1976, hari bahagia sepasang kekasih, Gali dan Sarti, ia menikah secara terpaksa, lantaran Sarti hamil diluar nikah. Namun tabir gelap ini tak seoarang pun tahu, mereka hanya tahu sarti kepelet jaran goyang milik gali. Bulan-bulan menjadi omongan tetangga, sebab sarti yang dikenal sebagai wanita baik-baik saja tetapi mau menikah dengan berandalan jalanan yang sangat garang. Tiga hari-tiga malam kuping gali dan sarti tak pernah berhenti mendengar umpatan-umpatan, dan pandangnya tak pernah libur dari tatapan sinis orang-orang sekiratnya, paska pernikan itu.
"Mau saja sarti nikah dengan pria tak punya masa depan." Ujar para tetangga.
"Sudah dek tak usah didengarkan, syukur mereka tak tahu pekerjaanmu yang menyebabkan hal ini terjadi." Ucap gali diatas motor RX-KINGnya yang khas.
"Iya mas, semoga kita mati dalam tenang nanti, biar mereka mati dalam penasaran yang tak bersudahan."
Mereka tak tahu bahwa sarti adalah pelacur ulung di WTS kelas teri. Sudah lima belas tahun sarti meyelami kehidupan malam yang haram, sejak ia di PHK dari tempat kerjanya, bertahun-tahun menjadi pengangguran, menjadi bahan cemoohan para tentangganya: "Ibumu akan mati, cepat cari uang, sebab obat tak bisa dibeli dengan daun." Ayahnya telah lama mati ditembak polisi atas dalih keamanan negara. Tak mau ibunya menelan nasib yang sama akhirnya sarti memutuskan untuk bekerja sebagai penjinak nafsu birahi secara terpaksa.
Dan mas gali adalah pria sejati yang sering keluar masuk bui, kerjaanya hanya judi, mabok, merampok, malak. Dan sekujur badannya penuh dengan rajah, dilengannya ada gambar jangkar, dan didadanya ada tulisan tak terbaca. Warga sekitar mengenalnya sebagai preman sejuta keberanian, tak seorang pun wani kepada gali. konon katanya ia punya ilmu rawa rontek, kebal bacok. Â Pernah sesekali waktu ia jadi bahan tontonan masyarakat sekitarnya, lantaran ditembaki polisi atas kasus pembegalan, namun tak tembus sama sekali ketubuhnya, kematian bagi gali adalah hal yang mustahil, peluru panas saja tak tembus apalagi pedang malaikat maut, anggapnya seperti digelitiki, dan akhirnya ia sendiri yang meyerahkan dirinya. Bila gali punya banyak duit dia hamburkan dalam peluk sarti.
Suatu malam yang tak akan pernah dilupakan mas gali kala ia lupa mengunakan alat kontrasepsi. Sarti was-was kala gali kalap dipucuk kenikmatannya:
"Mas, ko kamu gitu?" Dengan memasang wajah cemas.
"Aku kalap dek." Sekepal sesal dijidatnya.
"Pokoknya kamu harus tanggung jawab, apa kata tetanggaku nanti mas, mereka bisa tahu pekerjaanku yang hina ini."
"iya dek, aku adalah pria sejati."
Hal itulah yang membuat gali dan sarti nikah paksa, agar tetangganya tak saling curiga.
Lima tahun sudah gali berkeluarga dengan sarti dan anaknya yang baru berusia empat tahun. Sarti sudah berhenti dari pekerjaannya yang haram itu, dan ia hanya mengurus anak dan rumah saja. Sedang gali masih aktif mencari cuan untuk menghidupi kelurganya dengan cara serampangannya itu, anaknya hanya tahu gali sebagai jagoan pasar laksana super hero. Pagi pulang pagi sudah menjadi kebiasaan gali, mabok sampai pagi, masih menjadi bagian hidup gali, tak kunjung taubat walau istirnya berkali-kali menasehatinya:
"Mas, kamu ini sudah punya anak, ayolah cari pekerjaan yang halal agar kita bisa hidup lebih baik, gimana anakmu nanti? Ketika sudah besar mengetahui bahwa kau adalah premana pasar, masa saban hari begitu mulu."
"Dek, mana mungkin seorang yang sering keluar masuk bui, dipenuhi rajah, dan beberapa gambar ditubuh bisa mendapatkan pekerjaan yang layak? Apalagi kita dibawah rezim otoriter. Tak ada jalan lain agar kita tetap bisa hidup selain dengan cara preman."
Sarti hanya bisa menerima nasib yang telah menimpanya, sesal begitu kalut dengan apa yang dahulu pernah diperbuatnya. Benar karma itu ada, renung sarti. Kini ia hanya bisa menerima nasib yang telah dibuatnya, andai saja sarti dahulu menebar hal baik pasti hukum alam juga akan baik, namun gimana lagi. Sudah kadung terjadi. Â
*****
Sampai pada suatu pagi, gali melihat surat kabar bahwa preman-preman akan diberangus oleh pemerintah, seketika nyali gali ciut dan terpaksa lari sembunyi. 1980 tepatnya, gali kabur dari rumahnya, meninggalkan sepucuk surat pada istri dan anaknya:
"Kekasihku,
aku harus lari sembunyi dari kejaran polisi, selama waktu yang belum tentu, aku akan kembali sampai kabar ini mati ditelan bumi. Titip jarwo.
