Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Ikhtiar merajut Inklusi Sosial( Social Inclusion) Di Tengah Trauma Pasca Konflik Sunni Syiah

9 Mei 2015   08:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:14 113 0

Dampak lainnya, peristiwa konflik yang pernah terjadi rupanya juga menyisakan trauma yang cukup mendalam bagi masyarakat. Trauma akan munculnya kembali biang-biang kerusuhan yang sangat dirasa sangat mengganngu ketenangan dan ketentraman hidup di dusun. Sebab, kurang lebih selama 8 tahun sejak tahun 2004 sampai dengan 2012 masyarakat seringkali dihadapkan pada kegaduhan-kegaduhan. Selama 8 tahun, setiap harinya hampir bisa dipastikan muncul gesekan demi gesekan antara kelompok masyoritas dengan kelompok pengikut Syiah yang dinilai sangat mengganggu ketenangan.

Kondisi trauma ini tambah diperparah sesaat setelah kejadian kerusuhan, amukan aparat keamanan (brimob) kepada warga mayoritas masih sangat berbekas. Sesaat setelah kerusuhan, suasana dusun menjelma bak medan perang. Raungan knalpot puluhan sepeda motor brimob terdengar seperti auaman macan yang siap menerkam . Penggeledahan yang dilakukan secara kasar dari rumah ke rumah membuat banyak laki-laki kepala rumah tangga dipaksa lari ketakutan ke luar rumah dan bersembunyi di pematang sawah, rimbunan semak dan  selokan selama 2-3 hari. Hal ini terungkap dari cerita salah satu warga ,Ustad Bahrawi,54 Tahun,  seorang tokoh agama setempat yang menjadi saksi hidup amukan aparat keamanan. Dalam bahasa dan logat Madura yang kental, beliau bercerita betapa kondisi saat itu sungguh teramat mencekam.

“ E bektoh panekah abdinah gumigil takok, abdinah padeh bik selaennah buruh ngerrem e alas disah tambek, polanah brimob-brimob ngamok dek kalah, labengah compo’ e terjang, lomari e pagegger,marenah nekah e luar monyinah sapedah motor se aweng gruweng nako’eh, pokok en enga’ kabede’en perrang

( Terjemahan Bahasa Indonesia : Saat itu, saya sangat gemigil ketakutan, saya dan yang lainnya lari dari rumah, bersembunyi di hutan desa Tambak, sebab brimob-brimon ngamuk secara mendadak, pintu rumah di terjang-terjang, lemari di rumah di jatuhkan, sesudah itu saya mendengar bunyi sepeda motor yang meraung-raung, pokoknya seperti keadaan perang)

Rupanya trauma terhadap berbagai peristiwa-peristiwa yang menyertai rangkaian konflik dari awal inilah yang kemudian menyebabkan kondisi psikologis masyarakat berubah bersikap “paranoid” dan “posesif” terhadap kelompok Syiah.  Masyarakat sangat ketakutan ketika mendengar akan hadirnya kembali kelompok syiah ini di dusun mereka. Dalam waktu yang cukup lama , kondisi masyarakat berada dalam sebuah zona perang dingin. Sikap saling curiga, saling membenci serta saling memusuhi dari sebagian besar masyarakat juga tertuju pada  kelompok masyarakat syiah yang kebetulan tidak ikut mengungsi dan masih tinggal di dusun.  Kelompok minoritas syi’ah ini seakan dikucilkan dari pergaulan umum. Mereka jarang sekali dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Mereka juga hidup dalam kecemasan dan ketakutan karena terus mengalami intimidasi dan khawatir jika penyerangan serupa terulang. Kebebasan mereka juga terpasung, tidak bisa berkembang dan mengembangkan diri karena selalu diawasi.

