Namaku Solekah. Tidak ada awalan, juga tidak ada akhiran. Hanya Solekah. Nama tersingkat yang disematkan padaku oleh kedua orang tuaku. Harapan mereka sudah pasti, semoga aku-anak perempuan satu-satunya-menjadi anak yang solihah.
Kakak pertamaku bernama Ahmad Anwar Zaid. Baru keluar dari pesantren tiga tahun lalu. Kata Bapak, semoga Kak Aan-panggilan kakak pertamaku-bisa menjadi pendakwah seperti Ustad Anwar Zaid. Sekarang dia sedang dalam masa ta'aruf dengan Mbak Silvi, anaknya Ustad Soleh. Â Kapan-kapan akan kuceritakan tentang kepolosan Kak Aan saat dimabuk cinta.
Kakak keduaku bernama Muhammad Hamzah Asadulloh. Aku biasa memanggilnya Singo. Karena Asad dalam bahasa Indonesia artinya Singa. Harapan Bapak, semoga Kak Singo bisa seperti Hamzah bin Abdul Muthalib, salah satu sahabat Nabi yang mendapat julukan Asadulloh karena keberaniannya dalam berperang. Kak Singo pulang dari pesantren setahun lalu.
Kakak ketigaku bernama Ahmad Sukarno Abimono. Karena Bapak sangat mengidolakan tokoh Indonesia tersebut. Harapannya semoga Kak Ono bisa menjadi presiden seperti Ir. Sukarno. Sekarang masih menjadi santri di pesantren yang sama denganku, Pesantren Al Hujjah.
Aku adalah anak terakhir alias anak bungsu. Paling cantik, paling pintar, paling banyak dapat uang jajan tentunya. Hahaha
****
Malam hari adalah waktu bahagia bagi para santri putri sepertiku. Apalagi saat ini adalah malam Jumat. Sehabis salat isya sudah tidak ada kegiatan lagi. Biasanya kantin adalah tempat paling ramai. Aroma mie, bakso, soto, rendang, nasi goreng, telur ceplok, dan teman-teman yang sejenisnya bercampur menjadi satu. Seperti yang kulakukan bersama Yasmin. Makan bakso dicampur sama pilus. Sebungkus gorengan juga tidak boleh ketinggalan. Minumnya jus nangka plus stroberi. Jangan dibayangkan rasanya seperti apa. Coba saja sendiri, dan rasakan sensasinya.
"Sol, Kowe wes krungu berita opo durung?" tanya Yasmin sedikit berbisik. Sahabatku ini sudah dijuluki koran berjalan karena tukang pembawa berita. Kebanyakan berita yang dia dapat sudah dicampur sama bumbu dan rempah-rempah alami sehingga rasanya tidak diragukan lagi. Apalagi logat Surabaya yang sudah melekat dilidahnya bisa menambah kelezatan.
"Sal sol sal sol, anggitane aku tukang sol sepatu," ucapku sewot. Dua bola bakso seketika masuk ke dalam mulutku.
"Lha ancen jenengmu Solekah, ngunu."
Ingin sekali aku menjitak kepalanya. Dia memang ceplas ceplos saat bicara. Tapi kadang juga tidak salah.
"Wes gak usah kesuwen. Ono berita opo?"
"Enek santri anyar. Asale Soko Lombok."
Suaranya semakin lirih. Entah dia dapat info dari mana. Padahal kami selalu bersama. Namun Yasmin selalu nomor satu soal seperti itu. Entah aku yang memang tidak terlalu kepo, atau memang aku yang kurang apdet.
"Seng tenanan ta olehmu omong. Sidone enek santri anyar ta Kate tuku Lombok?"
"Aduh, Sol, Solekah. Ayu-ayu kok lemot. Santri baru itu tinggal di Lombok. Ora aku kate tuku lombok. Ealah mboh, aku tak balik Nang kamar. Ngantuk."
Yasmin menghabiskan jus wortelnya seketika. Kemudian membawa plastik berisi gorengan yang masih sisa setengah itu dan meninggalkanku seorang diri.