Maaf, gali."
Sarti pun menangis membaca kabar ini, ia hanya pasrah, beban pun kembali menimpanya harus menghidupi jarwo muda dan ibunya. Namun, ia tak kembali kepekerjaan yang dulu, ia lebih memilih bekerja sebagai karyawan salah satu pemilik kedai sayur dipasar. Sarti tak mau karma kembali menggentayanginya, sudah cukup ia hidup dalam ketakutan.
Gali kabur dari Jakarta ke semarang. Gali tak mau mati  Lantaran di Jakarta sudah banyak temannya yang hilang dan ditemukan mati dipinggir jalan terbungkus karung, disetiap karung pasti ada uang sebesar sepuluh ribu untuk upah warga yang menguburi jasad preman-preman itu. Walau gali punya ilmu kebal, tapi ia tahu bahwa pemerintah akan membunuhnya dengan segala cara agar mati.
Malam menjadi seram, gali tak berani keluar, uang pun tak ada, menahan lapar ditempat persembunyian. Hiburan malam tutup menciut. Mungkin malam-malam tahun ini menjadi bulan seribu darah bagi para preman, tak hanya preman-preman yang mati dar-der-dor. Orang-orang berambut gondrong dan yang memiliki tatto mati tanpa diadili. Setiap malam ada saja yang tergelepar dipinggir jalan. Mereka menjadi takut kala mobil jeep hitam melintas dihadapan matanya, mendengar suara mobilnya saja sudah kebirit ngumpat; diselokan, disemak belukar, dimana saja yang penting nyawanya aman. Peluru tak bertuan menjadi kejutan bagi mereka, berbalik keadaan kini petrus yang menguasai malam dan jalanan. Tak ada suara jangkrik lagi hanya suara senapan disetiap malam.
Pikir gali dengan ia kabur ke jawa tengah, hidupnya bisa damai sentosa, namun siapa sangka hal ini sama, semakin hari semakin gila darah, pembantaian dimana-mana, nyali gali tak ada apa-apanya. Ia terpaksa menyetrika tattonya dan lebih sering mengunakan baju-baju panjang untuk menutupi bekas dan rajahnya. Tak bisa diam terus dalam persembunyiannya, ia harus mencari uang agar tak mati kelamaparan. Â
Dipasar ia bekerja menjadi kuli, menggotong belanjaan orang-orang, walau upah tak seberapa, yang penting ia bisa makan. Tak ada yang mencurigakan dari gali, namun pikirannya masih takut, jantungnya berdebar cemas dengan kegentingan yang sedang terjadi. Berhari-hari gali jalani hidupnya yang penuh ketakutan, kewaspadaan mejadikannya tak fokus bekerja. Suatu waktu ia tak sengaja tergelincir dan jatuh ketika membawa belanjaan nenek tua, sebab matanya larak-lirik sana-sini sampai ia tak sadar bahwa tangga itu licin, gali dimarahi habis-habisan oleh sang pemilik belanjaan:
"Gimana si kamu, bawa belanjaan saja tak becus, liat belanjaanku jatuh berantakan, apa kamu sanggup menganti rugi?" Dengan urat nada yang tinggi.
Gali hanya bisa meminta maaf, dan alhasil tak diberi upah. Gali pulang dengan penuh kesedihan. Tak makan lagi malam ini, ucup gali dalam hati.
Ditempat persembunyian, gali yang malang meratapi nasibnya. Apa mungkin ini hukuman dari tuhan? Sebab perbuataanya yang dahulu ia perbuat, sama seperti istrinya ia memikirkan karma yang benar ada. Alam akan memberi hal setimpal dari apa yang telah ia tanam, gali menyesal telah menanam buah-buah busuk dilahan hidupnya. Dan ia harus menerima hasil panen yang telah ia tanam. Dua tahun sudah gali kabur dari rumahnya meninggalkan anak istri sendirian, rindunya pun menguak berbarengan denga air mata penyesalan. Semalaman ia memohon ampun pada tuhan, bertaubat dan pasrah bila harus mati ditangan pemerintah.
Semarang begitu gila bagi gali, sanggat keras, tak seperti di daerahnya dulu ia disegani, hidup sedikit sejahtera. 1984, gali menutuskan pulang ke jakarta, sebab sangat rindu dengan istri dan anaknya, dan ia pikir pula bahwa konflik ini telah sedikit reda, jadi sedikit merasa aman untuk pulang. Â
Selama diperjalanan pulang denga bis umum tak ada hal yang janggal, semua berjalan dengan lancar. Sore hari tepatnya gali sampai terminal jakarta, sangat terkejut ketika gali melihat tak ada pungli dan preman terminal, terlihat lebih bersih dari sebelumnya. Gali pikir mereka sudah pindah ke alam lain, menerima hukuman dineraka sana. Ia bergegas pulang, sebab rindunya sudah tak terbendung lagi, dijalanan pun sudah bersih tak ada preman yang petantantang-petententeng disana, Para pedagang kaki lima pun bisa menghembukan nafasnya dengan tenang tanpa perlu memberi iuran keamanan palsu dari para preman.
