pria hidung belang.

Fatima kemudian teringat dengan beberapa teman yang berprofesi sebagai pelacur, dan uang dengan cepat mereka dapati. Cukup melayani beberapa orang saja bisa memenuhi kebutuhan mereka. Dia semakin mantap, tanpa pikir panjang, dia datangi mereka dan mencurahkan seluruhnya untuk menjadi pelacur seperti mereka.

"Aku tak melarangmu untuk jadi seperti kami. Tapi ada baiknya kalau kau pikir-pikir dulu, sebab jadi seperti kami sagatlah fatal akibatnya" ucap Wati

"Iya Fat, menjadi seperti kami bukan hal yang mudah. Apalagi perempuan sepertimu yang taat dalam beragaman. Kamu jangan masuk dalam perangkap ini" kata Nurul.

Fatima tak berpikir panjang lagi rupanya dia telah mantap"saya siap melakukan ini asalkan adik-adikku bisa makan dan bisa melanjutkan sekolah mereka" ucapnya

Fatima murid cerdas, dia punya cita-cita yang tinggi. Sekolah seakan menjadi ruh dalam hidupnya, dia lebih baik tak makan asalkan dia dan adiknya bisa bersekolah.

Sejujurnya, Waty sangat kecewa akan keputusan yang di buat oleh Fatima, namun apa la daya. "Jika demikian, maka sebentar malam tepat pukul 23:00 wit, kau datang kesini." kata waty

"Iya sebentar malam saya akan ke sini" Fatima mengauk pelan.
______
Waty dan Nurul suda bersiap-siap. Fatima datang tepat pukul 23:00 wit.

"Rupanya kau tepat waktu juga Fatima" tukas Hasty. Fatima tersenyum datar.

"Apa kau suda siap Fatima" tanya Waty

"Iya aku sudah siap"

"Baiklah, sebentar lagi Dhote ke sini jemput kita. Periksa barang bawaan kalian kita akan ke sana beberapa saat lagi" ucap Waty.

Selang beberapa waktu, terdengar bunyi klakson di depan rumah.

"Nah, ayo kita jalan Dhote suda di luar" seru Nurul.

Mobil yang membawa bergerak dari selatan menuju utara, melaju melewati keramaian, kemudian di pusat kota. Dan berapa saat mobil berhenti tepat di sebuah rumah. Rumah tempat mereka melayani para pria hidung belang.

Setelah turun dari mobil, mereka bergerak cepat menuju ke dalam rumah itu. Di rumah itu, banyak juga perempuan lain selain mereka. Sudah banyak laki-laki yang datang tawar menawar harga. Fatima terlihat masih cangguh, dia memilih duduk di kursi dekat pintu masuk. Nurul dan Waty juga telah hilang dari pandangan Fatima.

"Neng, Rp 500.000 mau ngak main sama abang" tanya si pria kurus berkulit sawo matang.

Fatima masih berpikir panjang, batinya bergejolak antara iya dan tidak. "Yang lain dulu pak" jawabnya formal

Mendengar ucapanya, pria itu berlalu meninggalkannya.

Masih ditempat yang sama, beberapa saat kemudian, seorang pria bertubuh langsing dan berambut gondrong bergerak menghampiri Fatima. Tak seperti pria sebelumnya yang datang langsung menawarkan harga. Pria tersebut menyapa Fatima dengan seyum tulus di wajahnya.

"Sendirian neng? Boleh gabung?" Tanya pria itu sopan.

"Oh iya mas" Fatima mempersilahkan pria itu duduk di sampingnya.

"Nama saya Akbar, neng siapa? Seraya menjulurkan tangan sebagai tanya perkenalan.

Dengan senyum kecil, Fatima menjulurkan tanganya menyalami. "Saya Fatima"

"Sudah lama yah kerja disini? Biasanya berapa mbak jasa pelayanannya? Tanya Akbar.

"Baru malam ini, saya tidak tau. Saya dari tadi belum melayani pria" jawab Fatima.

"Berarti baru yah?" Tanyanya lagi

"Iya".

Mereka melanjutkan obrolan mereka. Mulai dari perihal Fatima, perihal ia sampai rela kerja seperti ini. Akbar sendiri adalah seorang Redaktur media, dia datang ke tempat itu bukan memuaskan nafsu, melainkan ingin mewawancarai para perempuan-perempuat itu dan nanti mau di kemas menjadi sebuah tulisan.

"Tapi kenapa kau harus korbankan dirimu seperti ini. Kan masih banyak cara lain di luar sana" ucap Akbar setelah mendengarkan cerita Fatima.

"Iya, saya menyesali keputusan yang telah saya buat. Beruntung saya belum menjajalkan tubuh saya kepada para pria itu." Tuturnya menyesal dengan bola mata yang berkaca-kaca.

Merasa iba, dan untuk merawat cita-cita Fatima, Akbar langsung memberikan dia pekerjaan sebagai penjejal koran. Harapannya cuman satu, agar Fatima bisa melanjutkan pendidkan dan mampuh memenuhi kebutuhan adik-adiknya.

"Iya, kau kembali ke rumahmu. Belajar dan didik adik-adikmu. Kau terlalu polos, ini bukan duniamu. Sungguh terlalu kejam"

"Iya, semoga ini tidak akan aku ulangi lagi. Terima kasih atas pekerjaan yang telah diberikan" sembari bersujud syukur.

Sejak saat itu, dunia hitam yang hampir di masukinya dia kubur dalam-dalam. Dia fokus pada pekerjaan yang telah di berikan oleh Akbar. Sebelum ke sekolah dia mengantarkan pesanan koran di kantor-kantor. Dari situ, dia dan adik-adiknya dapat bertahan hidup dan mampu melanjutkan pendidikan mereka.

Waktu terus berjalan, Fatima sudah menyelesaikan studinya di SMA. Saat itu, teman-temanya berlombah masuk ke perguruan tinggi ternama, namun tidak baginya. Dia memilih bekerja sebagai penjejal koran untuk menghidupi adiknya.

"Kak, apa tidak sebaiknya kak melanjutkan study kaka? Tanya Irmha satu waktu.

Dengan senyum dan santai dia berkata pada adiknya. "Dik, untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi dibutuhkan biaya besar, kaka akan tetap menjadi seperti ini asalakan kalian bisa sekolah dan sukses di masa mendatang, sebab tawa kalian adalah bahagianya kaka".

Mendengar pernyataan itu, air mata tumpah dari pelupuk mata Irmha. Dia tak kuasa menahan haru atas jiwa besar kakanya yang rela mengubur mimpinya demi dirinya dan adiknya Aisyah.

"Aku berjanji, aku akan belajar lebih giat agar suatu saat nanti bisa sukses dan bisa membuat kakak tersenyum juga ibu dan ayah bahagia melihat kita dari alam sana"

"Aamiin"

Selama bekerja sebagai penjejal koran, Fatima rutin membaca dan menulis. Dia juga banyak menulis, karya tulisnya banyak menuai pujian oleh pembaca. Fatima kemudian diangkat sebagai Wartawan tetap. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun