Hari ini Jumat, 17 Juni 2011, saya melaksanakan shalat Jumat di Pesantren Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo, sebuah pesantren yang didirikan dan di bawah asuhan Abu Bakar Baasyir. Tepat sehari setelah ustadz kelahiran Jombang, yang pernah belajar di Gontor dan pernah aktif di HMI itu divonis 15 tahun penjara.
Ini merupakan kali pertama saya menginjakkan kaki di tempat yang dicurigai sebagai “sarang teroris” itu. Saya datang sekitar pukul 11.00. Setelah melapor ke petugas jaga di pintu gerbang dan menyerahkan KTP, saya segera memasuki masjid yang sudah mulai padat oleh santri-santri. Saya lihat ada sekitar 400 santri yang semuanya mengenakan kemeja putih lengan panjang dan peci putih. Mereka adalah siswa-siswa Tsanawiyah (setingkat SLTP) dan Aliyah (setingkat SLTA). Waktu itu, para santri sedang membaca Al-Quran.
Aktivitas membaca Al-Quran baru selesai ketika Khatib naik ke mimbar, lalu muadzin mengumandangkan adzan. Yang bertindak sebagai Khatib adalah ustadz muda. Umurnya sekitar 20 tahun. Dari awal sampai akhir, saya tak melihat ada yang aneh dari isi khotbah itu. Semua yang disampaikan adalah hal biasa yang seringkali saya dengar dari Khatib-khatib Jumat pada umumnya. Tidak ada penafsiran ayat yang “nyeleneh”, tidak ada provokasi atau hasutan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai hidup berbangsa dan bernegara.
Khatib sempat menyebut nama Ustadz Abu Bakar Baasyir sebanyak dua kali. Pertama, dikatakan oleh Khatib bahwa kita hidup tidak boleh memikirkan urusan kita sendiri. Kita harus peduli dengan urusan orang lain dan urusan umat, termasuk peduli dengan Ustadz kita, Ustadz Baasyir,yang sedang mendapat cobaan. Khatib mengutip sebuah hadits, “Barangsiapa bangun tidur lalu tidak peduli dengan urusan umat Islam maka ia bukan termasuk golongan umat Islam”. Bentuk kepedulian kita bisa bermacam-macam. Khusus terhadap Ustadz Baasyir, kita bisa melakukannya dengan cara berdoa. Kita doakan semoga beliau sabar dan tabah serta cepat keluar dari cobaan ini.
Ustadz Baasyir, masih menurut Khatib, tidak sendirian. Ulama-ulama terdahulu juga banyak yang masuk penjara karena memegang teguh prinsip-prinsip yang diyakininya. Misalnya, Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Taimiyah dan lainnya.