Kedekatan Bu Mastini dengan Bu Tien Soeharto mungkin mempercepat proses pendirian Perpustakaan Nasional non Departemen, sekaligus membuka babak baru perkembangan Perpustakaan di Indonesia.
Keduanya masih kerabat dari Mangkunegaran, juga aktif di Kepanduan (sekarang Pramuka). Bu Tien prihatin melihat kondisi perpustakaan saat itu, lalu "melobi" suaminya untuk memberikan dukungan kebijakan.
***
Mastini Hardjoprakoso tak pernah bercita-cita menjadi pustakawan, bahkan profesi tersebut tak pernah terlintas dalam benaknya waktu kecil. Perempuan kelahiran Karanganyar, 7 Juli 1923 ini cukup lama berprofesi sebagai Guru TK.
Ia menempuh pendidikan di HIS Siswo, melanjutkan ke Huishoud-School/Mevrouw-Groot-School, lalu ke Frobel Kweekschool yang merupakan sekolah untuk guru TK. Keahlian sampingannya adalah embroidery atau menyulam.
Ia mengajar di TK Siswo milik Pura Mangkunegara, lalu sempat ikut hijrah kakaknya, Ir. Soesilo, ke Jakarta dan mengajar di TK kompleks TNI Angkatan Darat. Saat di Jakarta inilah ia coba-coba daftar menjadi pengelola perpustakaan di Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI).
LKI sebelumnya adalah Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, yang ketika kemerdekaan diakuisisi dan berubah namanya, secara umum fungsinya hampir sama.
Mastini bekerja di Perpustakaan LKI dan inilah awal mula ia jatuh cinta pada dunia Perpustakaan. Ia menekuni profesi barunya dengan penuh dedikasi hingga mendapatkan beasiswa Stichting voor Culturele Samenwerking untuk belajar selama satu tahun di Nederlands Instituut voor Documentatieen Registratie (1955-1956).
Pada 1962, LKI dikelola oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namanya diubah menjadi Museum Pusat dan Mastini diangkat sebagai Kepala Perpustakaan Museum Pusat.
Ketika menjadi kepala perpustakaan inilah, Mastini memprakarsai sebuah pameran surat kabar lama yang berusia ratusan tahun, beberapa surat kabar era Gubernur Daendels (1810), Raffles (1812), Pangeran Diponegoro (1925), berdirinya Boedi Utomo, Sumpah Pemuda hingga Proklamasi Kemerdekaan.
Pameran itu dihadiri oleh Bu Tien Soeharto dan inilah awal mula keprihatinan Ibu Tien terhadap kondisi Perpustakaan Museum Pusat yang menyimpan banyak arsip bersejarah tersebut.
Besarnya minat Mastini untuk memajukan dunia Perpustakaan membuatnya diusulkan oleh Dr Robert Stevens (Dekan Graduate School of Library) untuk melanjutkan studi S2 di University of Hawaii. Kuliahnya didukung oleh Asian Foundation berkat dukungan Prof. Harsya Bachtiar dan John O. Stutter.
Mastini menyelesaikan studinya kurang dari 2 tahun (1970-1972). Ia membuat sebuah paper usulan berjudul The Need of a National Library in Indonesia. Paper itu dibaca dengan serius oleh Prof. Selo Sumardjan dan Dr. Soedjatmoko.
Pemerintah melalui Bappenas, menugaskan Prof. Selo Sumardjan melakukan penelitian Persiapan Perpustakaan Nasional. Tim pun dibentuk dan beranggotakan Mastini Hardjoprakoso, MLS, Luwarsih Pringgoadisurjo, MA, Rusina Syahrial, MA, Sukarman Kertosedono, MLS dan Drs. Abdurrachman Surjomihardjo. Tim itu dibentuk pada tahun 1977.
Akhirnya, pada tanggal 17 Mei 1980, diresmikanlah Perpustakaan Nasional berdasarkan Keputusan Menteri 17 Mei 1980 no 0164/0/1980, namun masih dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.