Aku dan Yasmin saling kenal sejak menjadi santri baru. Kami sudah seperti kakak beradik. Meski beda kamar, tapi kami selalu bersama saat sudah di luar kamar. Kebetulan kamar Yasmin bersebelahan dengan kamarku.
Sepeninggal Yasmin, aku segera menghabiskan bakso yang sudah habis baksonya, tinggal kuahnya. Kemudian bergegas kembali ke kamar untuk persiapan berlayar ke alam mimpi.
Tiba di depan kamar, aku mendapati suasana yang lain dari biasanya. Sepertinya pasar senggol pindah tempat mulai malam ini.
"Ada apa, sih, rame-rame?"
Seketika semua orang menoleh ke arahku. Ternyata ada Yasmin juga. Tangannya masih memegang kresek berisi gorengan tadi. Namun sekarang gorengan tinggal seperempatnya.
"Eh, Sol, santri anyar e manggon nang kamarmu!" teriak Yasmin. "Ini orangnya, ayu, to?"
Mataku berpindah pada seorang wanita berkerudung Paris berwarna hijau lumut. Wajahnya bulat seperti kue donat. Lumayan cantik, lah. Tapi masih cantik aku, lebih banyak dia. Untung dia cantik. Coba kalau ganteng. Pasti Yasmin nomor satu juga yang pedekate.
Aku segera menghampiri santri baru tersebut. Di sampingnya ada Mbak Ajeng, Yasmin, dan beberapa santri lain. Di depan mereka berjejeran aneka makanan, cilok, pentil, basreng, pisang, anggur, de el el. Pantas Yasmin betah di kamarku. Sebagai kepala kamar, aku harus mengenal anggota kamar dengan baik mulai nama, kepribadian, asal usul, kalau asal jangan usul, kalau usul tidak boleh asal.
"Maaf, Mbak Solekah. Tadi saya mencari mbak Solekah tidak ketemu. Mau mengabarkan kalau Mbak Naila akan diletakkan di kamar ini," jelas Mbak Ajeng, kepala pondok. Tangannya merah belepotan sambel.
"Nggak apa-apa, Mbak. Santai saja," ucapku.
Kamar berukuran enam kali sepuluh meter berisi dua puluh santri termasuk sangat luas. Kami bisa berguling-guling dan bergulung-gulung saat tidur. Sekarang penghuni bertambah satu orang, Naila.
Setelah berbincang-bincang, aku jadi tahu. Naila seumuran denganku. Kemungkinan dia juga akan sekelas denganku. Namun aku tidak berani bertanya dia akan ambil jurusan apa. Hingga jam menunjukkan pukul dua belas, Mbak Ajeng pamit undur diri. Santri lain sudah mulai terlelap. Naila sudah sangat akrab denganku dan Yasmin. Dia juga tanggap. Sepertinya dia sangat pandai. Kami bersiap untuk istirahat. Aku menangkap gelagat aneh dari Yasmin.
"Sol, aku tidur di sini, ya?" pintanya. Matanya berkedip-kedip tandanya dia memohon persetujuan.
"Tuh, kan," batinku.
"Ya," jawabku singkat. Aku tahu modusnya. Naila punya kakak laki-laki yang sekarang sedang nyantri di pondok putra. Sudah banyak santri putri yang dia dekati tentunya yang punya kakak di pondok putra. Intinya tahu, kan, dia daftar jadi kakak ipar.
"Huft...dasar Yasmin."
Dia hanya cengengesan.
Tulungagung, 01 Juni 2023
Catatan kaki:
Sol, kamu sudah dengar berita apa belum?
Sal sol sal sol, emang aku tukang sol sepatu?
Lha emang namamu Solikah, kan.
Sudah jangan lama-lama. Ada berita apa?
Ada santri baru. Asalnya dari Lombok.
Yang jelas kalau ngomong. Jadinya ada santri baru atau mau beli cabe?
Aduh, Sol, Solekah. Cantik-cantik kok lemot. Santri baru itu tinggal di Lombok. Bukan aku mau beli cabe. Sudahlah, aku mau balik ke kamar dulu. Ngantuk.
Eh, Sol. Santri barunya bertempat di kamarmu. Ini orangnya, cantik, kan?