Adalah Pak Yassir, Pak Mat Iksan ,Pak Juri, Pak Umamah serta sederet nama lainnya sebanyak 42  kepala keluarga yang distigma sebagai kelompok syiah dan selama ini mengalami pengucilan. Walaupun para kepala keluarga ini telah mengikuti proses bai’at sebagai ritual penerimaan namun hidup mereka masih dicurigai dan dijauhi dari pergaulan masyarakat. Mereka dengan para keluarganya sering kali merasa bukan bagian dari masyarakat.  Dalam setiap kegiatan-kegiatan keagamaan di masyarakat, mereka adalah  warga yang tak pernah diundang dan dilibatkan. Aktivitas sehari-hari mereka senantiasa di awasi dan di curigai. Jika di suatu waktu didapati aktivitas mereka yang dinilai agak tidak taat pada kebiasaan, masyarakatpun mulai ramai menggunjing. Bahkan, tak jarang gunjingan tersebut berbuah desakan untuk mengusir mereka dan keluarganya dari dusun. Bagi mereka, rasanya hidup di kampung halaman seperti berada di sebuah dunia yang asing di planet lain yang memaksa mereka agar setiap saat mesti bersiap diri dan rela dalam menghadapi isu-isu negatif yang seringkali berujung pada ancaman pengusiran.

Kondisi sosial dan psikologi masyarakat semacam inilah yang kemudian menjadi tantangan awal dan utama dalam memulai serta melaksanakan pelbagai kegiatan-kegiatan saya bersama kawan-kawan  Lakpesdam NU Sampang dalam implementasi implementasi Program Peduli. Di satu sisi, target program terkait penciptaan inklusi sosial (social inclusion) wajib di capai sedangkan di sisi lain tingginya sensifitas akibat trauma yang mendalam, sikap paranoid dan posesif yang ditunjukkan oleh sebagian besar tokoh dan masyarakat lainnya sebagaimana diceritakan di atas amat luas terhampar menghadang. Belum lagi, sorotan tajam dari berbagai pihak di setiap aktivitas program butuh perhatian tersendiri. Sehingga dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan program harus hati-hati dan pelan-pelan. Sebab, sekali berbuat salah dalam berkegiatan maka akan berakibat fatal pada pencapaian target program.

Sadar dengan hal itu, maka tidak ada pilihan lain selain menggunakan kegiatan-kegiatan keagamaan yang berbasis kultur dan bisa diterima semua pihak sebagai pintu masuk awal untuk menghindari penilain-penilaian sensitivisme.  Karakter masyarakat yang religius menjadi sebuah dasar pertimbangan juga dalam upaya membuka ruang penerimaan masyarakat terhadap program. Harapannya, ikhtiar penciptaan inklusi bisa dengan mudah dicapai dalam kemasan kegiatan keagamaan. Biarkanlah, penciptaan inklusi bersembunyi di balik kerja-kerja bersama walau tanpa harus dipamerkan di permukaan. Biarkanlah kegiatan keagamaan menjadi instrumen awal untuk memperluas ruang-ruang penerimaan sosial warga terhadap warga yang selama ini dikucilkan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, lalu dipilihlah peringatan Maulid Nabi dan Pagelaran Seni Hadrah Inklusif sebagai momentum awal upaya pencapaian. Melalui kegiatan inilah, keyakinan akan terciptanya kebersamaan berada bersama rajutan semangat-semangat religius. Melalui kegiatan inilah, semangat kebersamaan ini akan dikumandangan melalui komunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat mulai dari anak-anak, pemuda, bapak-bapak sampai kelompok-kelompok  perempuan di dusun. Selama satu bulan penuh kerja komunikasi ini di lakukan termasuk juga sowan pada Ulama/kyai baik yang sudah berpredikat khos maupun yang bergelar kyai kampung.

Walhasil, semangat kebersamaan yang kami suarakan dalam kerja-kerja komunikasi selama satu bulan mulai menampakkan hasil. Dalam rangka persiapan rapat pembentukan panitia mulai muncul keinginan bersama untuk melibatkan kelompok-kelompok eks syiah yang selama ini terpinggirkan. Tatkala rapat di gelar yang dihadiri oleh sejumlah Kyai Khos, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan puluhan warga baik yang mayoritas sunni dan minoritas eks syiah berjalan dengan menyenangkan seperti tanpa ada sekat, rasa risih, sikap kaku dan satu sama lain saling menghargai pendapat. Bahkan dalam  kepanitian sebanyak 10 warga eks syiah masuk menjadi bagian di dalamnya.

