'Rudii.. bajumu cepetan di lepas!'
Seorang ibu yang berteriak kepada anaknya setiap pagi, karena jadwal rutin mencuci baju.
Yah, waktu itu aku berumur 9 tahun, duduk di bangku SD kelas 3. Waktu wajahku masih imut-imutnya, belum punya dosa, berpikir pengen cepet dewasa biar punya pekerjaan sendiri, pikiranku cuman kalau beli jajan nggak minta orang tua.
Seperti anak kecil pada umumnya, kegiatanku sehari-hari hanya sekolah dan bermain bersama anak-anak kampung yang juga merupakan teman sekolah.
'Besok ya, jangan lupa kita berangkat ke sawah pagi, mandi di kali enak, seger.. Jangan bilang ke orang tua, entar dimarahin lagi' Ujarku ke teman-temanku
Jika waktu bisa diputar, aku dulu adalah seorang anak pembuat strategi yang handal. Bahkan, Erik Ten Hag (Pelatih emyu) pun kalah denganku.
'Kamu jadi back ya, kalau ada musuh datang langsung sikat aja, nggak usah ragu. Langsung umpan ke depan, aku selalu siap'
Peluit panjang ditandai dengan teriakan ibuku sambil memegang sabuk di tangannya. Salah satu hal yang paling kubenci pas lagi klimaks-klimaksnya menggiring bola sore hari.
Jadwal harian ini berlangsung sampai kita lulus dari SD. Ketika SMP, aku dan teman-temanku sudah mulai berpencar dengan kehidupan barunya masing-masing. Ada yang masuk ke pondok, ada yang ikut orang tuanya ke luar kota, ada juga yang tidak tahu kabarnya dimana.
Setahun kemudian, ketika kita bertemu lagi, sudah menjari orang asing antara satu sama lain. Bak melihat tahu isi, tapi isinya ayam suwir, bukan lagi mie dan beberapa sayuran.
Tetapi di sisi lain, aku bertemu dengan teman-teman baruku di SMP. Mereka sangat akrab denganku. Namun bedanya, kita sudah nggak bermain bola, nggak pergi ke sawah, nggak mandi di kali seperti dulu. Karena aku SMP di kota, yang notabene sangat jarang menemukan spot-spot seperti itu. Di sisi lain, aku juga sudah merasa dewasa untuk bermain permainan kekanak-kanakan itu.
'Kak, belajar, jangan nge game terus. Nanti nilainya jelek'
Sekarang kecerewetan ibuku berbeda dengan dulu. Aku yang sekarang harus rajin belajar. Aku merasa malu ketika nilaiku jelek. Dulu yang hidupku hanya dipenuhi bermain, sekarang hidupku dipenuhi belajar. Pagi sekolah, sorenya les, malamnya aku mengerjakan PR buat besok. Tidak ada yang menarik sama sekali.
Tahun demi tahun kulalui dengan kehidupan monoton itu. Hingga akhirnya aku lulus dengan nilai terbaik di sekolah, dan masuk ke SMA favorit, SMA Bina Bangsa. Fase ini aku mulai mengenal istilah gengsi dan cinta.
Banyak dari temanku adalah anak pejabat, entah pejabat sekolah, pejabat pemerintah, pejabat desa, hingga pejabat kampung, yaa bisa dibilang ketua RT atau RW lah yaa.. Sedangkan aku hanya anak dari pasangan suami istri biasa. Ayahku fokus menjalankan sistem pengairan dan menjaga kualitas pangan di dalam negeri ini, sedangkan ibuku fokus memperbaiki dan menata hierarki dalam rumah tangga.
Aku adalah anak semata wayang, sehingga aku bisa semena-mena menguras hasil jerih payah ayahku. Keluargaku termasuk berkecukupan tapi tidak berkelebihan. Untuk makan cukup, untuk membeli barang-barang mewah cukup, untuk merenovasi rumah agar lebih megah juga cukup. Tapi ayahku bukan orang yang seperti itu, dia orang yang sangat minimalis, suka menabung, dan tidak sombong. Sifat tersebut menurun kepadaku, aku suka hal-hal yang biasa saja, nggak terlalu mencolok, dan nggak terlihat. Karena menurutku, semakin aku terlihat dan populer adalah sebuah kutukan. Disukai banyak orang itu menjadi beban yang berat, sekalinya kita berbuat salah, banyak orang akan kecewa kepadaku.
Cinta, sebenarnya masih terasa asing di telingaku. Tapi teman-temanku sudah berkecimpung di dalamnya. Aku orangnya polos. Aku memang mengenal istilah cinta, tapi aku tidak tahu rasanya cinta. Seperti yang kukatakan, aku jago dalam hal menyusun strategi, sehingga di SMA ini aku menjadi ketua OSIS, jadi secara tidak langsung aku mengenal dan dikenal banyak wanita, tapi anehnya aku tidak merasakan ada hal yang istimewa. Katanya sih, aku harus PDKT kalau suka sama seseorang, tapi perasaan saja tidak muncul.
Aneh, masa SMA ini terasa tidak berkesan di hidupku. Padahal aku terkenal, punya banyak teman, guru banyak yang mengenalku. Tapi, hal itu tidak terasa spesial. Berbeda dengan memori-memori kehidupan waktu kecilku. Aku jadi pengen cepet kuliah, karena SMA sudah tidak menarik bagiku.
Lulus SMA, aku masuk PTN dengan jalur undangan. Awalnya aku merasa bangga dengan diriku, tapi ternyata aku tidak sendirian. Banyak temanku yang nasibnya sama denganku. Saingan di bangku perkuliahan ini semakin ketat. Tapi anehnya, aku sudah merasa tidak kompeititif lagi.
'Ternyata, kuliah tidak seindah dan seseru yang kubayangkan' Gumamku dalam hati.
Tidak ada hal menarik di bangku perkuliahan ini. Entah aku yang kurang explore, ataukah memang semua orang juga merasakan hal yang sama?
Ibuku sudah tidak segalak dulu, sudah tidak sesensitif dulu, sudah tidak mengekang seperti dulu. Hening.. Setiap aku pulang dari kampus rumah terasa sepi, tapi anehnya, rumah menjadi tujuan utamaku.
'Assalamualaikum'
'Waalaikumussalam. Sudah pulang kak, ada ayam bakar di meja makan, habiskan saja, ayahmu sudah makan tadi' Jawab ibuku sambil memegang remot di ruang keluarga.
Meskipun itu hal yang normal, tapi entah kenapa sekarang suara ibuku menjadi obat piluku sekarang. Dulu aku sangat kesal ketika ibuku sudah bicara, tapi sekarang, suaranya lah yang kunantikan.
Rindu, aku rindu masa-masa dulu. Dimarahi, dikekang, diberi uang tanpa merasa iba, tidak ada beban. Sekarang, kemanapun aku pergi mencari kebebasan, keleluasaan, dan ketenangan, tapi ternyata rumah dan wajah serta suara orang tuaku lah jawaban dari semua itu. Aku tidak bisa membayangkan jika itu sudah hilang dari hadapanku.
Rindu, aku rindu masa-masa dulu.