Gali terus berjalan dibawah terik matahri, langkahnya menjadi berat ketika mendekati komplek tempat tinggalnya, ia takut ada warga yang akan melapor kepada kepolisian, sebab selama gali kabur ia sangat dicari oleh polisi untuk dihukum mati, gali adalah biang ketidak nyamanan, selalu membuat onar dikempungnya, maka dari itu polisi begitu berhasrat memburu gali. Betul saja ketika ia sampai warga begitu sinis dan melontarkan kata-kata yang hina untuknya:
"Dasar anj***, bang***, pergi dari sini gila, woy ngapain balik kesini, dasar manusia hina, manusia tak berguna, lebih baik kau mati saja."
Tak sedikit pula yang melemparinya dengan batu dan kayu. Anak-anak kecil begitu ketakutan melihat gali tiba kembali. Gali babak belur, bonyok-bonyok terkena batu dan kayu, ia menangis dan menunduk terus berjalan kerumahnya.
Sesampainya gali dirumah, anaknya begitu malu sebab ia telah mengetahui bapaknya adalah seorang preman pasar.
"Jarwo, ini bapak sudah pulang!"
"Mending bapak pergi, mana sudi aku punya bapak sepertimu." Lalu ia berpaling dan membating pintu rumah, BRAAKKK.
Tak lama kemudian sarti datang dan membukakan pintu rumahnya dan memeluk gali:
"Mas, ayo masuk."
Gali pun masuk dengan penuh ketidak kuasaan, kemudian ia duduk dimeja jamu, istrinya memberikan segalas air hangat:
"Aduh mas, kenapa kamu harus pulang, sebetulnya ini belum aman, walau sudah sedikit redup, gimana jadinya bila mereka melapor?"
"Mas sudah pasrah dengan apa yang akan menimpa, bila aku mati tolong jaga jarwo, agar tak sepertiku."
"Jangan bilang gitu mas, rinduku baru saja kelar, masa harus diperpanjang dengan kamatian."
"Syukur-syukur aku pulang dek, kalo aku mati disanah, rindumu sangat panjang dan lebar, untung aku selamat dan masih bisa pulang, setidaknya kau bisa menarik nafas terlib dahulu, ketimbang tiada lega sama sekali."
"Yasudah, aku sudah dapat pekerjaan yang layak, Mas lebih baik jangan keluar rumah dulu, biar aku saja yang mencari cuan sampai semua aman."
"Iya ti!, mana ibu?"
"Ibu sudah meninggal setahun setelah mas kabur."
Gali meneteskan airmata sebab sangat merasa bersalah.
Â
*****
Berbulan-bulan gali hanya didalam rumah, hubungan anatara gali dan anaknya sangat renggang. Anaknya sama sekali tak mau berbicara dengan gali, namun gali tetap mencari cara agar hati anaknya bisa terambil.
Suatu malam diperjamuan malam, istirinya telah membuat makan malam yang sedap, semua pun kumpul, sembari diiringi lagu dari tip radio jadul. Sartipun membujuk jarwo agar bisa memaafkan bapaknya, dan gali pun begitu membuka percakapan kepada jarwo, namun ia tetap diam tak berkata-kata, sartipun memberi nasihat untuk jarwo:
"Wo, begitu juga itu bapakmu, tak boleh begitu, untung bapak pulang, ada dihadapanmu, coba bayangkan bila bapak tak pulang kamu akan menyesal seumur hidup."
Jarwo pun tetap diam, dan kemudian pergi begitu saja menuju kamarnya.
Tak selang lama setelah selsai makan sarti dan gali pun berbincang dimeja makan, tiba-tiba terdengar sayup-sayup dari luar rumahnya:
"Gali...., keluar. Dalam hitungan ketiga kalo tak keluar gw bakar rumahmu berserta anak istrimu.
Satu....
Dua.......
Tiga..............."
Secepat yang gali bisa ia bergegas keluar, sarti panik dan mendampingi gali, namun gali mengelak:
"Sudah tak usah, biar aku saja, sana temani jarwo dikamarnya."
"Tapi aku takut mas kenapa-napa?"
"Tenang, mas akan baik-baik saja."
Sarti terdiam, gali langsung membuka pintu dan keluar.
Polisi telah menjemputnya, para warga berkerumun menyaksikan penangkapan gali. Gali kemudian melirik kedalam rumahnya ternyata sarti dan jarwo melihatnya. Lalu gali langsung diangkut kedalam mobil polisi, seluruh warga menyorakinya: mampus kau gali, makan tuh. Saut seluruh warga. Didalam mobil polisi gali disiksa, dipukuli, ditembak dibagian kaki-tangan-dan paha, matanya dijongkel sebelah. Mereka berkata:
"Inilah hukuman yang setimpal untukmu."
Dor dikepala dan gali tak pernah terlihat kembali.