Buku itu ditulis oleh 5 orang, 3 dari penulisnya hadir malam itu: Ahmad Fauzi, Iskandar E. Asmuni, Ibnu Syifa'. Saya dan Pak Budi Kastowo (Pustakawan Perpustakaan Bung Karno) diminta menjadi pembedahnya.
Buku itu adalah syarah tentang pemikiran HOS Tjokroaminoto (Pak Tjokro) yang diterbitkan oleh Penerbit Peneleh (Oktober, 2021), tebalnya lebih dari 290 halaman.
Siapa HOS Tjokroaminoto?
Pak Tjokro adalah tokoh besar, pahlawan Islam Jang Oetama. Guru informal dari beberapa tokoh besar seperti Bung Karno, Semaoen, Kartosuwirjo, hingga Soegondo, dan masih garis keturunan Kyai Bagus Kasan Besari dari Ponorogo.
Pak Tjokro juga seorang aktivis yang ulung, jurnalis dan penggerak dakwah Islam. Rumahnya di Gang. Peneleh Surabaya menjadi tempat singgah dan diskusi para tokoh-tokoh besar di antaranya Tan Malaka dan KH. Ahmad Dahlan.
Beberapa yang indekos di rumahnya kemudian tampil menjadi tokoh nasional dan aktif dalam pergerakan.
Misalnya, Soegondo Djojopuspito yang nantinya menjadi ketua Kongres Pemuda II yang kemudian kita kenal dengan peristiwa Sumpah Pemuda. Ide itu bisa jadi muncul, tak lepas dari gesekan pemikiran saat masih tinggal di Gang Peneleh.
Selain itu juga aktivis Syarikat Dagang Islam (SDI) dan lalu berubah menjadi Syarikat Islam (SI).
Pak Tjokro banyak menulis di surat kabar, serta menelurkan gagasan prolifik tentang Islam dan Sosialisme. Gagasan itu turut mewarnai pemikiran anak-anak ideologisnya, di antaranya Bung Karno.
Namanya begitu masyhur, mungkin juga karena diabadikan menjadi nama jalan besar di berbagai daerah, termasuk di Kota Blitar. Jalan HOS Tjokroaminoto adalah jalan utama yang menghubungkan dengan jalan-jalan besar lainnya.
Gagasan tentang kemandirian
Pak Tjokro dikenal dengan gagasan Zelfbestuur atau kemandirian, ia termasuk tokoh Islam yang terbuka pada gagasan dari barat. Hal itu membuat pergaulannya sangat luas.
Ia termasuk yang paling awal mengorkestrasi gagasan Islam dan Sosialisme yang selalu diperdebatkan, bahkan hingga sekarang. Lalu berkembang ke ide nationale.
Bisa dibilang, Pak Tjokro termasuk salah satu arsitek ideologi bangsa Indonesia, meski ia wafat sebelum proklamasi dibacakan. Akan tetapi, Bung Karno tampil sebagai tokoh teras, founding father, yang sejak remaja sudah dicekoki banyak buku saat indekos di Gang. Peneleh.
Saat gagasan Pak Tjokro dikaji dan disandingkan dengan gagasan Bung Karno, tampak garis persamaan yang kuat. Bedanya, Bung Karno punya momentum politik, ia menjadi Presiden dan memiliki kesempatan menguncinya sebagai dasar negara dan konstitusi.
Bung Karno juga menjadikan sosialisme sebagai perlawanan terhadap imperialisme. Bung Karno matang secara konsep, sehingga dengan terbuka mendeklarasikan diri sebagai kaum kiri yang anti kolonialisme dan imperialisme.
Ini sangat menarik, dan menggugah kembali kesadaran tentang pentingnya kemandirian sebagai sebuah bangsa yang merdeka.
Aktivis Peneleh