Lebih menyenangkan lagi, saat mau penutupan rapat, para Kyai Khos yang hadir melalui juru bicaranya yakni K.H. Lutfilah Ridwan memberikan tausyiah untuk lebih menyemangati warga dalam menciptakan kebersamaan. Dalam Tausyiahnya, beliau berkata “ Beden kauleh sareng kyaeh-kyaeh se laen ngarep kebersamaan ka’dintoh tak ambu gen rapat mangken, e delem lakoh kegiatan-kegiatan se laen ngereng warga-warga eks syiah se laen padeh ajek agi, jek ampo saleng curiga, langkong-langkong sedejeh warga eks syiah bisa odik rokon pole sareng warga se laen” ( Bahasa Indonesia: Saya pribadi beserta kyai-kyai yang lain mengharapkan kebersamaan ini tidak hanya berhenti di rapat, di dalam kerja-kerja kegiatan yang lain juga warga yang eks syiah lebih banyak dilibatkan, jangan saling curiga, lebih-lebih seluruh warga eks syiah bisa hidup rukun dengan warga yang lain).

Adanya dukungan dari Ulama/Kyai khos untuk lebih melibatkan warga eks syiah yang selama ini terdiskriminasi rupanya menjadi lecutan yang sangat berarti bagi warga untuk semakin memperluas dan menguatkan kebersamaan. Masyarakat beserta eksponen lainnya secara bersama-sama  telah menjadikan kerja-kerja persiapan kegiatan sebagai media awal dalam merakit kebersamaan. Pada saat persiapan kegiatan, mulai H-7 sampai H-1 pelaksanaan sangat nampak antara kelompok mayoritas dan kelompok eks syiah sudah saling bahu membahu,saling bekerjasama, saling bercanda, saling berbagi senyum seakan lupa bahwa diantara mereka pernah tersimpan curiga, rasa saling membenci,saling mengawasi satu sama lain. Mulai mengangkut kayu, memasang umbul-umbul, memasang terop sampai menata kursi dan sebagainya  semuanya saling bekerja dan bekerjasama dalam suasana yang penuh keakraban dan kekeluargaan.

Begitu pula dengan para ibu-ibu, istri-istri mereka bercampur lebur dalam kehangatan kebersamaan. Para ibu-ibu dari kedua belah pihak nampak kompak meracik bumbu, menanak nasi, membuat kopi serta mempersiapkan masakan di dapur. Kepulan asap dari tungku seakan turun menguapkan kebekuan-kebekuan komunikasi yang selama ini terjadi. Suara ulekan bumbu dari cowek menjadi irama yang akrab di tengah gelak tawa canda mereka di dapur. Semuanya larut secara alami dalam kerjasama yang indah dan bersahaja tanpa harus mereka sadari bahwa mereka sudah berada dalam zona inklusi.

Bahkan berdasarkan informasi yang kami terima dari beberapa tokoh masyarakat, diantaranya : H. Malik, Kyai Hafid dan lainnya, justru warga eks syiah yang paling senang dan bersemangat dalam bekerja. Hal ini terungkap dari komentar salah satu warga eks syiah,Pak Yassir, 61 tahun, yang merasa senang bisa dilibatkan.

“ kauleh sakaluarga aromasah cek bunganah bisa deddih panitia sareng bisa along polong pole sareng masyarakat se laen” ujar Pak Yassir dalam bahasa Madura. Artinya, kami sekeluarga merasa senang bisa jadi panitia dan bisa berkumpul-kumpul lagi dengan masyarakat.

Lain pula, pengakuan dari salah satu warga, Moh. Nawi, 55 tahun, sebagaimana dilansir media Radar Madura (09/02/2015). Beliau mengungkapkan “Sebulan lalu kami sudah mempersiapkan acara ini. Kami bergotong royong bersama warga lainnya. Soal konflik sosial di wilayah kami, sudah tidak kami pikirkan. Kebersamaan yang kami utamakan.” ungkap beliau  yang keluarganya banyak menjadi pengikut aliran Tajul Muluk.

Rupanya benih-benih nilai inklusi mulai tertanam kuat di warga. Kehendak untuk menipiskan diskriminasi bukan lagi menjadi instruksi tim program PNPM Peduli namaun sudah menjadi ajakan dan himbauan dari tokoh maupun kelompok masyarakat umum lainnya. Sebagaimana pernyataan Kyai Hafid, salah seorah tokoh agama setempat, yg juga dilansir di Koran Radar Madura (09/02/2015),beliau memberikan statement “ Mereka yang merupakan warga eks syiah kami libatkan bersama-sama, sehingga tidak ada diskriminasi dan merasa diperhatikan semua”.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun